Masyfi’i, pria beranak sepuluh yang sehari-hari dipanggil utadz itu, menyambut ramah. Usai melihat-lihat sekolah pesantren yang dia kelola bersama adik-adiknya itu, pembicaraan dilanjutkan di gazebo di halaman rumahnya yang lega.
Di sisi kanan halaman rumah itu, Masyfi’i mengolah kelapa menjadi minyak obat yang dikenal dengan VCO (virgin coconut oil). Lingkungan desa itu memang terdapat hutan pohon kelapa. Sekitar tujuh kilometer dari kampung Masyfi’i ada desa yang disebut Labuhan Haji. Itu adalah pelabuhan tempat berlayar orang-orang Lombok Timur berangkat haji, juga untuk mengapalkan kopra asal daerah itu ke Sulawesi dan daerah-daerah lain.
Tidak ada yang aneh dari desa ini. Kecuali aroma jalan-jalan yang khas. Kuda-kuda yang lalu-lalang menarik kereta angkut, meninggalkan kotoran di jalan-jalan dengan bau tidak sedap.
Saya baru sadar ada yang ganjil ketika berjalan bersama tuan rumah saat pulang dari masjid usai sholat maghrib. Jalan-jalan itu gelap tidak ada penerangan. Ditambah kiri-kanan jalan desa yang masih penuh dengan pepohonan lebat, kegelapan itu semakin terasa. “Ah, tentu sudah biasa kalau jalan-jalan desa tidak ada penerangan”, saya membatin.
Di rumahnya, Masy’fii menjamu kami makan malam dengan masakan khas Lombok Timur yang lezat: pelecing. Pelecing adalah sejenis kangkung. Tapi kangkung Lombok ini berbeda dengan kangkung biasanya. Konon, pelecing tumbuh di air. Tidak di darat seperti umumnya kangkung.
Kami duduk melingkar di lantai beralaskan tikar. Kebetulan juga ada tamu lain berjumlah dua orang. Jadi semuanya empat orang. Cahaya di dalam rumah itu tidak begitu terang. Kami makan dengan penerangan lampu petromak.
Saya berfikir, pasti karena listrik PLN sedang padam. “Di sini memang belum ada aliran listrik”, urai Masyfi’i seolah tahu apa yang ada dalam pikiran saya. “Listrik memang ada tapi sangat terbatas. Dialirkan dari disel swadaya warga desa”, tambahnya.
Hari gini ternyata masih ada desa yang belum dapat aliran listrik. Saya agak heran. Di desa saya, di daerah Madiun selatan, listrik sudah masuk sejak 1984 berbarengan dengan program Listrik Masuk Desa yang dicanangkan Pemerintah saat itu.
Perjalanan ke Lombok Timur itu menuntun saya pada pemahaman baru bahwa listrik ternyata masih menjadi barang mewah dan langka bagi masyarakat tertentu. Sementara itu bagi masyarakat lain, karena begitu terbiasanya hidup menggunakan listrik, maka ia telah menjadi “barang tidak berharga” sehingga sering kurang bijak menggunakannya.
Buat saya, juga jutaan pengguna lainnya, yang dipikirkan “bagaimana saya bisa tetap memanfaatkan listrik secara teratur baik untuk kebutuhan dasar sehari-hari, bekerja, hingga bersenang-senang”. Bahkan sering membuang-buang aliran listrik untuk hal-hal yang tidak perlu.
Saya tidak peduli dari mana aliran setrum itu berasal, dan bagaimana bisa nyambung ke rumah saya. Dan, apabila sedetik saja listrik itu mati, adalah hak saya untuk komplain, protes atau bahkan marah-marah kepada PLN karena sudah membayar.
Denpasar, April 2007. Itu adalah perkenalan pertama saya dengan industri kelistrikan nasional. Ketika saya memperoleh kesempatan untuk meliput masalah kelistrikan di pulau wisata tersebut. Lalu beranjak ke tempat-tempat lain mengamati dari dekat titik-titik layanan kelistrikan mulai dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Dari kota Semarang, Jakarta, Lampung, Palembang, Padang, Medan, Banda Aceh, hingga Pontianak di Kalbar. Jadi genap dua tahun dua bulan terhitung sejak April 2007 hingga saat mengunjungi kantor PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) dan Tangerang di Gambir, Jakarta Pusat, pada 1 Juni 2009.
Pengalaman tersebut, selain menghasilan sejumlah catatan berupa buku seputar kelistrikan di sejumlah wilayah, memberikan sebuah kesimpulan tentang isu pemerataan energi listrik. Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, 40 persen penduduk negeri ini belum menikmati aliran listrik. Data PLN menyebutkan, rasio elektrifikasi nasional saat ini baru mencapai 62 persen. Di Nusa Tenggara Timur, bahkan 76 persen penduduk berlum menikmati listrik. Entah masih berapa desa atau kampung yang sampai hari ini belum ada listrik. Juga pulau-pulau terpencil di negeri ini yang jumlahnya ribuan.
Sejumlah faktor menjadi sebab mengapa hal itu terjadi. Salah satunya faktor geografis. Kepulauan Nusantara yang tersebar luas, dan pulau-pulau yang terpisah, menjadi persoalan tersendiri. Menyambungkan aliran listrik dari satu pulau ke pulau lain merupakan tantangan yang tidak mudah. Baik menyangkut teknologi, investasi, serta aspek ke-ekonomiannya. Akibatnya, masih banyak daerah-daerah yang belum mendapat aliran listrik melalui sistem interkoneksi. Kalaupun di daerah-daerah tersebut sudah ada pembangkit listrik, katagorinya masih isolated, di mana aliran listrik dari pembangkit tersebut belum dapat dihubungkan ke daerah lain karena kendala geografis, seperti pulau yang terpisah oleh lautan.
Maka, sistem interkoneksi menjadi keniscayaan dalam rangka pemerataan energi listrik. Seperti yang sudah berhasil dibangun di Sumatera yang menyambungkan listrik dari ujung timur di Lampung hingga ujung barat di Banda Aceh selama tiga tahun sejak 2005 – Agustus 2007, mengikuti jejak interkoneksi Jawa-Bali yang jauh lebih dulu dibangun. Cerita interkoneksi Sumatera ini telah saya tulis dalam buku “Intekoneksi Kelistrikan Sumatera 2008” terbitan PT PLN (Persero) P3b Sumatera.
Perjalanan melihat titik-titik kelistrikan di berbagai wilayah, memberikan saya gambaran dari dekat tentang potret kelistrikan nasional dewasa ini. Meski tempat-tempat yang saya kunjungi itu belumlah seberapa dibandingkan dengan luasnya cakupan dan wilayah simpul-simpul kelistrikan di seantero negeri ini. Nusa Tenggara, salah satunya.
Nusa Tenggara, adalah potret gelap. Sampai hari ini rasio elektrifikasi di kawasan itu baru mencapai 34 persen. Artinya 76 persen kawasan itu gelap gulita. Namun demikian, seiring dengan program pemerintah bernama Percepatan Pembangkit 10.000 megawatt (MW), propinsi yang kaya potensi pariwisata ini tampaknya sedang mengejar ketertinggalan. Geliat pelaksanaan pembangunan ketenagalistrikan di Nusa Tenggara terus bergulir. Proyek-proyek pembangkit sedang dikekerjakan.
Pertimbangan strategis dan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah, menjadi alasan pokok. Pembangunan kelistrikan juga diharapkan akan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat. Guna mewujudkan hal ini, PT. PLN (Persero), April 2009 memulai proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Taman Jeranjang Lombok di Desa Kebon Ayu Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat.
PLTU Taman Jeranjang Lombok ini, terdiri dari 2 unit pembangkit listrik dengan kapasitas 1 x 25 MW dan 2 x 25 MW., serta akan mampu mengcover seluruh kebutuhan listrik di NTB termasuk supply bagi defisit daya listrik yang mencapai 10 MW dan penyediaan bagi 150 ribu pelanggan yang masuk daftar tunggu.
PLTU Jeranjang ini merupakan bagian dari pelaksanaan Perpres No. 71 Tahun 2006 yang menugaskan PT. PLN (Persero) untuk membangun pembangkit tenaga listrik yang menggunakan Batubara melalui Program Percepatan 10.000 MW.
Selain PLTU Jerangjang tersebut, beberapa proyek pembangkit yang juga ditangani oleh PT PLN (Persero) Pikitring Jawa, Bali dan Nusa Tenggara adalah: PLTU Atambua berkapasitas 4 x 6 MW di Nusa Tenggara Timur; PLTP Mataloko dengan kapasitas 1 X 25 MW berdasarkan kontrak sejak 2 Desember 2004; PLTP Ulumbu kapasitas 2 X 25 MW kontrak pekerjaan sejak 11 Februari 2008; serta PLTMH sentong kapasitas 0,85 MW.
Di luar itu, Nusa Tenggara juga melirik energi terbarukan. Potensinya pun melimpah. Pemerintah Daerah setempat berusaha mengoptimalkan potensi sumber-sumber energi baru/terbarukan yang melimpah di NTB meliputi tenaga air, surya, angin, dan panas bumi. Potensi panas bumi NTB diantaranya terdapat pada WKP Panas Bumi Dompu sebesar 70 MW dan WKP Sembalun 69 MW. Sementara itu, potensi energi baru/terbarukan yang telah dikembangkan hingga saat ini meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebanyak 7733 unit , Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) 12 unit, dan Pembangkit Listrik Tenaga Aki 465 unit.
Ditambah dengan dengan terlaksananya Program Percepatan tersebut, diharapkan tahun 2010 kegelapan di Nusa Tenggara ini mulai bisa teratasi. Saya akan rindu datang lagi ke kampung Masyfi’i, makan pelecing di rumahnya. Namun, tidak lagi diterangi lampu minyak tanah.