Seorang pria macho menagis sambil beruarai air mata berteriak-berteriak memanggil kekasihnya.
Adegan lebay ini hanya ada di telenovela, drama produk Amerika Latin yang pernah naik daun di layar kaca televisi Indonesia di tahun 90an. Betapapun lebay-nya tayangan itu, saya dahulu termasuk penggila telenovela. Meski sebenarnya semua ceritanya bisa ditebak. Si kaya jatuh cinta pada si miskin. Lalu orang tua tidak setuju, penyiksaan, cinta yang berurai air mata dan..pada akhir cerita, cinta sejati menuntun ke arah bahagia. Eaaaa.....co cuitttt...
Rasa-rasanya, saya kangen nonton telenovela lagi. Kangen si Maria Marcedes alias Thalia, kangen Osvaldo Rios, kangen Fulgozo. Hah Fulgozo? Hahahaha...ngaco ah.
Dahulu, telenovela tayang membabi buta, jam 9 pagi di tv A, jam 10 di tv B, jam 3 di tv C, jam 5 di tv D. Dan hebatnya semua saya tonton...parah ya...
Pokoknya no day without telenovela..ckckckck.
Eh nggak juga ding, nggak semua telenovela saya tonton. Biasanya saya lihat dulu siapa pemainnya, bagaimana setting ceritanya. Yang membuat saya akan menggemari sebuah telenovela adalah telenovela dengan pemain yang ganteng dan cantik, lalu telenovela dengan seting pedesaan -rasanya senang melihat pemandangan di dunia lain- lalu berikutnya adalah arsitektur rumahnya dan kemewahan yang ditawarkan dalam telenovela tersebut. Hihiihhii...penonton yang matre ya..
Satu yang membuat telenovela berbeda dari sinetron adalah kepastian hukum, eh, maksudnya kepastian kapan berakhir. Gak ada istilah injury time alias perpanjangan waktu dengan perubahan alur cerita dan memunculkan tokoh baru yang gak penting dengan maksud mengaburkan jalan cerita. Meski ada telenovela yang bersequel tapi dia tidak jumping ceritanya. Hasyaaahhhh ngomong apa sih saya.
Semakin nyidam nonton telenovela..ayo dong, ada satu saja tv yang menanyangkan telenovela, tapi pasti nanti kalau ratting si telenovela bagus, tv lain ikut-ikutan.
Sudah ya...mau ngayal ketemu bintang telenovela dulu..hehehe