KAPAN terakhir saya bercakap-cakap dengan anak kecil yang masih duduk di bangku kelas 2 SD? Pagi tadi, tentu. Sebelum Sakti – anak tunggal saya – berangkat sekolah. Sambil berpakaian, ia biasanya masih berceloteh tentang film kartun yang ditontonnya, atau varian dinosaurus dan aneka mainan lego. Dan saya atau ayahnya akan jadi pendengar yang baik, hingga akhirnya kami terlibat obrolan layaknya orang dewasa yang bicara tentang politik.
Di depan bocah seperti inilah saya berdiri sebagai pengajar, pada Rabu 20 Februari kemarin. Tanpa pengeras suara, tanpa alat bantu proyektor. Sejumlah teman yang terlibat dalam kegiatan yang sama, sebetulnya berinisiatif membawa peralatan yang saya sebut terakhir. Tapi saya memilih untuk tidak. Semata-mata, karena saya ingin betul-betul menjiwai apa yang dilakukan guru-guru Sekolah Dasar negeri sehari-hari.
Inspirasi Profesional
Kelas Inspirasi merupakan salah satu program yang digagas oleh yayasan Indonesia Mengajar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewadahi profesional dari berbagai sektor untuk ikut serta berkontribusi pada misi perbaikan pendidikan di Indonesia. Melalui program ini, para professional pengajar yang terpilih dari berbagai latar belakang diharuskan cuti 1 hari secara serentak untuk mengunjungi dan mengajar Sekolah Dasar, pada Hari Inspirasi yang ditentukan.
Apa yang menarik sehari berinteraksi dengan anak-anak SD negeri ini? “Yang pasti, seru! Ternyata mengajar anak kecil itu susah!” hampir semua anggota kelompok saya menyepakati kalimat ini. Lainnya, tentu rasa antusiasme lantaran ini pengalaman baru. Menyaksikan anak-anak bermata polos dengan aneka cita-cita dan mimpi, menerbitkan rasa haru tersendiri.
Pengalaman lucu, tentu juga ada. Aditya yang agaknya paling ‘imut’ di kelompok kami, bahkan sempat jadi ‘seleb’ sejenak lantaran terus dimintai foto bareng dengan bocah-bocah lucu itu. Saya sendiri, yang memperkenalkan profesi “penulis cerita” (lantaran merasa profesi Corporate Communication yang pernah jadi profesi saya, atau pimpinan lembaga pendidikan, masih cukup rumit diperkenalkan pada anak-anak Sekolah Dasar), cukup surprise dengan sambutan mereka. Mereka merubung buku-buku dan majalah yang memuat tulisan-tulisan saya. Termasuk menatap tanpa kedip sejumlah majalah dan koran yang memuat profil saya. “Saya ingin seperti ibu!” seru mereka antusias. Di kelas 5, tempat saya terakhir mengajar, murid-murid perempuannya tanpa sungkan memeluk pinggang saya, menggenggam dan mengayun-ayunkan tangan saya sembari meminta buku yang saya tulis. Sayangnya, buku itu tidak bisa saya bagikan, karena itu bacaan orang dewasa. Tapi sebagai ganti, saya berjanji akan membawakan buku-buku dongeng untuk anak-anak.
Di luar itu, saya mau tidak mau ‘dipaksa’ untuk mengenang kembali jasa guru SD saya, terutama saat di kelas 1 dan 2. Tak pernah terbayangkan sebelumnya betapa luar biasanya kesabaran, kegigihan, kasih sayang dan dedikasi mereka. Di meja makan pada Rabu malam itu, saya berbagi cerita dengan ibu kandung saya yang kini berusia 77 tahun, dengan perasaan yang sulit saya lukiskan. Membayangkannya kembali berdiri dan menyeru di depan kelas, sementara saya bergerak seperti bola bekel… Yup, ibu saya adalah guru saya di kelas 1 SD!!! ***