Mendengar permohonan anaknya, Ibu pun melihat label harga dan berharap uang di dompetnya cukup untuk menyenangkan sang anak. Ternyata harganya sangat mahal dan ia tidak sanggup memenuhi keinginan anaknya. "Nak, harga mainan itu bisa membayar uang sekolahmu selama 3bulan. Maaf ya, Ibu tidak bisa membelikannya untukmu."
Sang anak nampak sedih, tapi hanya bisa pasrah dan menyusul ayahnya yang sudah ada jauh di depannya. Setelah lelah berkeliling, mereka sekeluarga duduk di taman yang memang disediakan untuk para pengunjung. Terjadilah percakapan di antara mereka.
Sang anak yang masih sedih karena tidak bisa membeli mainan kesukaannya bertanya, "Ibu, tadi katamu harga mainan yang aku mau sama seperti biaya sekolah tiga bulan. Kalau begitu, ayo kita beli mainannya dan aku cukup izin sekolah selama tiga bulan. Aku bisa belajar dari rumah dan meminjam catatan dari teman-teman."
Mendengar ucapan anaknya, Ibu merasa kesal - menyesali keadaannya yang miskin. "Nak, Ayah susah payah bekerja supaya kamu bisa sekolah dan jadi anak pintar. Kenapa kamu malah jadi bodoh begini, memilih mainan daripada sekolah?" nada bicara Ibu mulai meninggi.
Baru sang anak mau bicara, Ibu sudah melanjutkan marahnya, "Memang Ibu mau jadi orang susah? Kalau Ibu punya banyak uang, pasti sudah Ibu belikan kamu mainan yang bagus-bagus. Coba tanyakan ayahmu, kenapa jabatannya di kantor tidak pernah naik dan gajinya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan kita? Kenapa hidup kita begitu menyedihkan sementara keluarga lain bisa makan enak di restoran yang mahal? Kenapa hidup ini rasanya tidak adil bagi kita???"
Tadinya Ayah mau diam saja mendengarkan, tapi karena namanya sudah dibawa-bawa, ia pun angkat biacara, "Bu, Nak, maafkan Ayah karena belum bisa menyenangkan kalian seperti ayah-ayah lainnya. Kalau tidak terpaksa, Ayah juga tidak mau bekerja di perusahaan tempat Ayah bekerja sekarang. Bosnya galak, gajinya kecil, pekerjaannya sangat melelahkan."
Sang anak menjawab, "Kalau begitu kenapa Ayah tidak berhenti saja dan mencari pekerjaan lain yang lebih baik?"
"Ayah juga maunya begitu. Cita-cita Ayah, Ayah mau membuka usaha bengkel motor kecil-kecilan, sesuai hobi Ayah. Tapi Ayah belum bisa mengumpulkan modal untuk sewa tempat dan membeli beberapa mesin. Tapi Ayah yakin, pasti suatu saat Ayah bisa. Kalau teman-teman Ayah saja bisa, kenapa Ayah tidak bisa? Yang penting kita harus optimis. Iya, kan?" jelasnya, mencoba meyakinkan bahwa hidup keluarganya suatu saat pasti akan berubah menjadi lebih baik.
"Kenapa harus menunggu suatu saat, Yah? Kenapa tidak dimulai sekarang saja? Ayah bisa buka bengkel kecil di halaman depan rumah. Apalagi di daerah rumah kita masih jarang yang buka bengkel motor. Sementara cukup bengkel cuci motor dan tambal ban, nanti kalau sudah ada untung baru kita buka bengkel yang lebih besar. Guruku pernah bilang, kalau mau berhasil jangan pernah menunda-nunda pekerjaan," sang anak begitu bersemangat.
Nampaknya anak kecil berusia 12 tahun ini telah menginspirasi sang ayah untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga mereka.
Sang Ibu adalah gambaran orang yang pesimis - selalu mengeluh dan bertanya, "Kenapa (WHY) hidup saya seperti ini?" Sang ayah adalah gambaran orang yang optimis - selalu melihat harapan akan masa depan yang indah dan berkata, "Kenapa tidak (WHY NOT)?" Sang anak adalah gambaran orang yang realistis - selalu melihat peluang di tengah krisis dan berkata, "Kenapa tidak sekarang (WHY NOT NOW)?
Jika kita punya mimpi, jangan sampai kita merasa mimpi tersebut too good to be true, alias pesimis. Kita harus optimis, yaitu percaya bahwa mimpi kita pasti bisa jadi kenyataan. Namun optimis saja tidak cukup. Kalau mau mimpi tercapai, kita harus realistis, segera mengeksekusi mimpi dengan tindakan nyata.
Semangat dan sukses selalu :)
SUCCESS IS MY DESTINY!