Sejarah pernah mencatat Indonesia sebagai salah satu produsen minyak dunia yang cukup disegani. Negeri yang dikenal kaya akan sumber daya alam ini sempat tergabung dalam organisasi pengekspor minyak dunia (OPEC). Saat itu produksi minyak dalam negeri berlimpah. Sangat mencukupi untuk kebutuhan konsumsi BBM di dalam negeri dengan harga yang murah. Sisanya dalam jumlah yang masih cukup besar diekspor ke pasar dunia.
Masa keemasan minyak Indonesia terjadi pada tahun 1970-1980-an. Ketika itu akibat krisis yang terjadi di Timur Tengah, harga minyak dunia sempat meroket. Indonesia mendapat keuntungan yang sangat berlipat-libat. Para pakar menyebut peristiwa itu sebagai "oil boom". Itulah sekelumit kenangan indah ketika Indonesia masih menjadi salah satu "raja minyak" dunia.
Namun seiring waktu, predikat dari eksportir perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi importir. Faktor utama penyebabnya adalah pesatnya kenaikan konsumsi BBM kita yang tidak diimbangi dengan peningkatan eksplorasi sumber-sumber minyak baru. Peningkatan konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi.
Bahkan dalam 10 tahun terakhir produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan hingga dibawah 900 ribu barel per hari. Akibatnya terjadilah defisit stok BBM. Untuk menutupi defisit kebutuhan BBM, Indonesia terpaksa harus mengimpor BBM dengan harga pasar dan menjualnya di dalam negeri dengan harga bersubsidi. Hal inilah yang membuat APBN kita tertekan karena harus menanggung beban subsidi BBM yang dari tahun ke tahun nilainya makin membesar.
Tujuan pembangunan adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pertumbuhan ekonomi otomatis akan meningkatkan pemakaian energi, baik di sektor industri, transportasi dan rumah tangga.
Namun alih-alih memanfaatkan batubara dan gas alam yang sumbernya cukup berlimpah di dalam negeri dengan biaya pengolahannya yang relatif juga murah, kita malah menggantungkan pola konsumsi energi kita pada BBM yang produksinya semakin menurun. Sungguh ironis. Parahnya, tingkat ketergantungan kita pada BBM sudah sedemikian masif dan diperkirakan ke depan akan semakin masif bila tidak ada langkah konkret pemerintah untuk mengendalikannya.
Sebenarnya pemerintah telah berupaya untuk memindahkan pola konsumsi energi dari BBM ke energi yang lain. Seperti di sektor rumah tangga misalnya, pemerintah cukup berhasil memindahkan pola konsumsi dari BBM (dalam hal ini minyak tanah) ke gas. Namun di sektor transportasi dan industri, upaya pemerintah mengalihkan pola konsumsi energi ini terlihat kurang serius. Tidak ada pembangunan infrastruktur yang berarti untuk proses pengalihan pola konsumsi energi.
Adanya kebijakan untuk mensubsidi jenis BBM tertentu dan tidak mensubsidi jenis BBM yang lain ternyata malah meningkatkan angka ketergantungan kita pada BBM. Manajemen pengawasan juga sulit diterapkan sehingga berakibat terjadinya salah sasaran subsidi. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa 70% subsidi jatuh pada golongan ekonomi menengah ke atas.
Faktor lain yang mendongkrak peningkatan konsumsi BBM kita adalah karena buruknya transportasi massal. Akibatnya masyarakat lebih senang membeli mobil atau sepeda motor untuk keperluan transportasi mereka. Di satu sisi hal ini sangat menguntungkan industri otomatif, namun di sisi yang lain juga mempercepat peningkatkan konsumsi BBM.
Sementara dari segi produksi minyak bumi, kita masih mengandalkan sumur-sumur minyak tua yang sumbernya semakin berkurang. Untuk pengolahannya kita masih menggunakan kilang-kilang minyak tua yang hasilnya juga semakin jauh dari optimal. Dengan kondisi seperti ini, tak heran produksi BBM kita semakin menurun sehingga kita pun semakin tergantung pada impor BBM untuk memenuhi konsumsi BBM dalam negeri.
Inilah carut marut permasalahan BBM di Indonesia yang ironisnya selalu diwariskan secara turun temurun dari pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya. Dan kali ini giliran pemerintahan Jokowi-JK yang menerima warisan ini. Ke depan Jokowi-JK dituntut untuk bisa membereskan masalah BBM yang selama ini tak kunjung terselesaikan.
Mari kita tunggu langkah-langkah Jokowi-JK untuk menyelesaikannya. Saya menduga dalam jangka pendek, Jokowi-JK terpaksa akan menempuh langkah yang tidak populer, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban subsidi. Dan dalam jangka menengah dan panjang akan melakukan langkah-langkah konkret untuk mengalihkan pola konsumsi energi dari BBM ke sumber energi yang lain seperti batubara dan gas. Dengan demikian bangsa kita akan bisa terlepas dari ketergantungan BBM. Berbarengan dengan itu perbaikan transportasi massal tetap merupakan keharusan. Disamping itu eksplorasi sumur-sumur minyak baru dan pembangunan kilang minyak baru juga tetap perlu dilakukan dengan orientasi ekspor minyak ke pasar dunia.
Mulai 20 Oktober 2014, babak baru pemerintahan Jokowi-JK akan dimulai. Dan tantangan pertama di depan mata yang harus dibereskan adalah carut marut manajemen BBM, sebuah warisan kelam turun temurun.