Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mari Kita Berselisih!

20 April 2011   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 131 0
Ada seekor gajah di rumah yang gelap, beberapa orang Hindu membawanya untuk dipertunjukkan. Karena melihat dengan mata tidak mungkin, setiap orang merabanya dengan tangannya. Tangan yang seorang menyentuh belalainya, ia berkata, “makhluk ini seperti pipa air”. Yang lain meraba telinganya, baginya gajah tampak seperti kipas. Yang lain memegang kakinya, ia berkata, “aku dapati gajah seperti sebuah tiang”. Yang lain meletakkan tangannya di punggung gajah dan berkata, “sesungguhnya gajah ini menyerupai singgasana”. Setelah masing-masing memasang lilin di tangannya, perbedaan pun akan lenyap dari kata-kata mereka.

Kutipan kisah tadi berasal dari karya monumental Maulana Jalaludin Rumi, Matsnawi, sekaligus mengingatkan saya ketika bertanya kepada kakek saya. Ketika itu saya menanyakan masalah ikhtilâf madzhab fiqih dalam Islam. Saya bertanya mengapa kita harus berbeda dan kadang merasa paling benar diantara madzhab yang ada. Atau bahkan kita merasa bahwa kitalah yang paling berhak masuk surga. Dan ternyata beliau menjawabnya dengan sebuah ibarat yang kisahnya hampir sama dengan yang diatas.

Kisah diatas juga mengingatkan kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang wajar terjadi pada manusia. Setiap manusia mempunyai ide yang berbeda mengenai sesuatu. Karena itulah, ketika ide itu dikemukakan kepada orang lain, maka akan muncul ide baru yang merespon ide kita. Ketika kita bisa berdialog dan bersentuhan dengan ide yang berbeda tanpa didahului apriori, maka ketika itu pula perbedaan ide tadi dapat memperkaya khazanah pemikiran kita.
Perbedaan pendapat adalah suatu fitrah. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya sesuai dengan alasan yang ia miliki. Manusia diciptakan dalam perbedaan. Walaupun manusia adalah sama-sama ciptaan Tuhan, namun dalam proses kehidupannya manusia adalah beda satu sama lain. Tuhan berfirman bahwa manusia diciptakan sebagai umat yang satu tetapi mereka akan senantiasa berselisih.
Dalam sejarah perkembangan Islam, seringkali perbedaan ini berujung pada perpecahan umat. Perbedaan mazhab sering dibesar-besarkan untuk kepentingan sesaat dan menjatuhkan lawan. Dalam buku Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat mengatakan,

Kesadaran bahwa konflik mazhab itu lahir dari kepentingan politik adalah sebuah kesadaran sejarah. Bukankah dua mazhab awal – Sunni dan Syi’ah – muncul karena perbedaan visi politik ?. Sunni ingin melegitimasikan kepemimpinan yang sudah ada, sementara Syi’ah mempertahankan kepemimpinan keluarga Rasul. Dari perbedaan pandangan politik dijabarkanlah perbedaan fiqih. Ketika ‘Ali dan pengikutnya mengeraskan bacaan basmalah pada shalat, maka Mu’awiyah dan para ulamanya memfatwakan basmalah yang sirr. Ketika orang-orang Syi’ah mengusap kakinya dalam berwudhu, orang-orang Sunni membasuhnya. Ibnu ‘Abbas pernah mengeluh, “Ya Allah, laknatlah mereka; mereka telah meninggalkan sunnah Nabi hanya karena kebencian kepada ‘Ali (Sunan al-Nasa’i , V:253). Ratusan tahun kemudian Ibnu Taymiyyah berfatwa bahwa penting meninggalkan sunnah bila amal itu dipraktekkan oleh orang-orang Syi’ah. …

Ketika saya membuka kitab suci, -- sejauh yang telah saya baca--- belum saya temukan ayat yang menyuruh kita untuk bersatu. Yang ada hanyalah kita dilarang untuk berpecah belah. Ayat sebelumnya menerangkan tentang kewajiban kita untuk berpegang teguh pada habln min-Allâh dan hablun min-al-Nâs . Nabi juga pernah bersabda bahwa perselisihan pendapat umatku itu rahmat. Dengan kedua legitimasi tekstual diatas maka sudah sewajarnya apabila kita akan terus berselisih dan berbeda pendapat. Namun perbedaan dan perselisihan itu jangan sampai membuat kita berpecah belah. Hendaknya perbedaan itu dapat membuat kita lebih arif dan bijaksana. Kita tidak akan merasa paling benar dengan pendapat kita. Kita anggap saja perbedaan dan perselisihan pendapat itu sebagai arena silaturahmi pemikiran. Ketika itulah perselisihan itu menjadi rahmat bagi kita.

Ketika perbedaan dan perselisihan pendapat bukan menjadi sesuatu hal yang tabu lagi, maka kita dituntut lebih produktif dalam mengemukakan pendapat. Dan juga lebih kritis terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan ide kita, selama masih berada di dalam usaha mencapai rahmat bukannya menciptakan perpecahan. Karena dalam sebuah hadits, perpecahanlah yang bisa menghancurkan umat Islam. Perpecahan tersebut berawal dari pemutlakan dan fanatisme berlebihan terhadap pendapat sendiri tanpa mau menerima pendapat orang lain.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berpendapat sesuai dengan kemampuan saya. Saya mengharap Anda merespon saya dengan pendapat yang berbeda. Dan karena perselisihan itu adalah rahmat, maka izinkanlah saya untuk menciptakan perselisihan baru.

Pentagon, 2001

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun