Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Menyelami Surga Bawah Laut Pulau Tomia (Wakatobi) Part.2

18 September 2013   18:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:43 2465 2

Untuk keberangkatan kami ke Pulau Tomia, Kab. Wakatobi (15/08/2013) menggunakan jalur alternatif Kapal Laut. Berkunjung ke gugusan Kepulauan Wakatobi, banyak jalur yang bisa digunakan untuk sampai kesana. Bisa menggunakan pesawat terbang, kapal laut, kapal cepat dan kapal PELNI. Semua tergantung kenyamanan dan kemampuan anda untuk berwisata dalam Gugusan Kepulauan Tukang Besi ini yang sekarang disebut dengan Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan singkatan gugusan dari Pulau Wangi-wangi (Wanci), Kaledupa, Tomia dan Binongko. Keindahan alam bawah laut Kepulauan Wakatobi ini sudah sangat dikenal dunia, dengan sebutan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Segitiga Karang Dunia, Cagar Biodiversity Bumi dan Surga Nyata Bawah Laut dengan keragaman spesies serta terumbu karangnya. Juga terdapat Karang Atol terpanjang di Dunia di Perairan Pulau Kaledupa seluas kurang lebih 48 KM persegi.

Tidak ada tempat pemesanan tiket secara umum, seperti keberangkatan Kapal PELNI atau Kapal Cepat yang harus melewati loket, cukup berbicara dengan awak kapal atau Kapten kapal untuk pemesanan tiket. Jadwal kapal untuk ke Pulau Tomia setiap malam pukul 08.30 yang akan berangkat pada pukul 10.30, untuk jadwal kapal cepat 3 kali dalam seminggu dan sangat tergantung dengan cuaca, karena untuk menuju pulau Wakatobi pada bulan-bulan tertentu, gelombang laut bisa mencapai 4-5 meter. Untuk kapal PELNI menyesuaikan jadwal kapal yang akan singgah dengan tujuan Wanci/Wangi-Wangi yang merupakan Ibukota Kabupaten Wakatobi.

Menggunakan Kapal Laut dalam perjalanan sangatlah efektif, menikmati indahnya Kota Baubau dimalam hari, panorama langit malam dengan suasana riak dan gelombang air laut dari atas kapal, suara mesin kapal yang cukup bising berirama. Diatas kapal telah disiapkan matras dan tempat tidur untuk penumpang, waktu yang ditempuh ke Kaledupa cukup lama kurang lebih 10-12 jam, dan akan tiba jam 10-11 pagi. Rute yang kami ambil menuju Wakatobi adalah Baubau-Kaledupa, Jadwal kapal Baubau-Tomia untuk malam itu sedang tidak beroperasi, tidak ada saran yang baik pada malam itu. Kamipun memutuskan mengambil jalur terdekat dengan Pulau Tomia yaitu Pulau Kaledupa, dan ternyata.. untuk transportasi laut yang sangat lancar adalah dengan lewat Pulau Wanci di Pelabuhan Molla. Keputusan sudah bulat dan kami menggunakan jalur Baubau-Kaledupa dengan sewa tiket sebesar Rp. 125.000,- perorang. Dalam perjalanan jauh, tubuh memerlukan istrahat yang cukup serta makanan yang bergizi ditambah dengan jumlah asupan multivitamin yang baik untuk tubuh. Berbagai persiapan seperti obat anti mabuk laut dan air mineral secukupnya sangat disarankan. Udara malam cukup dingin, tetapi sangat panas ketika sudah berada ditengah laut. Untuk menghindari dehidrasi, sangat disarankan untuk membawa buah dan camilan-camilan untuk bekal selama perjalanan.

Jam 05.30 sangat pagi, matahari terbit cukup indah untuk dilihat sambil menikmati segelas kopi hitam yang dibagikan oleh awak kapal dipagi hari dan ditemani kepulan asap rokok. Tepatnya jam 11.30 kami tiba di Pelabuhan Buranga, Kec. Kaledupa, terlihat jelas dari kapal sebelum tiba di Pelabuhan Buranga, Pulau Hoga tepat berada di depan Pulau Kaledupa. Pulau yang indah dengan bentangan jembatan dan pasir putihnya yang sangat indah. Dari Pelabuhan Buranga kami harus segera menuju ke Pelabuhan Taou yang jaraknya 9-10 Kilometer dari Pelabuhan Buranga., menuju Pelabuhan Taou kami naik ojek yang telah menunggu di Pelabuhan, untuk naik speed boat menuju Pulau Tomia. Menikmati alam liar Pulau Kaledupa yang sangat indah dan asri dibawah sinar matahari yang cukup terik sungguh luar biasa. Dalam perjalanan menuju Pelabuhan Taou kami sempat melihat dari depan lokasi Benteng Palea, dan kami tidak sempat bertandang lagi. Mengingat speed yang akan ke Pulau Tomia mungkin sudah meninggalkan kami. Setiba kami di Pelabuhan Taou, kami membayar sewa ojek untuk berdua sebesar Rp. 50.000,-. Di Pelabuhan Taou masih ada beberapa penumpang speed yang ketinggalan, kami pun menanyakan jadwal kapal selanjutnya ternyata masih ada, bukan speed boat lagi tetapi kapal laut agak kecil dari kapal yang kami tumpangi tadi. Kapal yang akan kami tumpangi ini tidak berlabuh di Pelabuhan karena kondisi air surut, jadi kami harus berjalan kaki sejauh sekitar 200 meter dari darat sampai akhir titian bawah jembatan menuju kapal yang akan diantar dengan menggunakan perahu katinting yang dibayar Rp. 10.000 per orangnya. Pemandangan yang sangat indah berjalan disurutnya air, menggantung sepatu, berjalan dengan kaki telanjang diantara rumput laut. Indahnya alam Pulau Kaledupa hanya kami nikmati tidak lebih dari 40 menit, bukit-bukit kecil, tebing curam pinggir pantai dengan garis pasir pantai yang putih.

Perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut yang tidak begitu kecil, bisa menampung 20-30 penumpang dengan sewa Rp. 100.000,- perorang, angin laut siang ditambah dengan deru gelombang ombak yang cukup menggoyangkan kapal, sesekali kami harus bertumpu pada dinding kapal untuk menghindari hempasan ombak. Tidak terasa Jam 14.40, kurang lebih 2 jam perjalanan laut, kami tiba di Perairan Kepulauan Tomia, kapal kami tidak berlabuh di Pelabuhan Waha, Tomia Induk, melainkan kami harus naik kapal katinting dari kapal yang kami tumpangi tadi, melihat gugusan karang dari dekat dan memutarinya yang mana Kawasan tempat kami memutar ini disebut Spot Gunung Waha dan Mari Mabuk.

Di Pulau Tomia ini terdapat 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Tomia Induk di Waha dan Kecamatan Tomia Selatan di Osuku. Dari 2 Bulan sebelumnya kami telah menghubungi seorang guide bernama Pak Ade Koji yang kebetulan mengelola penginapan untuk turis yang tidak jauh dari Pelabuhan Waha, Desa Labore, Kel. Onemay, dikelola dengan beberapa temannya bernama Tandiono Wakatobi Dive Center, menyediakan 2 kamar penginapan yang harganya lumayan bersahabat sebesar Rp. 100.000,-permalam diluar makanan dan minuman serta fasilitas dive center.Semilir angin pantai, udara bersih dan rindangnya pohon kelapa menjemput kedatangan kami. Berkenalan secara langsung dengan Pak Ade Koji bersama Kak Budi yang selama ini hanya melalui SMS dan Telepon untuk berbicara dengan mereka.

Setelah makan siang, kami ditawarkan city tour oleh Pak Ade Koji dengan mengunjungi Festival Benteng Patua, yang telah digelar selama 3 hari, dan hari itu adalah hari penutupan. Festival yang diadakan oleh Pemerintah Kab. Wakatobi bersama Kecamatan Tomia Induk dalam rangka membangun Tomia Berbudaya dengan menampilkan beberapa tarian daerah, pameran hasil kerajinan dan penampilan alat musik daerah, digelar didalam areal Benteng Patua. Festival Benteng Patua ini baru pertama kali diadakan, jadi kami sangat beruntung dan gembira sekali, sekalian bisa berjalan-jalan menuju areal Benteng Patua yang merupakan situs cagar budaya Kepulauan Tomia, yang berada diatas bukit yang cukup tinggi. Kami diantar Pak Ade untuk berkeliling menyusuri benteng dengan ketinggian tangga yang lumayan menguras otot kaki. Dalam areal benteng ini sebagian kecil dipugar, sebagian besarnya masih dipertahankan keasliannya, beberapa diantaranya diperbaiki dan dibuat jalan aspal serta jalan setapak untuk memudahkan akses pejalan kaki menuju dan mengelilingi benteng tua ini. Tidak ada tahun yang menjelaskan kapan dibangun dan dibuat benteng dari susunan batu yang masih kokoh berdiri, terdapat bekas areal masjid dan tempat peristirahatan, hanya beberapa papan yang menunjukkan nama lokasi dan beberapa makam tua, didalam areal benteng terdapat bangunan seperti rumah yang disebut Kanta Baruga (tempat berkumpul). Didepannya ada 2 buah tiang bendera dari pohon pinang dan sebuah meriam yang menghadap ke arah utara. Berdiri diatas benteng ini kita bisa melihat kebawah berupa hamparan pantai, karang, Pulau Kaledupa, Pulau Ndaa dan rindangnya Pohon Kelapa serta udara yang cukup sejuk dengan semilir angin pantai.

Satu situs yang sangat mencengangkan bagi kami yaitu bernama Jamba Katepi, dalam bahasa Wolio atau Bahasa Tomia, Jamba = WC/Toilet, Katepi = Nyiru., kalau diartikan cukup aneh yaitu Toilet/WC Nyiru, kemungkinan Toilet/WC yang berbentuk seperti Nyiru, tetapi bentuknya tidak seperti nyiru, cukup mencengangkan. Ternyata keberadaan WC/Toilet di Pulau kecil ini sudah ada sejak dulu kala.

Seperti pada mitos-mitos didaerah lain, berlaku juga untuk diKepulauan Tomia, tidak disebut ke Pulau Tomia kalau anda belum berkunjung ke Benteng Patua. Setelah puas mengelilingi situs benteng kami menuju kembali ke areal bawah benteng, dimana lokasi Festival Benteng Patua diadakan, menuruni tangga yang cukup tinggi sesuai dengan undekan benteng yang terdiri dari tiga undekan. Cukup memacu adrenalin dan menguras keringat, tapi sangat terbayarkan.

Budaya yang masih sangat dijaga kelestariannya adalah sejenis adu ketangkasan beladiri yang warga Tomia menyebutnya Mansaa (Mancaa) atau sejenis Pencak Silat yang diiringi dengan lantunan musik dari 2 buah Gendang, Gong dan Bonang. Dalam beberapa bekas wilayah Kesultanan Buton, jenis ketangkasan beladiri ini masih sering dipertontonkan dalam berbagai acara ritual adat, termasuk dalam wilayah Kepulauan Tukang Besi ini sangat tersohor dan terkenal untuk Adat Mansaa (Mancaa/Silat) adalah Barata Kaledupa dan Tomia.

Didalam pagelaran Festival Benteng Patua sangat menarik perhatian kami, karena adu ketangkasan Beladiri Mansaa ini dimainkan sangat atraktif oleh beberapa anak muda dan orang tua, beradu fisik dengan sedikit humor didalamnya. Beberapa kali membuat penonton bertepuk tangan dan menahan tawa karena gerak-gerik mereka yang terkadang dibuat-buat untuk meramaikan suasana para penonton yang sangat antusias.

Sore hampir menjelang, kami pun bersama Pak Ade menuju kembali ke Penginapan untuk beristirahat dan menikmati matahari terbenam (sunset) di areal Tandiono Beach. Suara adzan Magrib menggema diantara hempasan angin laut, berdiri diatas tumpukan batu jembatan pembatas Tandiono Beach, membuat indahnya menyambut malam. Lampu suar depan penginapan sesekali memancarkan sinarnya.

Taburan bintang diatas riak air dan angin laut membuat kami lapar, segera untuk mencari santapan malam, di Pulau Tomia ini hanya terdapat satu Bank Daerah dan tidak terdapat ATM atau Rumah Makan seperti layaknya di Wanci atau Baubau, hanya ada beberapa hotel dan penginapan/homestay yang disiapkan oleh masyarakat setempat, yang didalamnya untuk pemesanan makanan yang akan dihidangkan ala rumahan seadanya. Jika anda berminat datang ke Pulau ini, siapkanlah uang tunai yang cukup untuk kebutuhan selama berada di Pulau ini, karena jarak tempuh dengan Pulau sekitarnya sangat jauh, kurang lebih 2-3 jam perjalanan dengan kapal laut. Untuk makanan, ada beberapa Warung Makan dan Warung Bakso yang jaraknya tidak begitu jauh.Pilihan makan malam adalah ikan bakar Baronang yang sangat segar dengan sambal colo-colo. Jika berminat untuk makan malam dengan ikan bakar, sebaiknya dilakukan pemesanan sebelumnya. Cukup dengan Rp. 30.000,- anda sudah bisa menikmati ikan bakar yang rasanya sangat enak dan masih sangat segar.

Malam pun mengiring kami untuk istirahat dan sesekali kami menuju bibir pantai untuk melihat bintang dibawah terangnya cahaya bulan. Suasana tanpa hiruk pikuk, jauh dari keramaian hanya suara jangkrik, angin laut, pecahan ombak kecil, pasir pantai yang putih menemani indahnya malam sambil menikmati kopi hitam kayu manis ala Tandiono Dive Center.

Bangun pagi sudah menjadi kegiatan rutin, tetapi bangun pagi dengan menikmati matahari terbit di Pulau Tomia adalah kegiatan yang tidak biasa, ditemani dengan seduhan kopi hitam kayu manis dan kepulan asap rokok. Sungguh nikmat dan luar biasa. Tepat jam 08.00 pagi kami akan diantar untuk melakukan diving (menyelam) dibeberapa spot yang telah diterangkan oleh seorang instruktur dive bernama Pak Rahmat,. Untuk di Pulau Tomia terdapat kurang lebih 50 spot dive yang namanya sangat unik dan beragam diantaranya Gunung Waha, Mari Mabuk, Roma, Ali Reef, Kollo Soha Beach, Teluk Waiti, Table Coral City, Dunia Baru, Tanjung Patok, Magnifico dan masih banyak lagi. Beberapa kelengkapan alat seperti wetsuit, masker, fin (kaki katak), gear, octopus, tabung, beberapa belt pemberat dan tidak lupa membawa kamera underwater yang telah kami sewa seharga Rp. 100.000,-perhari. Untuk dive pemula atau belajar diving (menyelam) seperti kami cukup mengeluarkan uang sekitar Rp. 500.000,- perorang, disebut dengan Trip Discovery untuk Dive Pemula. Bagi yang mempunyai Lisensi atau Izin Menyelam akan lebih murah sekitar Rp. 350.000 perorang.

Setelah perlengkapan siap kami pun menuju Spot yang disebut Kollo Soha Beach atau tepatnya berada didepan Pantai Kollo Soha yang pasir pantainya sangat putih, tidak jauh dari Spot Teluk Waiti dan Spot Mari Mabuk. Tutorial dan penjelasan yang diberikan oleh Pak Rahmat untuk safety selama menyelam, cukup kami pahami dan sangat antusias, karena untuk diving kami baru pertama kali. Cukup dengan mahir dan lihai berenang serta kebiasaan snorkling atau freedive untuk menikmati bawah laut sudah sangat luar biasa. Keindahan bawah laut yang sangat nyata, membuat kami terkagum-kagum, tak henti-hentinya mengucap rasa syukur dalam hati kecil kami atas karunia dan kebesaran Allah SWT, menciptakan bumi, langit beserta isinya. Tak luput dari keindahan surga nyata bawah laut Kepulauan Tomia Kab. Wakatobi, gugusan terumbu karang dari berbagai jenis spesies yang tumbuh subur sangat indah dengan berbagai macam bentuk serta jenis ikan yang beragam, seperti berada dalam aquarium raksasa. Sungguh luar biasaa.!!!

Tiga jam tidak terasa berada dijalur spot diving, kami pulang dengan rasa kagum dan gembira yang sangat luar biasa, seolah baru keluar dari dunia mimpi yang begitu jauh didalam dasar laut. Walaupun sempat terjadi insiden kecil, kerusakan mesin karena air yang masuk dalam kapal merendam sebagian mesin, berakibat dengan kandasnya kapal dan akan merusak terumbu karang dibawahnya. Tapi untunglah Pak Rahmat sebagai instruktur diving, ternyata dia juga seorang juru mesin yang handal. Kumandang azan shalat jum’at membawa kami kembali ke Penginapan Tandiono Beach.

Sore hari kami melakukan city tour bersama Pak Ade Koji menuju Pantai Huntete yang berada disebelah Timur Pulau Tomia, pantai ini berhadapan langsung dengan Laut Banda dan terdapat tiga spot diving didepan pantai serta Pulau Ndaa disebelah baratnya. Jajaran pohon kelapa dan batuan karst menghiasi indahnya Pantai Huntete, membuat anda tidak bosan untuk melihat pantai dan semilir sepoi angin pantai. Tidak lama kami bergeser menuju tempat favorit warga Tomia yang disebut dengan Puncak Kahyangan, terletak di Desa Kahianga, Kec. Tomia Selatan. Melewati hutan kecil yang didalamnya terdapat Benteng kecil dan tidak sempat untuk dikunjungi. Puncak Kahyangan ini menyuguhkan pemandangan yang indah dengan perbukitan savana agak tinggi, bisa melihat keindahan Pulau One Moba’a, Pulau Lintea, Pulau Sawa dan Kec. Tomia Selatan, Osuku dibawahnya. Diatas bukit ini terdapat banyak kima raksasa yang sudah lama menjadi fosil, menggambarkan bahwa dimasa lalu diatas Puncak Kahyangan ini adalah bagian dari lautan. Bagi teman-teman yang pernah menonton film karya anak bangsa tentang keindahan pantai dan laut Wakatobi dengan judul “The Mirror Never Lies”, anak Suku Bajo bernama Pakis dan Lumo, melakukan akting mereka diatas Puncak Kahyangan ini. Menunggu matahari terbenam diatas Puncak Kahyangan sangatlah indah, cahaya jingga merona, awan putih yang menghiasi cerahnya langit biru.

Menu malam ini masih tetap dengan ikan bakar yang dibeli langsung Pak Ade Koji dari salah satu nelayan yang baru dibawa pulang sore tadi. Kelucuan Pak Ade, Pak Rahmat dan Kak Budi menghiasi keheningan malam, sesekali kami tertawa lepas sambil melihat foto-foto hasil jepretan kami.

Pagi itu bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Tanah Airku Tercinta (17/08/2013), kapal yang kami tumpangi menuju Kota Baubau akan berlayar setelah Upacara Pengibaran Bendera selesai. Yang biasanya jam 08.00 pagi akan berangkat, ditunda keberangkatan sampai jam 11.00 WITA. Sewa kapal dari Pulau Tomia menuju Kota Baubau sebesar Rp. 150.000,- perorangnya, lamanya perjalanan laut kurang lebih selama 12 jam. Persiapan berbekalan berupa makanan dan minuman sangat dibutuhkan untuk perjalanan jauh.

Ucapan terima kasih tidak hentinya kami sampaikan kepada Pak Ade Koji, Pak Rahmat dan Kak Budi serta warga Tomia atas keramahan, kesederhanaan, kelucuan dan kesiapan menemani perjalanan si sepatu aneh-aneh, begitulah panggilan lucu kami selama berada di Pulau Tomia. Berada ditengah laut antara Atol terpanjang di dunia, Pulau Kaledupa, Pulau Wanci dan Perairan Laut Banda serta Selat Buton, sambil menunggu matahari terbenam diatas kapal bersama para penumpang lainnya, hingga malam menyambut.

Taburan bintang diatas hamparan laut luas dihiasi lampu suar kapal nelayan yang mencari ikan dibelahan Selat Buton, kurang lebih jam 22.15 WITA kami tiba di Pelabuhan Murhum Kota Baubau. Dilanjutkan perjalanan dengan menikmati lampu malam dikawasan Pantai Kamali sambil mencicipi segelas saraba. Akhir perjalanan bertumpu kepada Pulau Kapuk, istirahat dan tidur dengan pulas.

Siang hari si Tolang beranjak dari Kota Baubau menuju Kota Kendari dengan kapal cepat, dan akan kembali ke Hutan Borneo, tidak ada lagu nostalgia atau tembang kenangan yang mengiringi perjalanan seorang sahabat.

Menjelajahi indahnya Bumi Indonesia, Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, alam liar bawah laut Kepulauan Wakatobi sangatlah luar biasa sensasinya, tidak perlu jauh kenegeri orang untuk menikmati keindahan alam. Titik dari kepulangan kami dari adalah dengan menghargai sebuah proses, seberat dan sejauh apapun perjalanan, bukan karena menikmati tempat tujuannya tetapi karena proses untuk mencapai tujuan. Tidak ada proses yang kebetulan, semua sudah digariskan dan ditakdirkan oleh Allah SWT Yang Maha Kuasa, manusia hanya menjalankan dan melewati prosesnya. Persahabatan dan Kesetiakawanan adalah hal yang tidak ternilai. Selama anda berada dirimbunnya hutan belantara, dalamnya goa, luasnya lautan, rekanmu adalah saudaramu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun