Di Jogja--sebelum ada Bus Trans Jogja yang mempercantik Kota Pelajar--ada yang namanya Colt. Jalur yang kukenal melalui Prambanan ke UGM, melewati Hotel Ambarrukmo. Di Janti keneknya melompat turun, menahan ban dengan batu. Menandakan paling tidak sepuluh menit penumpang harus bersabar.
Waktu masih kuliah, pernah kakak temanku datang dari Medan. "Bah, jelek kali," katanya melihat colt hitam jelek berasap tebal dan bersuara mercon itu berhenti di depan kami.
"Ya, sudah. Kita tunggu yang lain." kata adiknya. Padahal kami sudah menunggu sepuluh menit di depan "Kedaultan Rakyat".
Kulihat senyum simpulnya. Kami sama-sama tahu, dari semua Colt yang melewati jalan Solo, tidak akan ada yang lebih baik dari ini.
Colt kedua berhenti seperempat jam kemudian. Bukan hanya lebih jelek, malah sudah penuh. Masih ada dua tempat di pintu, berdiri.
Di colt keempat baru kami naik. "Miskin kali kalian," kata kakak temanku dalam bahasa Batak. Aku tidak mengerti sampai adiknya berbisik. Sekaligus menjelaskan colt di Medan tidaklah separah ini.
Di Solo, (kelihatannya) namanya tetap angkot. Aku menaikinya pertama kali waktu ke Grand Mall. Setelah setengah jam menunggu di pertigaan Pasar Nusukan, benda itu muncul. Membawaku lurus ke arah timur, sama sekali tidak berbelok. Lalu berbalik, berputar 180 derajat. Membuatku heran, bahkan sedikit takut. Apakah sudah melewati Grand Mall? tanyaku. "Belum," jawab keneknya. Membuatku bingung. Mau ke Grand Mall malah berbalik lagi. Setelah satu atau dua kilometer, Angkot berbelok ke arah selatan. Akhirnya aku tahu jalur Angkot dari Nusukan ke Grand Mall: ke barat, ke timur, lalu ke selatan.
Di kota lain? Aku hanya mendengar cerita. Di Padang, angkotnya penuh corat-coret yang bukan asal-asalan. Juga penuh stiker warna warni. Ada fasilitas tambahan berupa full music ber-sound system yang mampu mengalahkan hinggar-bingar sebuah diskotik. Sering kubayangkan apa yang terjadi bila ada angkot hingar-bingar di Solo ini.
Di Manado, angkotnya mencerminkan perilaku orang Manado itu sendiri. Perlente. Walaupun angkutan rakyat, mereka tidak mau duduk berhadap-hadapan seperti di angkot daerah lain. Mereka hanya mau naik angkot yang tempat duduknya lebih ekslusif--bangku-bangku yang terpasang berbaris ke depan. Untuk musik, tidak akan ada lagu dangdut kelas kampung.
Di Kupang? Orang Kupang terkenal suka musik dan suasana ramai. Angkot mereka berisi peralatan sound system yang juga memekakkan telinga. Ada teman yang berkata, di Kupang ada berlaku pepatah "No Music, No Passenger" di dalam angkot.
Di Palangkaraya? Ini kota asalku. Tentu aku mengenalnya, bahkan aku mengenal semua jurusan yang ada. Palangkaraya sebenarnya sebuah kota yang kecil. Angkotnya berupa minibus biasa bercat merah. Tidak ada musik keras, tetapi kadang ada musik lembut dari sound system biasa.
Tetapi Angkot inilah yang membuat rata-rata penduduk Palangkaraya menjadi penduduk paling kaya di Indonesia. Kemana-mana orang naik taksi. Nama untuk angkot kami.
Bila kota ini bertambah besar, apa nama angkutan yang memakai sedan? Keadaan Banjarmasin, ibu kota provinsi tetangga bisa menjawabnya. Dulu di sana, minibus yang membawa penduduknya keliling kota bernama taksi. Lima tahun terakhir ada taksi yang benar-benar taksi. Tetapi itu tidak boleh mengambil nama taksi juga. Untuk membedakan keduanya, taksi yang benar-benar taksi namanya Taksi Argo.
Bila Anda suatu saat ke Palangkaraya, tidak perlu heran bila kami naik taksi kemana-mana.