Aneh juga dengan republik ini. Kita dilarang membicarakan SARA, tapi diam-diam, secara halus SARA dipermainkan. Tak tanggung-tanggung,dipermainkan pada level wawasan kebangsaan.
Heran? Lihat ini. Rhoma Irama dituduh kampanye SARA. Kemudian di level pilkada, masing-masing tim sukses mengemas "komoditas"nya dengan isu-isu politik identitas. Alamaaakkk...
Baik. Kita bersepaham, bahwa tak boleh menjelek-jelekkan salah satu unsur SARA yang berbeda dengan masing-masing kita. Itu salah. Itu tak boleh. Itu haram sifatnya dalam pembentukan karakter bangsa.
Masalahnya, bagaimana jika SARA dipergunakan secara licik pada sisi sebaliknya? Pada sisi mengunggul unggulkan puak diri sendiri? Padahal ini adalah eksklusivisme. Tak percaya? Lihat lagi ini. Jelang pilppres 2014, mulai bergerilya para peramal. Modalnya adalah kitab-kitab tua yang lebih disucikan daripada kitab-kitab suci agama-agama resmi. Berdasarkan kitab "xxx", disusun oleh leluhur bernama "yyy", yang ada susunan kalimat "zzz", maka presiden Republik Indonesia adalah si anu, si anu dan si anu. Tidak bisa lain dari itu. Indonesia tak bakalan sejahtera. Amboiii... Seolah bahwa republik ini HANYA milik suku tertentu. Nah, bukankah itu SARA? Eksklusivisme dan dekat pada fasisme. Anehnya kok tak diapa-apakan?
Pembiaran terhadap hal tersebut adalah alamat nyata republik ini sakit. Terhadap hal-hal yang merongrong integritas bangsa, dikenakan tuduhan pasal-pasal karet warisan Belanda penjajah. Lantas, saat membicarakan peristiwa kepemimpinan internal bangsa, eklusivisme ditumbuhkan. Adilkah ini? Waraskah? Kasihan dengan para Pendiri Bangsa dan para Pahlawan. Perjuangan mereka ditunggangi kepentingan sesaat puak tertentu.