Hari minggu yang lalu, salah satu televisi swata nasional memuat berita mengenai seorang perempuan yang melahirkan anak diluar nikah dan tidak mampu memebayar biaya persalinan sebesar kurang lebih dua juta rupiah. Akibatnya bayi dan ibunya masih ditahan oleh pihak rumah sakit.
Ngenes rasanya mendengar berita ada bayi yang ditahan karena ibunya tidak mampu membayar biaya persalinan di era 2012 ini dimana pemerintah telah meluncurkan program JAMPERSAL atau Jaminan Persalinan. Jika dahulu di tahun 1990an kita melihat kisah Sayekti dan Hanafi atau Dewi Cipluk sebagai gambaran bagaimana pihak institusi kesehatan melakukan penahanan terhadap bayi mungkin masih “wajar” sebab belum terbit kebijakan Jampersal tersebut. Namun jika hal ini muncul di era ini? Apa kata bu Menkes nanti ya?
Pada kondisi dimana UU SJSN telah diterbitkan dan terlebih lagi telah ada kebijakan Jaminan Persalinan bagi perempuan Indonesia semestinya, drama penyandraan tidak terjadi lagi. Dan jika ini masih terjadi, maka harus kita kaji ulang. Dimana akar masalahnya.
Jampersal berarti adalah jaminan persalinan bagi setiap perempuan Indonesia. Artinya setiap perempuan Indonesia memeroleh hak untuk mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan maksimal 4 kali, satu kali persalianan, perawatan nifas dan KB seacara gratis dalam satu kali fase kehamilannya. Persalinan ini tidak hanya persalinan normal, namun juga persalinan dengan tindakan, misalnya, perdarahan atau komplikasi lain, persalinan dengan section caesaria maupun dengan alat bantu lainnya. Persyaratan untuk mendapatkan paket jampersal cukup mudah, hanya dengan menunjukkan KTP dan bukti pemeriksaan persalian melalui buki KIA yang diberikan pada saat pertama kali pemeriksaan kehamilan.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah ada beberapa institusi kesehatan swasta yang tidak bersedia menerima kebijakan Jampersal. Sebab, biaya klaim persalinan jauh dari standar mereka. Di tahun 2011 lalu, biaya klaim nuk sekali persalinan normal sebear Rp 350.000 dan Alhamdulillah di tahun ini sudah meningkat menjadi Rp. 500.000. Tentu nominal tersebut masih sangat kurang bagi sebuah institusi yang mematok biaya berjuta-juta untuk satu kali peralinanan normal. Andai saja, pemerintah bisa bersikap tegas memberlakukan Jampersal di semua institusi kesehatan saya rasa kasus penyandraan tidak akan terjadi. Dan kemudian ada yang berseloroh, kami menjual pelayanan, maka harga kami mahal. Bagi institusi swasta, silahkan anda memberikan beraneka pelayanan dengan harga berkelas tapi tolong tetap sediakan satu ruang untuk sebuah Jampersal. Artinya, klien anda, pasien anda yang menentukan sendiri persalinan seharga berapa yang akan mereka gunakan. Sebab, jamperala adalah hak mereka.
Permasalahan lain yang timbul adalah, kebijakan jampersal ini masih bias diperuntukan untuk siapa saja. Pernah saya mengajukan pertanyaan pada website kemenkes yang kala itu memuat megenai sukseskan Jampersal. Saya mempertanyakan, untuk siapa sajakah program ini, apakah program ini berlaku untuk perempuan korban perkosaan. Ternyata, saya tidak mendapatkan jawaban. Yang saya peroleh adalah hilangnya pertanyaan saya di forum tersebut. Mungkin tidak sengaja terhapus admin tanpa sempat menjawab.
Bukankah UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 5 ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan yang sama. Artinya siapa saja warga negara Indonesia, berhak mendapat akses dan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas (pasal 2) tanpa harus dipusingkan memilah mana kiranya isntitusi kesehatan yang pas untuk kantongnya.
Semoga pemerintah bisa lebih bijak da jeli dalam membuat sebuah kebijakan dan program sehingga diharapkan sindiran Orang Miskin dilarang sakit bisa lenyap.