Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

TLS Roadventure: Membangunkan Kuncen Tengah Malam (Bagian 3)

17 Mei 2013   10:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 366 2

ROMBONGAN TLS (Tread Lightly Adventure) telah meninggalkan Pantai Klayar yang jelita itu. Ombaknya terasa masih menderu-deru di kuping. Tapi 7 kendaraan berpenggerak 4x4 kini mulai merayap menuju Gunung Kelir. Jam tangan saya menunjukkan hampir pukul 00.00.

Gunung Kelir? Mungkin tak banyak yang mengenal nama ini. Saya sendiri lebih akrab dengan nama Pegunungan Menoreh. Saat saya masih bekerja sebagai penyiar radio, saya sering menguping sandiwara radio bergenre silat. Ceritanya banyak mengambil setting di tempat ini. Jadi menjejak Menoreh seperti memanggil masa lalu.

Gunung Kelir berada di puncak Pegunungan Menoreh. Letaknya di sebelah barat laut Yogyakarta. Tapi sebagian wilayahnya masuk Kecamatan Kaligesing, Purworejo Jateng. Disebut Gunung Kelir karena bentuknya mirip"kelir" atau layar yang dipakai untuk pentas wayang kulit. Tapi sebetulnya itu adalah patahan tebing terjal pegunungan kapur.

Rasanya sudah berjam-jam kami mendaki. Setelah 2 kali bertanya di simpang jalan, akhirnya kami tiba juga. Menurut Om Karman, kami akan memasang tenda di pelataran Goa Seplawan yang ada di Gunung Kelir itu. Di mulut goa? Aha, adakah sesosok ‘mahkluk malam’ yang akan nongol dari dalam goa? Hahaha… “Tunggu sebentar, pemegang kunci akan menyusul ke sini untuk membuka pintu,” ujar Om Karman, memutus imaji brengsek saya.Huah, kami bener-bener tamu gak sopan. Datang jam 12, dan membangunkan pemegang kunci.

Lalu, memasang tenda persis tengah malam? Duh, inilah ‘kegilaan’ TLS. Gak kenal tempat, gak kenal waktu, gak kenal capek. Begitu pintu kompleks Goa Seplawan dibuka dan roda mobil terhenti berputar, semua langsung membongkar bagasi, mengeluarkan tenda, lalu mendirikannya. Dari ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini, gigil terasa benar-benar mencabik kulit. Kabut melayang rendah, mempercepat keinginan saya bergelung di bawah selimut.

Saya tidur nyenyak malam itu. Kecapean, pasti. Tidak sempat merangkai imajinasi untuk bahan tulisan fiksi (hehe...). Di Goa Seplawan, kami tidak punya banyak waktu. Kami juga gak ada jadwal menelusuri goa, karena konon Goa Seplawanini dalamnya berlumpur. Ada anak sungai di situ.

Tapi bukan berarti saya gak punya cerita dari sini. Beberapa ratus meter selepas pintu masuk, saya menemukan replika arca. Arkeolog meyakini itu patung Dewa Siwa dan Dewi Parwati, peninggalan zaman Hindu Siwa. Arca aslinya terbuat dari emas 22 karat. Arca dewa tingginya 16 cm sedangkan arca dewi 15 cm. Sepasang arca ini bergandengan tangan dan terletak di atas “padmasana” yang terbuat dari emas. Berat totalnya mencapai 2,5 kg. Arca ditemukan tahun 1979  di salah satu sudut Goa Seplawan, dan kini tersimpan di Museum Nasional.

Pagi itu, selepas sarapan, kami menyempatkan diri berjalan-jalan di kawasan komplek goa. Sempat mendaki hingga ke gardu pandang pengunjung. Pemandangannya? Subhanallah. Ke mana pun mata tertuju, hanya hijau dan hijau. Langit yang biru bersih, kontras dengan warna daun yang dipamerkan Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Gunung Slamet.Benar-benar berbeda dengan langit yang sehari-hari saya lihat di Jakarta. Di puncak gunung ini juga, makin terasa betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta.

Menyiasati Jalan Putus

Sabtu, 10 Mei 2013, kami akhirnya meninggalkan Gunung Kelir. Perjalanan pulang ini rencananya akan melewati dataran tinggi Dieng. Tapi perjalanan dari Purworejo menuju Wonosobo dihadang oleh kabar putusnya ruas jalan akibat longsor. Dasar para off roader, bukannya mundur. Di depan jalan putus, Om Karman mencari opsi jalan kampung dengan bantuan informasi penduduk. Dan pucuk dicinta ulam tiba. Para off roader ini seperti anak kecil ketemu mainan. Jalan kampung dimaksud benar-benar medan yang bikin deg-degan. Jalan sempit yang hanya muat 1 mobil, jurang di sisi kiri. Berkelok tajam, naik turun. Berbatu dan licin. Karena hujan deras mengguyur.

Begitu mobil lolos semua, suara di radio mobil kami kembali rame. “Makasih, Om Karman, Makasih! Om Karman tau banget deh, apa yang kita mau,” kata Om Idham dan Om Widhi berulang-ulang. Rupanya jalan-jalan yang dilewati kemaren belum memicu adrenalin mereka.

Di dataran tinggi Dieng, tak banyak yang bisa kami lihat. Kabut tebal menutup pandangan. Hujan terus menderas. Hanya gigil dan gigil – rasanya menembus sampai ulu hati. Melewati Dieng, gelap sudah menghampar. Kami selanjutnya menembus hutan jati, kembali keluar masuk kampung menuju Slawi, Tegal. Sempat salah arah, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang melalui jalur Pantura. Ini jelas bukan pilihan yang menyenangkan bagi off roader. “Saya ngantuk lewat jalan begini,” kata Om Karman.

Tapi berhubung ini sudah memasuki hari Minggu, dan Senin harus ngantor, keputusan pulang dengan menggunakan jalur Pantura, akhirnya disepakati. Tapi rasanya udah puas banget keluar-masuk kampung, diguncang mobil berpuluh-puluh jam, yang kemudian terbayar oleh berbagai macam pesona dan eksotisme ciptaan-Nya.

So, catatan perjalanan saya sudahi sampai di sini. Sampai ketemu di family road adventure berikutnya. *** (Tamat)

Catatan:

·Btw, saya udah gak bisa menyajikan foto-foto di Dieng. Kameraku kecebur ke Pantai Klayar…

·Yang mau ikutan TLS, boleh lho. Komunitas ini terbuka bagi siapa pun. Tidak harus punya mobil, karena TLS bisa nyiapin. Yang berminat di perjalanan berikutnya, boleh kontak Om Karman di twitter @karman_mustamin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun