Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Konvensi Rakyat: “Suara Algojo Vs Suara Rakyat”

15 November 2013   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:08 98 0
INDONESIA saat ini adalah negara yang memiliki wajah demokrasi paling buruk. Banyak perlawanan dan penolakan rakyat yang terjadi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, ternyata mampu dikalahkan oleh segelintir orang (elit) yang sedang duduk di DPR. Misalnya, kebijakan harga BBM yang tetap dinaikkan. Di kala itu, suara rakyat berhasil dimentahkan. Dan rakyat pun pasrah...?!

Indonesia saat ini juga adalah negara yang memiliki postur keuangan dan ekonomi yang sangat lemah dan lemas. Utang negara yang terus bertambah, defisit keuangan yang terus minus, harga barang kebutuhan pangan rakyat melambung tinggi akibat harga BBM dan “kecanduan” impor. Hingga membuat rakyat pun tak bisa berbuat banyak karena makin terhimpit dengan beban ekonomi yang amat berat.

Dalam kondisi seperti itu, tentu saja rakyat mustahil dapat berkembang dan sejahtera sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya oleh sang penguasa saat kampanye. Ke mana larinya utang negara yang begitu besar...?? Ke mana menguap keuangan negara yang defisit itu...?? Dan merembes ke mana retribusi dan pajak-pajak dari rakyat...???

Lalu di saat rakyat melakukan protes dan menuntut keadilan, juga ketika para buruh menuntut kenaikan upah, pemerintah dan elit malah mengatai mereka: “Gila dan mengada-ngada”. Sungguh sebuah sikap yang sangat menciderai hati rakyat yang telah memberinya amanah sebagai penguasa/pemerintah di negeri ini. Bukannya mencari solusi, malah membuat rakyat makin stres dan kembali pasrah.

Jika tak suka diprotes, jika tak merasa nyaman dituntut, jangan mau jadi pemimpin..!!! Dan jika tak mampu mengurus dan memperbaiki nasib rakyat, dan jika hanya ingin memperkaya diri sendiri, maka tak usahlah jadi pemimpin...jadi pengusaha aja!!! Sebab, apalah gunanya jadi pemimpin jika hanya menjadi beban dan masalah bagi rakyat...??? Dan apalah artinya jadi pemimpin apabila kelak hanya akan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kenistaan, di dunia dan bahkan di akhirat...???

Betapa hebatnya pemimpin kita saat ini dalam meninggikan dan menguatkan kehendak partai politiknya, namun mematahkan kehendak rakyat dengan memajukan suatu alasan sebagai “tameng”, yakni harus berdasar aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang inilah yang sering dijadikan "algojo" untuk mematahkan kehendak rakyat, sekaligus menjadikannya sebagai dewa buat mereka (penguasa dan elit) sendiri.Jika tak sesuai dengan undang-undang, maka tak ada jalan untuk memaksakan kehendak. Lalu rakyat pun kembali pasrah.

Mengapa rakyat selalu di posisi pasrah? Sebab, banyak peraturan dan undang-undang yang menjadi produk dari orang-orang parpol yang duduk di DPR itu adalah merupakan aturan yang hanya lebih tajam ke bawah tetapi sangat tumpul ke atas. Lalu apakah ini patut dihargai sebagai prestasi dari pemimpin kita? Dan beginikah wajah demokrasi di negeri ini yang gemar mengoyak-ngoyak hati rakyat?

Hanya orang bodoh dan idiot yang ingin terus diam serta tertunduk ketika tahu pemerintah juga aparat kerap melanggar dan menabrak aturan yang dibuatnya sendiri. Dan hanya pengkhianat bangsa yang ingin tetap mendukung dan memilih partai politik yang gemar melakukan korupsi dan perampokan uang rakyat dari negara.

Sehingga itu, jangan tunda-tunda lagi, dan jangan lagi termakan bujuk rayu dari para elit parpol korup yang berwajah malaikat tetapi sesungguhnya berhati iblis.

Saatnya kita sebagai rakyat bangkit menjadi agen PEMBAHARUAN untuk PERUBAHAN, yakni dengan tetap berjuang mengembalikan kekuatan serta kedaulatan negara yang benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat pula...!!!

Namun ingatlah..!!! PERUBAHAN bukanlah milik kaum pemimpi (yang senang bermimpi) tanpa berusaha. Meski memang, segala sesuatu di jagat alam ini sudah diatur oleh Tuhan, namun Tuhan membenci manusia yang hanya senang bermimpi dan pasrah dalam doa terhadap keadaan sulit yang melilit.

Sebuah perubahan tidak akan pernah jatuh dari langit begitu saja. Jadi, jangan pernah menunggu perubahan dapat terjadi kepada kaum di negeri ini hanya dengan melalui doa berpasrah tanpa diikuti dengan usaha.

Bagi manusia beragama, makna doa pada dasarnya adalah sebuah usaha, dan usaha adalah sebuah doa. Kedua-duanya harus berjalan seiring dan searah. Jika hanya salah satunya yang berjalan, maka dipastikan akan mengalami kepincangan, sehingga sangat sulit melangkah apalagi berlari untuk memasuki gapura perubahan yang penuh kemuliaan.

Dari prolog di atas, sebagai salah satu agen perubahan (yang kini sedang berada di luar parpol), saya tentunya berharap agar rakyat jangan lagi mau diam apalagi tertunduk dan pasrah (fatalis) terhadap fatamorgana yang kerap disuguhkan oleh para parpol korup.

Terlebih menjelang Pemilu Pilpres 2014 seperti saat ini, sangat banyak agen parpol korup yang “bergentayangan”. Yakni, mendekati rakyat dengan menghambur 1001 janji dan iming-iming 1000% hingga 2000% akan ditepati oleh mereka (parpol), baik itu melalui anjangsana maupun anjangsini, baik berupa blusukan langsung maupun dengan telusukan hingga ke kamar tidur yang dapat disaksikan melalui TV (seperti iklan dan sebagainya).

Sadarilah, bahwa semua yang mereka lakukan saat ini adalah tak lain hanya ingin menarik simpatik rakyat, yakni agar bisa terpilih (menang) pada Pemilu atau pun untuk berkuasa kembali demi kepentingan dan kepuasan kelompok mereka saja.

Rakyat jangan pernah takut apalagi takluk dengan desakan dan bujukan dari parpol yang terbukti korup. Tolak dan lawan..!!! Karena masih ada beberapa tokoh nasional dan banyak LSM anti-korupsi yang siap sedia setiap saat berjuang bersama rakyat untuk tetap melawan parpol korup sebagai musuh bersama kita, dan semua itu adalah demi mewujudkan perubahan.

Sebagai gambaran, bahwa saat ini selain para parpol yang sibuk berkonsolidasi dan berkonvensi dalam mendirikan bangunan kekuasaannya, para tokoh nasional non-parpol pun kini sedang giat menyusun fondasi perubahan dengan melakukan gerakan yang sama, yakni KONVENSI RAKYAT untuk mencari Capres 2014 ideal yang benar-benar lahir dari kandungan ibu Pertiwi (rakyat), bukan dari “perut gendut” parpol.

Konvensi rakyat yang digelar oleh sejumlah tokoh nasional yang berasal dari kalangan rohaniawan, budayawan, akademisi, praktisi hukum dan PERS, tokoh masyarakat serta tokoh perempuan itu adalah merupakan “Gerakan Moral menuju Perubahan” yang patut kita dukung. Sebab, kegiatan dan gerakan seperti itulah sesungguhnya yang tepat disebut demokrasi.

Saya tak tahu, apakah kita benar-benar menyadari bahwa betapa amat memprihatinkannya kondisi negeri kita saat ini? Ketika rakyat kita sedang mengalami himpitan ekonomi yang dahsyat. Akibat karena kondisi tersebut, mereka tak sedikit hingga terpaksa melakukan kriminalitas, bahkan bunuh diri dan lain sebagainya.

Namun di saat bersamaan, para koruptor malah semakin tumbuh dengan suburnya, seakan memang koruptor dipelihara oleh negara. Kalau pun ada yang berhasil tertangkap, mungkin itu cuma kelalaian individu koruptornya saja yang tak hati-hati karena terlalu serakah.

Dan ketika pemerintah “gemar membiarkan” sumber kekayaan alam kita disedot dan dikuasai oleh negara asing, yang di saat bersamaan bangsa (rakyat) kita justru tak sedikit harus terpaksa meninggalkan istri/suami, anak-anak, dan keluarga mereka, bahkan harus mempertaruhkan nyawa hanya demi mengais rezeki di negeri orang sebagai TKI.

Apakah rakyat harus selalu pasrah dengan kondisi seperti itu? Tidak! Karena hal-hal memilukan seperti itulah di antaranya yang memotivasi sejumlah tokoh nasional untuk menggelar Konvensi Rakyat. Kesempatan kita salah satunya untuk mengubah negeri ini terletak di ajang Pemilu 2014.

Untuk menuju ke Pemilu 2014 itu, maka kita harus aktif mendukung kegiatan yang berasal dari rakyat, bukan dari parpol korup. Segeralah kita mendukung sejumlah tokoh nasional itu, yang memiliki tekad yang sama dengan tekad kita. Yaitu mencari pemimpin (pasangan Capres) yang benar-benar mampu meMERDEKAkan negara ini dari SEGALA BENTUK CENGKERAMAN PENJAJAJAH yang mengakibatkan bangsa kita menjadi tetap miskin dan terbelakang.

Sehingga sekali lagi, “audisi” mencari capres 2014 melalui konvensi rakyat ini sangat patut kita dukung. Sebab, hanya dengan melalui konvensi seperti inilah demokrasi bisa benar-benar hidup dan berfungsi. Yakni suara rakyat betul-betul dihargai sebagai “suara Tuhan (Vox populi, vox dei) ” pemilik kedaulatan dan kekuasaan awal dalam sebuah negara yang berdemokrasi.

Persoalan utama yang dihadapi konvensi rakyat ini adalah memang terletak pada undang-undang yang berlaku hanya mengizinkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai pihak yang berhak memgusulkan pasangan capres.

Namun, undang-undang macam itulah yang sepertinya memang sengaja diberlakukan agar yang bukan “warga parpol” TIDAK BERHAK dicalonkan sebagai pasangan capres, meski yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia yang sangat layak untuk maju sebagai capres.

Jika undang-undang seperti itu yang tetap dipertahankan, maka Indonesia tidak pantas disebut negara demokrasi. Mungkin memang lebih tepat jika dikatakan democrazy dan pada akhirnya menjadi betul-betul democrashing? Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokrasi adalah: “pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”

Dari pengertian demokrasi tersebut menyiratkan sebuah penekanan tentang pentingnya “keadilan” dan “kemerdekaan” (lihat pembukaan UUD 1945) yang harus diimplementasi dalam persamaan hak dan kewajiban. Namun mengapa kemudian ada undang-undang yang seakan sengaja dilahirkan untuk dijadikan sebagai “algojo” guna memasung seseorang (di luar parpol) agar tak bisa menyalurkan haknya sebagai warga negara yang hidup di alam demokrasi...??? Sungguh sebuah demokrasi yang DISKRIMINATIF, yang mengundang orang bisa menjadi gila (democrazy-discriminatory).

Undang-undang yang diskriminatif seperti itu bisa saya sebut sebagai sebuah KRIMINALISASI POLITIK dalam negara yang menganut paham demokrasi. Ini sama halnya jika diibaratkan dengan sebuah negara monarki-absolut yang menghilangkan hak keturunan raja untuk kembali berkuasa.

Dan saksikan saja akibat dari kriminalisasi politik dalam negara yang menganut paham demokrasi tetapi sesungguhnya melakukan diskriminatif itu. Yakni, sungguh saat ini benar-benar terjadi kriminalitas (terutama korupsi), bukan...?

Mengapa??? Ya.. karena undang-undang yang mengandung unsur diskriminasi itu selain bertindak sebagai algojo seperti yang saya sebutkan di atas, juga di sisi lain bisa menjadi “dewa” yang bisa memuluskan masuknya seorang penjahat menjadi penguasa (Kepala negara dan atau kepala daerah). Sungguh sangat mengerikan..!?!?!?

Lalu akankah memang suara “Algojo (juga suara dewa) itu” bisa mengalahkan “suara rakyat (yang juga adalah suara Tuhan)..???

Izinkan saya melanjutkannya dengan sebuah puisi (hasil karyaku: Abdul Muis Syam) :

“ALGOJO dan DEWA PENGUASA DEMOKRASI”

Di benak Demokrasi itu berkata:
Wahai rakyatku yang optimis...,
Tetaplah menjadi budak di hadapan dewa-dewa koruptor itu
Sebab, perut dan lehermu telah disubsidi oleh penguasa itu
...yang di perutnya ada gurita belalai panjang penopang di kala miring
...yang bibir dan rambutnya selalu basah, namun hatinya lembek dan kering
...Karena istananya ada putri dan pelayan pembawa pundi yang hebring


Wahai rakyatku yang pesimis...,
Tetaplah menjadi tahanan bagi para algojo-algojo bayaran itu
Sebab, kaki dan tanganmu telah dipasung oleh parpol itu
...yang di genggamannya ada bilah pedang tajam di bawah, tapi tumpul di atas
...yang mata dan telinganya terbuka, namun hatinya ditutup oleh otoritas
...Karena mulut dan anunya telah disuap oleh sang raja popularitas






Wahai rakyatku yang optimis dan pesimis...,
Tetaplah mendengarkan curahan dan kicauan laguku
Menarilah bersama para Algojo dan Dewa-dewaku
Sebab, ada banyak citra yang akan ku tuangkan dalam bukuku
Meski sinar bintang kejora kelak menembus seluruh kegelapanku


---------
Merdeka... dan Salam PERUBAHAN.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun