Sikap tersebut dilakukan Fraksi Demokrat setelah jalan tengah yang ditawarkannya mengalami stagnasi terhadap dua opsi yang harus segera dipilih dan ditetapkan, yakni: apakah Pilkada dilakukan secara langsung atau diselenggarakan melalui pemilihan di tingkat DPRD.
Sebagaimana diketahui, Fraksi Demokrat memunculkan kecenderungan untuk lebih memilih sistem Pilkada dilakukan secara langsung namun harus diikuti dengan 10 syarat. Sayangnya, kecenderungan itu secara otomatis menjadi opsi tandingan terhadap dua opsi substansial yang sudah sangat menuntut kata sepakat, yaitu Pilkada langsung ataukah Pilkada via DPRD.
Aneh rasanya ketika diketahui draft RUU Pilkada tersebut adalah berasal dari pemerintah, namun Partai Demokrat sebagai partai yang sedang berkuasa dalam pemerintahan saat ini malah harus mengambil langkah walk-out.
Fraksi Demokrat banci....? Fraksi Demokrat pecundang?
Dua pertanyaan di atas tiba-tiba terpampang di pikiran saya, lalu tertancap sebuah pembenaran di hati bahwa betapa bangsa (rakyat) Indonesia telah sia-sia memberi kepercayaan kepada Demokrat sebagai partai penguasa selama 10 tahun namun ternyata gagal total memperjuangkan kedaulatan rakyat di saat rakyat benar-benar membutuhkannya.
Ya, negara Indonesia yang sudah menjalani era reformasi itu, dan rakyat yang baru saja menghirup kebebasan dalam berdemokrasi secara langsung selama 10 tahun terakhir ini, nyatanya harus diakhiri dengan sebuah drama tragis politik pemasungan dan pembantaian kembali atas jiwa kedaulatan rakyat. Yakni, RUU Pilkada akhirnya diputuskan secara voting penyelenggaraannya dilakukan melalui DPRD. Lalu mari kita ucapkan: innalillaahi wa innailaihi rajiun.
Andai saja rakyat sudah mengetahui akan begini akhir skenario dari drama politik terhadap RUU Pilkada tersebut, maka saya yakin, rakyat tentu tidak akan ingin memberikan suaranya pada Pileg 2014 kemarin. Atau paling tidak, rakyat pasti akan menolak semua caleg yang berasal dari partai yang menghendaki pelaksanaan Pilkada dilakukan melalui DPRD.