[caption id="attachment_176432" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Foto : beta.matanews.com"][/caption] Jika saja memang ada hasrat terhadap penolakan untuk duduk di stadion berarti kemungkinan "kiri anda berpikir" bahwa adalah sebagai bentuk tanda perlawanan terhadap pasivasi massa dan identitas yang dipaksakan oleh industri budaya. Tanda-tanda itu menunjukkan adanya "industri kesadaran", yang mengacu pada hegemoni budaya, yang bertugas untuk mengintegrasikan kelas bawah di cakrawala ideologis yang sama dan cara memahami realitas - kesadaran palsu yang disebut sekarang produk industri. Determinasi Sepak Bola bisa baik dan jahat, ada tangan kotor di belakang bisa terlihat atau tidak terlihat, dan tanpa menyadari bahwa permainan tersebut tidak membuat mereka melewati beribu-ribu propaganda iklan produk dan melewati perjalanan yang memungkinkan mengambil uang dan pergi kepada istrinya untuk belanja. Semua terkesan sama gilanya depan TV sekaligus untuk menonton perdebatan absurd. Terkadang Saya merasa kasihan bagi mereka, bahkan fans mereka yang memerintahkan anaknya untuk menjadi penggemar tim keluarga, mempengaruhi kehidupan anaknya atas nama bendera, bukan para pemain, yang mereka lakukan, semua itu tak lebih mirip tentara bayaran dengan merayu beli kaos t-shirt seolah-olah itu piala. Media-media menunjukkan fans mereka, muda, tua, wanita dan anak-anak, mereka berteriak-teriak, berjingkrak-jingkrak, dan melonjak, melakukan tarian tangan bergelombang, bertepuk tangan, bernyanyi, bersuit, meniup terompet vuvuzela, mengibarkan bendera. Sebagian penonton rela menghiasi aksesoris sekujur wajah dan tubuhnya dengan warna yang sesuai dengan seragam tim sepak bola kesayangannya. Mereka menangis, mereka tertawa di stadion atau depan kamera atau juga di depan layar televisi dari pikiran-pikiran melambung ke angkasa. Itulah Olahraga massa piala dunia 2010 sedang berlangsung adalah milik bersama dunia dan mereka candu. Budaya massa yang dilihat sebagai seorang konformis atau stagnansi, yang dihasilkan oleh pembentukan dan yang memiliki status barang dalam hubungan produksi kapitalis. Mereka bukan lagi untuk melihat olahraga tersebut, tapi setiap produk lain dari "industri budaya" sebagaimana mereka menyebutnya, karena menciptakan produk-produk siap-pakai dan konten untuk konsumen pasif. Ketika semua orang terperangkap dalam dunia ekstasi sepak bola, apa pun kemudian disepakbolakan. Apa pun dicarikan relasinya dengan sepak bola. Ujung-ujungnya, sepak bola bukan lagi menjadi urusan mensana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Bagi mereka, sepak bola, sebagai permainan memiliki efek yang sama persis dan reproduksi yang tepat dari fungsi tertentu di dalam status quo hubungan sosial. Stadion menyediakan hip diperlukan, yang merupakan nominal simbol pasivasi keunggulan dan juga digunakan untuk ekspresi pendapat politik, untuk menunjukkan pesan apapun. Mereka memiliki kesempatan untuk membangun identitas mereka melalui teks, tanda dan simbol, yang mereka dikenakan, melakukan semacam revolusi semiotik mengubah maknanya. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Ia menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa.
Candu Diaspora efek ungkapan Marx. Dalam sejarahnya, di beberapa belahan dunia penganut marxisme pemberangusan terhadap simbol-simbol agama yang dianggap menghalangi revolusi sosialis dibabat habis. Hasilnya kaum agamawan pun melihat ajaran Marx sebagai anti Tuhan dan haram diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama. Polarisasi tercipta antara poros pro dan anti eksistensi Tuhan. Dalam hal ini, saya tidak ada hendak mengulas filsafat materialisme Karl Marx dan anasir-anasir revolusionernya. Problem esensi yang saya mau paparkan sebagaimana tertulis pada judul di atas, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari sejak dimulai pembukaan piala dunia, maka barangkali tidak hanya saya atau anda bahkan masyarakat dunia hari-hari belakangan ini merasa telah menjadi korban sekaligus pelaku dari judul tulisan di atas. Implikasi proses pagelaran turnamen sepakbola yang bernama Piala Dunia 2010, berjam-jam detak waktu mata saya atau anda atau juga jutaan mata masyarakat dunia dibuat terjaga. Seperti didorong kekuatan revolusioner, kaum tua atau muda, para bapak-bapak dan pemuda dan anak-anak remaja tiba-tiba menjadi pengikut ajaran ’footbalisme’. Narasi deskriptif sekarang ini soal sepak bola yang sudah menjadi kultur masyarakat dunia bahkan “agama”. Seperti candu, sepakbola hari ini begitu kuat pengaruh ’efek adiktifnya’. Pikiran buntu, emosi labil, bila saya melewatkan laga-laga favorit. Barangkali perasaan serupa juga menghinggapi penggemar sepakbola lainnya di seluruh dunia. Sebaliknya, jika pertandingan favorit itu berhasil maka perasaaan ekstasi segera muncul. Senang tiada kepalang, saat menyaksikan tim unggulan berhasil menang. Seperti dalam tulisan seorang sahabat, Saya tak tahu, apakah kebiasaan saya nonton bola berpengaruh positif atau negartif terhadap masyarakat. Tapi sejauh ini perasaan saya mengatakan, sepakbola telah membangun harapan dan memberikan dorongan semangat dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu saya membiarkan diri saya menjadi pecandu sepakbola. Pecandu yang tak perlu dibawa ke panti rehabilitasi dan tak perlu jual rumah dan tanah tentunya. Sebab obat candu saya sangat sederhana, Serbia menang dan jadi juara Piala Dunia maka melayanglah perasaan saya ke angkasa ke langit-langit ketujuh. Seperti seorang Marxis berkata, "merupakan suatu ilusi yang mempertahankan kondisi yang menciptakan kebutuhan akan ilusi." Tak beda bagaikan seseorang laki-laki memiliki begitu banyak kemampuan dan menipu diri sendiri secara sadar menolak beralih ke konsep subordinasi kelas, berpura-pura menjalani kehidupan yang bermartabat, hiasan tidak terbatas jumlah fasilitas yang ditawarkan oleh budaya populer. Kebebasan telah menjadi sinonim untuk kebebasan konsumsi. Sebagai bagian akhir dari judul artikel diatas tersebut, pada akhirnya, olahraga dan massa memang tidak bisa dipisahkan. Hanya jika sepakbola itu candu, maka massa adalah obat canggih yang dimaksudkan untuk mengatasi keterasingan dan kehampaan kehidupan modern, dari euforia yang memaksa jiwa kolektif lebih seperti ekstasi massa dari candu untuk massa.
KEMBALI KE ARTIKEL