Menyaksikan --- lewat berbagai saluran televisi --- luluh lantaknya negeri sakura Jepang akibat terjangan gempa berkekuatan 9,0 skala richter, disusul gulungan gelombang tsunami setinggi kurang lebih sepuluh meter, sungguh ironis, memilukan dan menyayat hati. Saya kira demikian nilai kemanusiaan di nurani kita semua ikut pula merasakannya. Tidak lebih kurang, sama juga pernah kita rasakan ketika sekujur wilayah Nangroe Aceh Darussalam juga diterjang gempa 8,5 skala richter serta gulungan gelombang tsunami yang menelan korban puluhan ribu jiwa.
Tapi rasa-rasanya ada keadaan lain berbeda dari dua peristiwa bencana alam memilukan itu. Ketika Aceh diterjang tsunami, berbulan-bulan --- bahkan beberapa tahun --- bangsa ini dirundung duka cita mendalam. Tapi ketika Jepang diluluh lantak tsunami, masih di tengah duka lara, pemerintahan negeri matahari terbit itu, justru menyuarakan selogan “Jepang Bangkit Lagi”. Saya kurang paham, apa ada kaitan bunyi selogan itu dengan jarangnya --- bahkan hampir tidak pernah ada --- kita menemui tayangan gambar bagaimana tragisnya korban jiwa tsunami Jepang. Tidak seperti gambar ratusan mayat bergelimpangan di Aceh.
Malah justru saya semakin dibuat takjub sekeping berita di salah satu media cetak nasional, mengisahkan bagaimana keteguhan sikap akan tanggujawab sejumlah pekerja reaktor nuklir di Daiichi Fukushima. Mereka penuh dedikasi sebagai martir melaksanakan tugas utamanya untuk merawat dan memulihkan reaktor nuklir yang baru saja meledak, meski sangat riskan untuk menjadikan nyawa mereka sebagai taruhannya. Risiko radiasi berbahaya sekejap akan memungkinkan merenggut jiwa mereka. Jangankan di area pusat pembangkit sumber datangnya arus radiasi, radius 20 kilometer lebih saja, masyarakat segera diungsikan.
***
Riskan memang, tetapi saya harus sadar untuk bisa mengerti jika itulah watak masyarakat Jepang dalam arti sesungguhnya. Watak dari sebuah masyarakat yang begitu ketat menjaga dan mampu memaknai kultur dan tradisi moyangnya. Watak dan karakter diwariskan dari zaman Tokugawa dimana kelak bertumbuh kembang pada masyarakat Jepang yang memiliki “rinri”, rasa malu mengumbar pada publik, seburuk apapun nasib menimpa mereka. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak cengeng, pantang menyerah untuk bersedia menerima tantangan hidup sebagai takdir yang harus dijalani, apapun resiko dan konsokuensinya.
Itulah watak yang berdasar dari ajaran “bushido”. Jalan kesatria pada totalitas pengabdian diri secara mutlak. Sistem nilai, moral dan etika yang bersifat altruisitik bagi kaum samurai atas dasar rasa kemanusiaan sesuai keterpaduan tiga ajaran, yakni; Budhisme, Shinto dan Konfusionisme yang bertumbuh kembang di tengah masyarakat Jepang. Menekankan sikap dasar untuk menjaga perasaan dan kehormatan diri, memiliki sopan santun dan rasa malu, nerpendirian teguh dan berani, keteguhan sikap dan kekebalan hati, kesetiaan dan memiliki harapan, bersedia menerima takdir secara pasrah, serta hidup dengan jujur dan jernih.