"Seperti biasa ya, Danez." Ujarku padanya, ketika sampai di depan mesin kasir dan melihatnya memakai seragam berwarna biru dengan label nama mengkilap tepat di atas saku kecilnya.
Dia memandangku sinis, mengangkat alis kanannya dan, "Maksudnya apa ya, Mba?"
Apa? Mba katanya? Celotehku dalam hati, kesal bukan main.
"Iya, pesananku yang biasa. Masa tidak hafal, aku kan setiap hari ke sini. Aku mahasiswa kampus Galaksi. Aku ketua BEM, dan aku mahasiswa KKN di desa ini. Kenapa kamu jadi seolah tidak mengenaliku seperti tadi."
Dia lagi-lagi mengangkat alisnya yang sedikit tebal, membiarkan matanya tajam menatapku. Seolah hendak menerkamku dalam sekejap.
"Mahasiswa yang datang ke sini setiap hari bukan hanya kamu, jadi tidak perlu merasa spesial. Apalagi, membawa nama BEM. Kamu pikir derajatmu sama dengan presiden."
Semakin kulawan, dia semakin ingin menghilangkanku dari hadapannya. Atau bahkan dari dunia ini.
"Pizza jamur dengan paprika merah yang banyak dan saus tomat, dan satu lagi ... keju mozzarela. Dua slice, makan di sini. Minumnya teh leci." Kataku cepat, tak ingin berlama-lama berseteru. Sudah banyak orang yang menunggu di antrean belakang.
Toko pizza sepetak di belakang kantor desa itu memang menarik. Bukan hanya karena ada Danez di dalamnya, tetapi juga kita bisa membeli dan menikmati pizza secara potongan, pas untuk kantong mahasiswa. Toko itu merupakan gerakan UMKM desa di mana tempatku KKN. Tokonya selalu ramai, sampai terkadang sulit menemukan tempat duduk. Tak terkecuali denganku, soal ketua BEM atau bukan, aku hanya kesal dengannya tadi. Kuharap kesombongan ucapanku tak ada yang mendengarnya kecuali Danez. Kudengar, sombong kepada orang yang lebih sombong tidak masalah. Aku tertawa kecil sambil memilih meja. Akhirnya, aku duduk di bagian pojok toko pizza. Aku bisa menangkap semua pemandangan dari sini, terutama mesin kasir yang sejajar langsung dengan mataku. Menatap wajah jutek Danez dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi kekasih dari pria yang amat dingin. Apa aku akan seperti Bella di film Twilight? Ah, aku tertawa kecil lagi sambil bengong. Sampai-sampai tak menyadari pesananku datang. Kali itu, Danez sendiri yang mengantarkan. Mungkin karena toko sedang ramai-ramainya. Dia menyodorkan makanan dan minumanku tanpa sepatah kata pun, tanpa senyuman dan bahkan rasanya ia tak menoleh kepadaku.