Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sekelumit Kisah tentang Waria

22 Februari 2011   11:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:22 61 0

Sikap Kita Terhadap Mereka

Satu hal yang pasti bahwa kita seringkali bersinggungan hidup dengan mereka, namun pandangan sebelah mata kita, entah itu sifatnya stereotype, diskriminasi, dan jijik, tidak pernah kurang sedikitpun dari zaman dahulu hingga saat ini. Apa yang salah dari mereka sebenarnya? Bukankah mereka juga manusia, sama seperti kita. Jika mereka manusia, itu artinya mereka juga memiliki hak-hak yang sama seperti kita dan harus pula kita hormati. Lalu jika memang begitu, mengapa masih ada pihak-pihak yang melecehkan mereka hingga mereka mendapatkan perlakuan kasar dan tindakan kekerasan? Sebut saja Front Pembela Islam (FPI) yang paling getol “membasmi” keberadaan dan aktifitas waria. Lepas dari pemahaman agama mengenai waria yang masih menimbulkan perdebatan, saya hanya ingin fokus pada cara yang digunakan dalam menghadapi waria-waria. Haruskah dengan cara kekerasan, lari mengejar mereka lalu memukulnya dengan pentungan, menonjok, menendang, dan tindak kekerasan lainnya? Beginikah islam mengajarkan kita untuk menyadarkan orang yang dianggap salah atau menyimpang dari ajaran agama? Bukankah islam merupakan agama yang paling terdepan membawa nilai-nilai perdamaian, cinta, dan kasih sayang, rahmatan lil'alamiin, untuk seluruh alam, bukan hanya manusia. Lalu, apakah waria-waria ini tidak termasuk bagian dari alam ini atau entah mereka adalah mahluk asing yang datang dari mana tidak diketahui?

Seringkali timbul pertanyaan di benak saya, mengapa Islam yang begitu agung, penuh dengan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, cinta, dan nilai-nilai luhur lainnya, sering ditampilkan dengan sosok yang garang dan maskulin yang berlebihan. Padahal, cobalah kita buka kitab suci al-Quran, ayat pertamanya adalah surat Al-Fatihah; Bismillaahirrahmaanirrahim: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Yang ingin saya maknai adalah bahwa Allah itu memiliki Kasih Sayang yang sangat maha luas dan tidak bisa dibandingkan dengan kasih sayang yang diberikan oleh orang-orang yang kita cintai dan sayangi sekalipun. Lalu, mengapa pada realitanya sosok Allah ditampilkan dengan wajah garang dan maskulin yang berlebihan?!

Waria dan Pengalamanku

Kembali pada pembicaraan mengenai eksistensi waria, apakah ada diantara pembaca yang pernah mengenal atau mengetahui lebih dalam sebenarnya seperti apa kehidupan waria itu? Sebegitu kotorkah, jijik, dan laknatnya mereka itu? Saat itu saya pernah mewawancarai beberapa waria. Ini sebenarnya merupakan pengalaman yang menarik bagi saya dan merubah cara pandang saya dalam melihat dan memaknai kehidupan ini.

Dulu saya memandang waria persis sama seperti apa yang sering saya ungkapkan sebelumnya, saya merasa jijik, alergi, dan juga takut. Pernah ketika saya makan diwarung pinggir jalan, ada dua orang waria yang ngamen. Saat itu saya benar-benar shock ketika salah seorang waria mencolek pipi saya setelah mereka selesai ngamen dan keluar dari warung. Dalam hati ini saya mengumpat kesialan yang menimpa diri ini saat itu dan juga waria yang tidak tahu sopan santun itu. Saat itu, saya memandang waria dengan perasaan yang begitu jijik dan cenderung stereotype.

Akan tetapi, saya sadar setelah melakukan wawancara dengan komunitas waria di daerah Notoyudan, Yogyakarta, bahwa dalam memandang dan bersikap terhadap mereka seharusnya bisa lebih bijak lagi. Komunitas waria yang saya kunjungi ini adalah sebuah Pesantren waria. Ibu Maryani, pendiri pesantren ini, juga merupakan seorang waria. Dari hasil wawancara saya itu, waria-waria ini sebenarnya memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia pada normalnya. Mereka memiliki kebutuhan rohani, yaitu beribadah kepada Allah. Mereka percaya bahwa akan ada kehidupan setelah mati, dan untuk mempersiapkan kesana, mereka butuh persiapan yaitu ibadah. Mereka mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak pernah meminta untuk menjadi seperti apa yang ada pada diri mereka saat ini. Keluarga dan masyarakat sebenarnya secara langsung maupun tidak langsung telah berusaha untuk merubah mereka menjadi seperti normal; laki-laki tulen, atau perempuan tulen. Sayangnya usaha itu tidak pernah bisa, sehingga mereka berpikir bahwa mereka hanya bisa menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah. Yang pasti, dengan kondisi seperti itu tidak akan pernah menyurutkan usaha mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Menurut mereka, memang ada waria-waria yang terbentuk dari hasil interaksi lingkungan, dimana karena sering bergaul dengan sesama waria menyebabkan seseorang berubah menjadi waria. Hal ini sebenarnya lebih mudah untuk diterapi kembali normal menurut Ibu Maryani. Lain halnya dengan yang sudah pembawaannya dari kecil, yang bisa jadi karena ada kelainan secara biologis, sehingga sangat susah atau bahkan tidak mungkin untuk diterapi dan merubah waria menjadi laki-laki tulen layaknya konstruksi dalam masyarakat saat ini.

Begitulah sekelumit kisah mengenai waria yang saya ketahui. Mereka juga manusia yang kebutuhannya sama seperti kita, butuh untuk dihargai, dihormati, dan diakui keberadaannya. Sungguh damainya dunia ini jika kita bisa menghargai perbedaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun