Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Seks, Kemunafikan dan Pemimpin Muslim

15 Oktober 2010   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 1236 0
“Jalan menuju kedamaian dan terbebas dari ketegangan perilaku yang tidak adil adalah dengan hanya mempunyai satu istri…Saya mempunyai banyak anak dari keduanya. Siang dan malam, saya merasa gelisah karena selalu memikirkan satu hal: keadilan…Jangan pernah menjalani poligami karena kita berhubungan dengan manusia. Saya sendiri lemah dalam masalah ini, Abdulmalik.”

— Hamka, Tafsir al-Azhar

Hamka (1908-1981), cendikiawan muslim Indonesia yang terkenal, sangat berbeda dengan Tifatul Sembiring, yang sering digolongkan sebagai muslim observan, pemimping sebuah partai politik Islam dan juga menjabat sebagai menteri komunikasi dan informasi. Tifatul melakukan poligami dan sering mengejutkan banyak orang dengan pernyataan-pernyataannya terkait dengan seks.

Hamka sangat menghormati perempuan (meski dengan caranya sendiri) dan menunjukkan martabat yang sejati. Dia memutuskan untuk keluar dari majelis ulama karena berbeda pendapat. Suryadharma Ali, pemimpin partai Islam lainnya dan juga menteri agama, secara samar mendukung poligami melalui pernyataan publiknya. Bahkan dia setuju dengan pernikahan siri, yang berarti dia menentang Undang-undang Pernikahan 1974.

Hamka tidaklah sendirian. Haji Agus Salim (1884-1954), Mohammad Natsir (1908-1993), dan yang terakhir, mantan presiden Abdurrahman Wahid (1940-2009) merupakan ulama muslim Indonesia yang menghormati perempuan sebagai manusia yang sebenarnya. Biografi mereka benar-benar menggambarkan para perempuan dalam kehidupan mereka sebagai makhluk yang setara dihadapan Tuhan. Perempuan bukanlah obyek terhadap eksploitasi apapun.

“Memperlakukan perempuan sebagai subyek dan obyek seksual merupakan salah satu jalan untuk menjinakkan perempuan melalui negosiasi keagamaan, ekonomi, maupun status.”

Bahkan jika kita merujuk pada masa awal perkembangan Islam, pendiri aliran Islam, Imam Mazhab, tidak melakukan poligami. Banyak juga yang memutuskan tidak menikah sepanjang hidup mereka. Dalam konteks ini, Abu Shuja’ al-Isfahani (1197), penulis dan pakar hukum Islam, menyatakan bahwa dia tidak akan menikah sehingga dia bisa fokus untuk belajar, mengajar, dan menulis buku. “Jauh lebih penting untuk terlibat dalam urusan kemasyarakatan daripada menyibukkan diri dengan hasrat seksual atau memanjakan diri dalam kehidupan sehari-hari.”

Karena itu, bisa diperdebatkan ketika para pemimpin dan ulama muslim masa kini menginginkan perempuan diperlakukan secara eksklusif dari aspek jender dan poligami. Sebagai contoh, apakah para politikus muslim benar-benar memikirkan tentang kesejahteraan konstituennya?

Contoh menarik lainnya datang dari Abdullah Gymnastiar (A’a Gym). Setelah bertahun-tahun menikmati popularitas sebagai penceramah yang juga sukses mengembangkan bisnisnya, A’a Gym tenggelam menuju kedalaman retoris karena mendukung poligami. Segera saja, banyak anggota jamaahnya—terlebih jamaah perempuan—menarik diri dari setiap kegiatan terkait dengan A’a Gym. Popularitasnya dan juga bisnisnya menurun.

Daripada menerima pandangan publik terhadap poligami, A’a Gym kukuh mempertahankan pilihannya untuk memiliki istri kedua. Ketika Buya Hamka dan rekan lainnya yang mendukung monogamy bisa berdamai dengan hasrat seksualnya, dai yang memiliki orientasi bisnis ini malah menggunakan semua senjata yang berbau agama untuk memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai kehendaknya. Bahkan dia menyalahkan media atas masalah yang terjadi.

Fatema Mernissi, seorang feminis muslim asal Maroko, berkata bahwa dalam Islam, berbeda dengan budaya barat, ketimpangan seksual didasarkan pada kepercayaan atas inferioritas perempuan secara biologis. Keseluruhan sistem tersebut didasarkan pada asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang berkuasa dan berbahaya. Semua institusi seksual—seperti poligami, penolakan dan segregasi seksual—merupakan strategi untuk membelenggu kekuasaan perempuan.

Memperlakukan perempuan sebagai subyek dan obyek seksual merupakan salah satu jalan untuk menjinakkan perempuan melalui negosiasi keagamaan, ekonomi, maupun status. Para pendukung poligami menegaskan bahwa perempuan bukanlah manusia yang utuh, dan mereka tidaklah setara dengan pria.

Seorang pria berhak menikahi lebih dari satu perempuan sementara seorang perempuan tidak akan mempunyai hak untuk memiliki lebih dari satu pria dalam satu waktu.

Apa yang Islam ajarkan tentang poligami? Zeesan Hasan, seorang intelektual muslim asal Banglades, membuat pernyataan berikut berdasar dua surat dalam Al-Qur’an (4:3 dan 3:129), “Poligami mesti dipandang sebagai fenomena masa kini, yang hanya diperbolehkan karena kepentingan sosial pada komunitas Rasul. Pandangan Al-Qur’an tentang kekurangan etis mengenai poligami seharusnya bisa memberikan pilihan terakhir, yaitu monogami.”

Kami berharap bahwa para pemimpin muslim Indonesia akan lebih fokus pada apa yang masyarakat perlukan daripada terus-menerus memperlakukan perempuan dan seks sebagai urusan mereka yang utama. Mari berdoa mereka akan segera mengikuti jejak yang dicontohkan para pendahulu mereka: dedikasi dan pemahaman yang menyeluruh terhadap agama mereka, tanpa kemunafikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun