Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Anita, dan Kenangan yang Belum Selesai

7 Juni 2012   07:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:18 2400 1

menemukan serpihan keriangan masa lalu

bagai berdiri di balik pagar kawat

hanya bisa memandang, tanpa meraih...

sesungguhnya, telah jauh panorama itu tertinggal

seolah kita melihatnya dari jendela kereta

tak mungkin terulang, kecuali mengawali

perjalanan itu kembali. dari tempat yang sama

betapa kenangan itu telah menjadi noktah

hanya bisa memandang, tanpa meraih

PUISI tiga bait ini saya tulis bersama sahabat saya, Kurnia Effendi. Bait pertama, milik saya.Selebihnya milik dia. Puisi ini mungkin tepat menggambarkan apa yang kami alami dan rasakan. Khususnya terkait dengan keberadaan dan kenangan tentang Anita.

Siapa Anita? Baik, saya ceritakan dulu.

Untuk abege tahun 80-90an, nama “Anita” – lengkapnya “Anita Cemerlang” mungkin tidak asing. Anita adalah sebuah majalah remaja yang isinya mayoritas berupa cerita pendek (cerpen). Majalah ini terbit sejak awal tahun 1980-an dan almarhum pada awal dekade 2000-an. Anita, boleh jadi, menjadi bagian dari degup jantung dan hari-hari merah jambu remaja saat itu.Betapa tidak, Anita selalu hadir dengan kisah-kisah romantis masa remaja – dari jatuh cinta hingga patah hati, dari persahabatan yang tulus hingga cinta yang egois.

Bagi saya, Anita tentu menyimpan kesan tersendiri. Terutama, karena saya pertama kali menulis cerita remaja di majalah ini. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA. Dari Anita, saya baru merambah ke koran dan majalah yang lain. Hingga kini, saat saya lebih banyak menulis opini dan artikel tentang keuangan, teman-teman SMA saya masih mengingat saya sebagai penulis “Anita”. Dan saya kira, saya tidak harus keberatan untuk itu.

Perihal yang sama, saya pikir juga dirasakan oleh mantan penulis-penulis Anita yang lain: Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie, Nestor Rico Tambunan, Arya Gunawan, Gus Tf Sakai, Farick Ziat, Foeza Hutabarat, Hendry Ch Bangun, Endang Werdiningsih, Tina K, Sanie B. Kuncoro, Agnes A. Majestika, Karyani Rukman – sekadar menyebut beberarapa nama. Diakui atau tidak, Anita banyak melahirkan penulis mumpuni – baik di jalur sastra maupun di luar itu.

Tapi, saya tidak sedang ingin bercerita – apalagi menilai – tentang jagad sastra. Saya sedang berkisah tentang sebuah kenangan – yang hanya bisa dipandang, tanpa diraih. Tapi itu saja, sudah melahirkan kebahagiaan luar biasa. Mula-mula kenangan itu terkuak pada 15 Februari 2009 lalu. Melalui upaya dan kerja keras Kurnia Effendi serta Dewi Yanthi, ratusan cerpenis yang pernah mengisi lembaran Anita berhasil terlacak. Dengan mengandalkan jejaring sosial, undangan dilayangkan. Dan menakjubkan! Sekitar 150 penulis hadir di reuni yang digagas di Jakarta – melibatkan sejumlah ‘angkatan’, dari penulis awal tahun 1980-an hingga 2000-an, dari Aceh hingga Makassar. Lengkap menghadirkan Redaktur Pelaksana Anita saat itu: Adek Alwi.

Bisa dibayangkan seperti apa riuhnya. Betapa gegap gempitanya. Para ‘abege’ yang kini sudah rata-rata berusia 30-50 tahun lebih, kembali berbincang tentang cerpen remaja. Tentang kenangan. Tentang nama-nama yang dulu hanya dikenal melalui tulisan dan kini muncul dengan rupa yang jauh berbeda dengan karakter tulisannya....

Seperti bensin, reuni itu mengobarkan api kreativitas yang nyaris padam. Segera setelah reuni itu, wall facebook saya dibanjiri terbitnya buku-buku baru, karya-karya baru. Seperti kepundan yang meletus, lahar semangat dan kreativitas itu menjalar ke mana-mana. Tahun 2010, tercatat hampir 100 judul buku lahir dari penulis Anita. Saya sendiri, sempat melahirkan kumpulan cerpen “Tukang Bunga & Burung Gagak” yang merupakan hasil kolaborasi dengan Agnes A. Majestika, Kurniawan Junaedie, dan Kurnia Effendi.

Minggu kemaren, 3 Juni 2012, untuk ke sekian kalinya, kami kembali menggelar acara temu kangen penulis Anita. Entah kenapa, meski sibuk dengan kegiatan masing-masing, undangan seperti ini terasa sayang untuk dilewatkan. Termasuk untuk seorang Arya Gunawan, yang saat ini bertugas di Taheran. Anita boleh mati. Tapi jejaknya meninggalkan gurat. Dan itulah yang kini terus kami pandangi dari ‘jendela kereta’ usia. Hanya bisa memandang, tanpa meraih... ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun