Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Kenapa Venezuela Gagal dan Singapura Berhasil?

29 Januari 2014   13:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 97 0
Minggu lalu saya mendapat kunjungan dari tamu istimewa. Dia adalah sahabat sekaligus teman sekamar saya saat masih di Jurangmangu tahun 1994. Dalam banyak hal kami mempunyai banyak kesamaan. Khususnya soal hobby. Kami berdua senang njajah deso milangkori, alias blusukan ke tempat-tempat baru. Dari seluruh pengalaman jalan-jalan, hal yang paling kami sukai adalah ketika kami tersesat.

Bukannya panik dan marah-marah, kami malah cekikikan mentertawakan kekonyolan kami. Bagi kami, tersesat adalah bagian paling indah dari sebuah cerita perjalanan.

Lebih sering kami melakukan perjalanan tanpa rencana. Suatu ketika ia menyempatkan diri ke kampung halaman saya saat liburan. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di sekitar kota saya. Tak ada alamat dan rute yang jelas kami pegang. Modalnya, bertanya. Termasuk ketika kami akhirnya memutuskan untuk mencari alamat teman saya di Jogja usai mengunjungi Borobudur. Dengan alamat yang bagi saya tidak terlalu jelas, karena tidak ada nama jalan dan nomor rumah, kami pun nekat mencarinya. Secarik kertas alamat teman itulah yang menjadi senjata kami. Entah berapa orang sudah kami tanyakan arah menuju desa di alamat tersebut. Yang jelas akhirnya kami pun menemukannya setelah berjalan cukup jauh dengan melewati persawahan.

Kali ini, tentu saya tidak ingin mengulang kejadian yang sama. Saya berharap kunjungan teman saya ini bisa menjadi cerita perjalanan wisata kota. Bukan lagi kisah ketersesatan. Bukannya sudah kapok. Hanya saja sahabat saya hanya punya waktu empat hari di kota ini. Sayang, kalau waktunya disia-siakan untuk mencari alamat. Alhasil, saya pun memaksimalkan informasi wisata kota dan peta semaksimal mungkin. Tetap saja, empat hari tak bisa menjangkau indahnya seluruh kota Melbourne dan sekitarnya.

Kalau dulu kami cekikikan karena ‘keblasuk-blasuk’, saat ini kami mentertawakan kekonyolan kami lainnya. Sebelum sahabat saya sampai ke kota ini, saya berharap ia membawa kamera yang bagus. Sejak pertama menginjak kota ini saya sangat terpesona dengan arsitektur bangunan-bangunan di sini. Juga, taman-taman kota dan tempat wisatanya. Jadi, alangkah indahnya kalau tempat-tempat ini diabadikan dengan kamera yang bagus pula. Saya sendiri hingga saat ini belum punya. Modalnya ya kamera hp. Karena memang obyeknya bagus, jepretan ala kamera hp-pun cukup layak untuk dijempoli.

Syukurlah, ternyata sahabat saya ini memang telah menyiapkan segalanya dengan baik. Termasuk kamera. Belum lama pula ia memilikinya. Ia berharap dengan kamera seperti itu akan mendukung hobby menulisnya. Hmmm...mantaplah. Sayang seribu sayang, karena kesibukan kerja dan kesibukan sebagai ibu rumah tangga ia belum sempat mengutak atik kamera. Harapan mendapat  hasil jepretan ala fotografer profesional pupuslah sudah.

Menyesal memang, tapi lagi-lagi kami justru mentertawakan kekonyolan kami. Kamera Ok, obyek ok, SDM-nya yang bermasalah. Hihihihi...

Biarlah...justru dari kejadian tersebut membuat kami memahami sepaham-pahamnya arti pengembangan sumber daya manusia. Bahkan kata sahabat saya ini, sebenarnya yang paling penting dari fotografi bukan pada kamera tapi kemampuan kita menangkap angle yang tepat. Dengan kamera yang tak perlu canggih pun asal bisa mendapat angle dan mengetahui teknik foto hasilnya bisa bagus. Begitu katanya.

Cerita ini juga mengingatkan saya pada buku yang baru saya pinjam dari perpustakaan kampus. Judulnya Strategy Maps yang ditulis oleh  Robert S Kaplan dan David P. Norton. Buku ini adalah buku lanjutan dari best sellernya The Balanced Scorecard. Buku ini memang fenomenal karena mampu mengubah wajah sistem pengukuran kinerja sektor privat dan kini pun diadopsi di sektor publik termasuk instansi pemerintah kita.

Balanced-Scorecard adalah bagian dari strategi manajemen kinerja. Saya sendiri sebenarnya sempat mendalaminya saat di tingkat IV tahun 2000. Sejak pertama mengenalnya memang langsung membuat jatuh cinta. Konsepnya sebenarnya sederhana saja. Di masa lalu, pengukuran kinerja hanya mengandalkan data-data keuangan. Aspek akuntansinya sangat kental. Analisisnya kinerjanya pun lebih banyak didasarkan pada analisis laporan keuangan. Di sisi lain, banyak hal yang tidak bisa ‘di akuntansikan’. Misalnya, bagaimana mencatat ikan yang ada di laut sebagai aset pemerintah, atau bagaimana pengelola klub sepak bola mencatat David Backham sebagai aset. Dalam beberapa hal memang laporan keuangan sedikit banyak membantu memotret secara keseluruhan organisasi. Pemda kaya atau miskin bisa jadi bisa dilihat dari besarnya PAD. Klub hebat bisa tercermin dari laba yang dihasilkan.

Namun, mengandalkan laporan keuangan tentu tidak akan membuat pembaca memahami beda pemda dengan pelayanan publik bagus atau tidak, klub yang punya masa depan atau yang akan tumbang.

Balanced-Scorecard, sebagaimana namanya, mencoba menyeimbangkan antara penyajian aspek finansial dan non finansial. Menurut Kaplan dan Norton, aspek-aspek tersebut adalah:

Financial atau keuangan: ya..seperti sebelumnya disini aspek keuangan yang dinilai. Dalam konteks perusahaan aspek finansial ini lebih menekankan bagaimana perusahaan di mata para pemegang saham. Tentu, dari aspek profitnya. Di sektor publik, aspek finansial bisa di lihat dari sisi bagaimana instansi pemerintah mendapatkan pendanaan. Atau, bagaimana instansi pemerintah membiayaai program-programnya.

Customer atau pelanggan: aspek ini mencoba menjawab "How do customers see us?" atau apa pendapat pelanggan perusahaan. Kalau di perbankan bisa kita contohkan dari seberapa ramah customer service dalam melayani, seberapa cekatan teller, atau seberapa responsif bagian pengaduan layanan menghadapi komplain-komplain.

Internal business processes atau proses binis internal: berfokus pada proses penyediaan layanan. Misalnya, seberapa efektif standar dan prosedur operasi yang disusun dan apakah sistem informasi yang dibangun mendukung kecepatan layanan.

Learning and growth: nah, ini yang paling saya sukai. Aspek ini menekankan pada "How can we continue to improve, create value and innovate?". Intinya bagaimana organisasi mendukung pada pembentukan SDM yang mumpuni.

Keempat aspek Balanced-scorecard tersebut menjadi bagian penting dari informasi yang harus diketahui oleh manajemen. Sehingga, di butuhkan alat ukur untuk menilai bagaimana organisasi menangani pelanggan, cara organisasi menjalankan proses bisnisnya, serta komitmen organisasi terhadap pengembangan sumberdaya manusia. Dan terakhir, bagaimana akhirnya ketiga aspek tersebut terintegrasi dan mendukung pencapaian hasil akhir berupa profit atau aspek finansialnya. Hal ini tentu dalam beberapa hal berbeda dengan organisasi sektor publik dimana aspek finansial tidak diletakkan pada ujung cerita, melainkan di awal ataupun di tengah-tengahnya.

Dalam banyak hal balance scorecard lebih sering dipahami dan digunakan sebagai alat ukur kinerja. Artinya, penerapan balanced-scorecard terbatas digunakan pada saat melakukan pengukuran kinerja. Tidak begitu salah sebenarnya. Hanya saja penggunaan balanced-scorecard sebatas pada pengukuran kinerja sebenarnya justru melemahkan keampuhan konsepnya sendiri. Padahal, jika balanced-scorecard dipahami dan digunakan sebagai bagaian dari strategi perusahaan, wow....

Kembali pada cerita saya di atas, seandainya saya dan sahabat saya memiliki teknik dan kemampuan fotografi yang baik tentu cerita kami bisa lebih dahsyat. Atau, foto-foto tersebut bisa jadi akan menambah berat pundi-pundi kami karena beberapa jasa travel membelinya untuk iklan. Hal ini senada dengan pernyataan Kaplan dan Norton di bagian Introduction yang saya rasakan begitu menohok. Mereka katakan “What’s true of companies is even truer for countries. Some countries such as Venezuela and Saudi Arabia, have high physical resource endowments but have made poor investments in their people and systems. As a consequence, they produce far less output per person, and experience much slower growth rate, than countries such as Singapore and Taiwan that have few natural resources but invest heavily in human and information capital and effective internal systems

Untunglah Kaplan dan Norton tidak menyebut Indonesia. Mungkin karena jaraknya lebih jauh dari Amerika dibanding kedua negara yang ia sebutkan hingga tak terfikirkan.Venezuela disebut mbah Wiki sebagai negara dengan extremely high biodiversity. Venezuela juga disebut pernah sebagai negara pengekspor minyak terbesar dunia dengan persediaan minyak terbesarnya. Sayangnya setelah mengalami krisis minyak akibat menurunnya permintaan minyak dunia di tahun 1980 akibat krisis global Venezuela didera masalah tak berkesudahan. Negeri tersebut dibelenggu hutang, inflasi meningkat 100% di tahun 1996 dan kemiskinan pun mencapai angka 65% di tahun 1995. Meski sempat sedikit membaik di tahun 2001, ekonomi Venezuela sepertinya terus terguncang. Inflasi november 2013 kabarnya mencapai 54%.

Venezuela juga dikenal dengan tingginya tingkat korupsi. Bahkan penemuan minyak justru dianggap memperparah korupsi. Akhir 1970an Juan Pablo Pérez Alfonso's, diplomat dan politisi negara tersebut, menganggap minyak sebagai "the Devil's excrement". Venezuela juga menjadi rute perdagangan narkoba. Kasus pembunuhan juga sangat tinggi, bahkan menempati salah satu tertinggi di dunia. Tahun 2009 tingkat pembunuhan mencapai 57 per 100,000.Hmmmm....

Bagaimana dengan Saudi Arabia? Sebenarnya menyandingkan Venezuela dengan Saudi Arabia tidaklah terlalu tepat menurut saya. Kondisi yang ada Saudi Arabia tetap menjadi negara kaya dengan rakyatnya yang makmur. Jika ukuran yang digunakan adalah GDP maka sebagaimana yang dinyakan mBah Wiki, negara ini menempati urutan 19 di dunia. Kalau definisi dari GDP adalah output perorang yang dihasilkan oleh satu negara maka seharusnya negara ini berbeda jauh dengan Venezuela. Bisa jadi dalam hal ini Kaplan dan Norton menggunakan aspek investasi sumber daya manusia yang mungkin lebih rendah dibandingkan investasi pada infrastruktur. Hmmm perlu saya telusuri lagi. Dalam diskusi masalah pembangunan ekonomi Saudi Arabia memang jarang dijadikan perbincangan. (Lagi2 bisa jadi saya yang blum sempat membaca literature soal ini. PR baru buat saya). Atau, bisa jadi  GDP tinggi di Saudi dianggap biasa karena topangan sumber daya yang meelimpah. Berbeda kalau yang dibincangkan adalah Singapura, Swiss atau Jepang yang lebih mengandalkan sumberdaya manusia. Wajar pula barangkali. Kita tentu tidak tertarik memperbincangkan kisah sukses seseorang yang dari sono-nya memang sudah kaya. Sebaliknya, kita akan antusias saat membaca bagaimana orang-orang dari kalangan bawah bisa menggapai mimpinya.

Ups...maaf makin jauh saja. Jadi, inti dari konsepsi balanced scorecard dalam sebuah strategi  adalah bagaimana mengintegrasikan keempat aspek tersebut kedalam strategi organisasi. Dalam konteks instansi pemerintah adalah bagaimana memandang SDM sebagai satu kekuatan untuk menghasilkan layanan publik yang maksimal untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Alhasil, jika semua berjalan pada akhirnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi juga akan terlihat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun