Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Catatan dari Tanah Haram (03)

18 Oktober 2011   20:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:47 195 0
Kondisi jalur jalan dilalui dari Kota Jeddah ke Kota Madinah dengan latar pegunungan batu cadas dan lahan yang tandus dan kering (photo; aMt)

MENGHAYATI HIJRAH RASULULLAH

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Shalatullah salamullah, 'ala Thaha RasulillahShalatullah salamullah, 'ala Yasin Habibillah Tawasalna bibismillah, wa bilhadi Rasulillah, wa kulli mujahidin lillah, bi ahli badri, ya Allah Seperti saya kemukakan sebelumnya, jika sejak awal saya meminta pada penyelenggara haji agar saya diikutkan dalam salah satu kloter di gelombang pertama, yakni perjalanan haji secara “tamattu” dari Kota Madinah dan selanjutnya ke Kota Makkah. Bukan sebaliknya dari Makkah lalu ke Madinah. Pilihan itu tentu saja memiliki pertimbangan lain berdasar pemahaman rendah saya.

Sekalipun sebaliknya Nabi Muhammad SAW menerima dan menyebar ajaran Islam justru dari Kota Makkah lalu berhijrah ke Madinah. Pemahaman rendah saya memahami, jika firman yang diterima Nabi di Makkah (Makkiyah) umumnya tentang ke-tauhid-an, berkenaan “hablum minallah”, maka di Madinah (Madaniyah) umumnya ajaran-ajaran ke-bumi-an yang berkenaan “hablum minannas”.

Atas pemahaman rendah seperti itulah, maka saya --- bersama 15 kloter Embarkasi Hasanuddin --- tentu berlawanan arah perjalanan hijrah Nabi. Tapi yang ingin dimaknai bahwa perjalanan ibadah haji (tamattu) berawal dari Madinah, pendekatannya lebih pada upaya memulainya dari hal ikhwal “habluum minannas”. Pada waktunya melanjutkan ke Makkah untuk penguatan ke-tauhid-an.

***

Siang hari memasuki Kota Madinah, mayoritas jamaah terlelap. Kecapean setelah menempuh 12 jam perjalanan Makassar-Jeddah, serta enam jam dari Jeddah ke Madinah. Saya yang masih terjaga, coba berulang-ulang melantunkan shalawat badar. Berdaya upaya saya melantunkannya tidak secara tekstual, tapi kontekstual. Tanpa terduga, sekujur tubuh saya merinding. Terasa ada suasana lain.

Saya begitu dalam menghayati bagaimana masyarakat yastrib berbondong-bondong menyambut kedatangan Rasulullah bersama sahabat yang berhijrah menempuh perjalanan jauh. Terlebih lagi saat sepanjang perjalanan dilalui dari Jeddah ke Madinah, kurang lebih 450 km, begitu cermat saya mengamati gurun luas yang dilalui. Gunung bebatuan cadas, kering dan tandus.

Mengerikan. Seolah tak mungkin ada kehidupan di sana. Tapi sedemikian sama kondisi alam dilalui Rasulullah saat perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah. Terlebih lagi perjalanan hijrah ini diliputi rasa was-was. KaumQurais telah menyembarakan hadiah 100 ekor unta bagi siapayang berhasil membunuh Muhammad. Suraqa bin Malik yang hendak membunuhnya justru berbalik jadi muallaf.

***

Masih di atas bus memasuki Madinah, saya benar-benar menghayati secara mendalam proses hijrah Nabi di tahun 623 Masehi --- ribuan tahun lalu itu --- dan rasa-rasanya saya malu pada Nabi ketika mendengar keluhan sejumlah jamaah akibat kelelahan menempuh perjalanan jauh. Naik pesawat terbang dan berkendara bus yang ber-ac, sementara nabi hanya berkendara unta di padang gersang.

Sayang sekali karena selama ini pengikut Nabi Muhammad, memahami proses hijrah hanya secara tekstual, bukan kontekstual. Hijrah memiliki ajaran yang sangat luas. Sekurangnya mengajarkan kita arti pentingnya pengorbanan untuk tujuan yang mulia. Menempuh perjalanan haji, salah satu misal.

Kota Madinah, 18 Oktober 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun