Aku masuk sambil komat-kamit, menuju tempat duduk di bagian belakang. Hanya ada satu tempat duduk kosong. Di sebelah seorang ibu-ibu yang asyik mengunyah petai hijau. Mulutnya komat-kamit menikmati biji berkalsium tinggi itu (-maka-nya bisa jejengkoleun atau pepetean kalo kebanyakan makan). Semacam kain selendang ulos melingkar asimetris di bagian atas rambut. Jepitan rambut hitam (yang biasa buat jepit konde itu loh....), menancap di sisi kiri kanan kepala. Salah satu ujungnya tergerai menutupi belahan dada. Aku dudukkan pantat dengan keras. Aku terhenyak dan terdiam. ”Sialan, keras banget ni bangku... bau petai pula..”
Sejurus (kungfu kali...) kemudian aku berdiri dan melangkah ke pintu belakang. Ku panggil pedagang botol mineral di bawah. ”Aqua bang. Satu”. Kusodorkan uang lima ribuan lewat pintu. Kembali ke bangku, lalu ku baca lagi novel ’Penyihir Bantat’, volume 3 yang baru kemarin ku beli. Tidak bisa konsen. Kututup dan kumasukkan novel ke dalam tas solempang hitam. Aku perhatikan lagi langit-langit bus yang sedikit berjamur. Kabel warna-warni berlipatan menempel. Dari ujung belakang ke ujung depan. ”Aneh... kok banyak kabel ya... ”. pikirku
Di bagian depan, sebelah kiri, duduk sejoli yang dimabuk asmara (kelihatannya sih). Kepala si gadis pura-pura terkulai lemas di dada kanan sang jejaka. Sementara lengan si jejaka memeluk erat bahu si gadis. Erat sekali. Sambil jari-jemarinya mengelus rambut hitamnya. (ya rambut si gadis lah... masak rambut supir seeeh).
”Hari gini.... jam 2 siang... apa gak bau tuh ketek”. Ketusku iri dalam hati. Memang, kalau sudah cinta, ketek bau pun seharum parfum. Keringat pun serasa minyak nilam.
Di pintu masuk, bagian tengah, duduk seorang pria berkopiah haji warna putih. Masih muda, mungkin sekitar 35an. Wajahnya keras, tapi cukup tampan. Kumis janggutnya panjang terurai. Dipahanya tergolek tas hitam. Hhmmm tas hitam. Aku coba tebak-tebak isinya... mulai dari buku, mangga, beras, duit, duren, sampai ke bom. ”Ya, bom. Kenapa nggak? Bisa saja kan bom”. Pikirku.
Di sebelahnya duduk seorang wanita muda. Berpakaian sopan dan tertunduk terus, memandangi HP kuning yang dipegangnya erat-erat. Mirip tekukur yang tepekur. Mereka tidak saling bicara.
Tak berapa lama, sang supir masuk dan mulai menstarter bus. Tenang, namun pasti. Bus mulai bergerak maju perlahan. Lurus ke depan (ya ke depan lah, masak ke samping seh... emang matrix bisa nyamping...). Serempak semua penumpang menghela nafas lega – dan bau. ”hhhm.... Akhirnya... berangkat juga”.
Semakin lama bus melaju semakin kencang. Kemudian perlahan berhenti, ketika memasuki satu belokan curam. Si Supir keluar pintu dan berbicara dengan kernet. Keduanya memutari bus. Mungkin untuk memeriksa, apakah ada baut atau mur yang copot. Supir masuk kembali ke tempat duduknya. Tiba-tiba, dari belakang si kernet berteriak keras. ”hantaaaaammmm je...”.
Bus pun langsung menghentak keras ke depan. Seperti dikomando, serentak seluruh penumpang menjerit kaget. Ada yang melengking, parau, juga ada yang fals alias sumbang. Pria di seberang tempat dudukku --yang sedang mangap mau melahap sate telur puyuh yang dibeli sebelum berangkat-- terhuyung keras ke depan. Satenya terlempar jauh, kemudian jatuh tepat menimpa pundak seorang laki-laki berpakaian putih dengan kacamata Ray Ban ceng dem (seceng adem). Aku tidak melihat lagi apa yang kemudian terjadi dengan laki-laki itu, karena penumpang di sebelahku bener-bener terhuyung sampai hoyong jauh. Jatuh terjerembab di kursi penumpang sebelah kanan. Tepat di depanku. Aku berteriak keras... ’Mak lu di rodooookkk ’. Kaget.
Teriakan suci ’Allahu Akbar’, ’Tuhan Yesus’ dan sumpah serapah saling bersahut-sahutan. Jadi mirip adu nge-rap antara Opick vs Victor Hutabarat vs Doel Soembang. Kacau semua jadinya. Tapi bus terus melaju kencang. Oleng ke kiri dan kanan. Seperti tanpa arah. Salip mobil kiri kanan. Bunyi klakson kaget dari mobil lawan arah bersahut-sahutan. Semua penumpang mencoba duduk lengket di kursi. Muka mereka semua pucat pasi tanpa basa-basi. Tangan meremas tempat duduk atau memegang besi pegangan di kiri kanan mereka. Ada juga yang menceracau berdoa. Tangan di dada, memohon keselamatan. Keringat dingin bercucuran keras.
Tapi sang supir tetap melajukan busnya dengan kencang. Kencang sekali. Mungkin 100 km per jam di jalan yang berkelok-kelok. Si supir tidak perduli. Seperti sudah gila. Dan sang kernet dengan sigap terus bergelayutan dari pintu depan ke belakang. Sangat terlatih. Sirkus edan.
Dalam keadaan kacau balau, sepintas aku mencoba melihat supir lewat kaca spion. Gila, matanya terbelalak merah menyala. Raut muka keras dan menggigit kuat karet... atau kabel? Dia tidak mendelik sedikit pun. Matanya lurus memandang ke depan. Selurus-lurusnya dan tegang. Sementara kedua tangannya menari-nari dengan lincah di setir. Aku semakin panik.
Tiba-tiba aku melihat wanita yang duduk di sebelah pria bertopi haji putih mengangkat tangan kanannya. Mengacungkan HP berwarna kuning. Aku lihat hp tersebut menyala terang. Jempolnya siap memencet tombol angka 5 ditengah. Aku pikir: ”gila... bom!.. meledak ni mobil...” Dengan sigap, entah kekuatan darimana, aku meloncat ke depan dan langsung menampik tangan tersebut. HP pun jatuh tepat di bawah kaki ku. Ku sepak HP itu keluar pintu. Selanjutnya, aku rampas tas hitam di pangkuan si lelaki berpeci haji putih dan melemparkannya ke luar pintu bus. Aman.
Keduanya bengong, selanjutnya marah dan berusaha mengejarku. Adegan tarik-tarikan baju dan celana terjadi. Agak mirip Keanu Reeves dalam bus di film Speed dikejar mpok Ati. Mobil terus meliuk-liuk, menggoncangkan seluruh isi bus. Dengan susah payah, aku terus merangsek maju ke arah supir yang sedang kesurupan. Susah sekali. Aku pusing. Entah dimana tangan dan kakiku. Aku jadi teringat masa dulu ketika sering naik kereta api Bogor – Jakarta. Aku tidak pernah tahu dimana tangan dan kaki setelah berada di dalam gerbong. Yang penting nyelip. Urusan menyambung kembali kaki dan tangan, bagaimana nanti saja setelah turun di Stasiun Manggarai.
Belum sempat aku meraih si supir. Bus berhenti mendadak. Seluruh penumpang terjerembab ke depan. Termasuk aku. (iya lah... masak terpaku atau melenting ke belakang... matrix kali ah). Supir dan kernet keluar bus dan meminta penumpang untuk turun. Sejoli di depan sudah turun kekencingan duluan. Aku langsung meloncat keluar dari pintu samping kiri depan bus.
”Apalagi nih...” Pikirku. ”Aduh.. jangan-jangan disandera nih ...”
Semua penumpang berebutan turun. Ada yang muntah. Ada yang berdiri tegak tapi kepala leng-geleng-geleng. Ada yang terduduk lemas.
Aku? Terjerembab dan tersimpuh diatas dengkul (untung saja dengkul ku kuat.. kalo tidak, sudah gegar otak nih...)
Tiba-tiba dari arah belakang… ‘plak!’. Sebuah tamparan yang cukup keras, mendarat di atas telinga kananku. Kencang sekali. Aku yang sedang berusaha bangkit dari merangkak, terhuyung dan terjerembab kembali. Perih dan sakit sekali. Tapi aku masih bisa memalingkan muka. Ku tengok dan samar-samar pusing, aku dengar: ”Eh, kenapa kau tendang HP-ku tadi? Orang gila kau!”.
Aku bengong. bingung.
Perempuan itu terus menceracau. Bibirnya bergerak dan berputar-putar. Matanya membelalak merah. Tangan kanannya terangkat tinggi-tinggi, siap menghantam kepalaku lagi dengan tapak tangannya yang putih tapi panas terisi amarah. Aku langsung bangkit. Entah kekuatan darimana. Berlari lintang pukang seribu arah. Aku tak melihat gundukan rumput di depan. Lariku terhenti, ketika aku jatuh terjerembab tepat di depan sepasang laki-laki dan wanita berseragam. Perawakan mereka sedang. Dalam keadaan linglung dan mata buram, aku samar-samar melihat mereka menyeringai. Sepertinya, mata mereka melebar dan tertawa terkekeh-kekeh.
’Mati aku!...’
Kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara....
“Selamat…! Anda telah berhasil mengikuti permainan ‘Arung Angkot’ dari Padang Bulan ke Sibolangit... Karena berhasil datang duluan, Anda berhak mendapatkan Wangsit... satu tiket gratis… permainan Arung Angkot pulang ke Padang Bulan”.
Aku..? Terduduk lemas. Bisu.
Padang Bulan – Sibolangit. Pantesan aneh, pikirku. Dari Padang ke bulan terus sibo ke langit... yaa mana mungkin....