Mulai dari yang sedang memanas mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi yang menuai respon dominan berupa penolakan, serangan tomcat yang kebetulan juga menimpa kedua anak kami, peta politik pilkada ibukota, drama Nazarudin yang rasanya telah memasuki fase hambar untuk ditonton, berita-berita korupsi yang tak ubahnya seperti sinetron yang silih berganti di seluruh stasiun televisi, dan masih banyak lagi tontonan kesulitan hidup yang menjejali indera kita.
Sadar atau tidak, energi kita semua terserap untuk melihatnya, mendengarnya, memikirkannya, lebih jauh lagi beropini atasnya, parahnya lagi tak jarang ber-gossip ria dengan bahan seadanya. Lalu bagaimana dengan diri kita sendiri ? Apa kabar diri kita hari ini? Diri kita sebagai pribadi, tanpa embel-embel sebagai pemerhati, pakar, pengamat, dan sebagainya.
Seorang tetangga mengajak diskusi renyah sembari menikmati pagi di akhir pekan kemarin dengan topik diatas. Siapa dan bagaimana sejatinya diri kita sebagai pribadi sekarang ini? Setiap orang sepertinya sekarang ini berhak untuk menjadi pembicara atas nama, menjadi wakil dari opini yang kadang menasbihkan diri secara sepihak sebagai bagian dari penderita kesusahan hidup sebagaimana (sebagian) terinventarisir diatas.
Sekarang ini seolah menjadi tidak jelas siapa mewakili siapa, atau sepertinya sudah tidak absah lagi istilah keterwakilan. Semua harus bicara sendiri-sendiri, namun biar kelihatan rame harus membawa nama pihak. Saudara saya yang buruh di pabrik bilang tidak peduli dengan kenaikan BBM, tokh dia ke pabrik naik jemputan, hanya saja menurutnya jangan sampai harga sembako naik berlebihan. Di berita BI bilang inflasi tidak akan besar, beberapa pakar bilang sudah mulai meresahkan. Pakar yang satu bilang kita mustinya untung jualan minyak, pakar satunya lagi bilang kita secara netto tidak jualan melainkan beli minyak. Parahnya, seorang supir tetangga saya sampai gontok-gontokan akibat debat kusir soal BBM. Duh Gusti, ruwet nian hidup di negara ini.
Lantas dimana masalahnya, tokh itu semua hanya opini ?
Ya, kesimpulannya adalah kita harus mendudukkan secara proporsional opini-opini tersebut. Tidak semua berita benar, dan belum pasti semua kebenaran diberitakan.
Yang pasti, kata tetangga saya tadi yang kebetulan sudah pensiun sebagai PNS, jangan sampai kita korbankan perhatian kita atas diri kita sendiri untuk mengurusi opini orang lain, apalagi meributkannya.
Semoga pemerintah kita tidak melepas tanggung jawab dengan larut dalam opini, dan mari kita kembali mempelajari terlebih dahulu: apa kabar diri kita?
~amrunofhart~