Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Trans Jogja

19 Februari 2011   11:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 124 0
Seperti siang-siang yang lalu, aku menekuri percabangan jalan yang setiap detiknya dihamburi motor dan mobil. Menunggu Trans Jogja datang; lebih-lebih yang ber-AC.
Bagiku, ketika aku melangkah masuk, rasanya badanku ini terseret ke dalam sebuah kubikel berisi setangkup hidup dari mereka yang ada di dalam. Iya, rasanya seperti membaca apa yang terjadi sesiangan pada mereka walau tidak berceritera, entah dari mana aku tahu, entah salah atau benar, persetan nian.
Siang ini, seorang pria paruh baya tidur menganga dengan anggunnya, bajunya batik rumit, dengan stelan celana katun hijau dan kaus kaki biru laut. Nyentrik; dan sepertinya agak seram.
Seorang gadis dengan baju pramuka cekikan sendiri di pojokan, sambil membaca sebilah buku tulis. Dari hasil intipanku, sepertinya itu dialog drama. Entah buat apa.
Sejoli muda-mudi berpenampilan eksekutif muda duduk di pojok lain, dekat jendela. Galih-nya berbirbir tipis, mengenakan kemeja putih dan jam tangan Swiss Army yang tampaknya asli. Sedangkan si Ratna tampak agak pemalu, rambutnya ditarik ke belakang dan dijepit. Pipinya segar. Yah, seperti yang kautahu bagaimana gelagat seorang sejoli yang duduk di pojokan nan terpencil dari riuh-rendah dan mata-mata iseng, kau tahu pasti mereka lagi ngapain. Maksudku, tangan mereka.
Ada pula beberapa mahasiswi bermuka tirus. Mungkin aku tidak tahu pasti problema mereka, tapi aku tahu benar jadi anak kos memang sengsara. Seorang mahasiswi di sebelahku parasnya bukan paras Jawa, mungkin dari Maluku. Rambutnya hitam dan mencuat ke belakang, tampaknya agak kasar. Ia mengenakan kaus abu-abu bergaris hijau. Sedang SMS-an, mungkin sama pacarnya, karena dari nama kontak di HP-nya tertulis My Lovely Dear.
Transit sebentar di Halte Kopma, dua wanita muda masuk. Gayanya sangat tujuhpuluhan, dengan rok terusan selutut dan sepatu wedges. Bisa jadi mereka menyayangkan, mengapa pada era disko itu mereka masih ngompol dan mengulum karet dot.
Mereka mengambil tempat duduk berhadapan. Salah satu dari mereka, yang berbaju jambon, duduk bersebelahan dengan seorag pelajar artistik. Artistik, secara literal. Dari emblem di seragamnya dapat dibaca jelas: Sekolah Menengah Seni Rupa. Rambutnya belah tengah, mukanya kalem agak berjerawat. Tas hitamnya nampak sudah dipermak berkali-kali dengan cat. Terakhir aku melihatnya, dulu sekali, ada gambar wajah wanita Jepang yang dilukis dengan cat akrilik. Kini saat bertemu lagi, hanya technicolor tidak jelas yang bisa kuinterpretasikan.
Atau mungkin aku yang terlalu naif untuk hal setara itu.
Jalanan mulai padat lagi. Trans Jogja dengan nistanya hanya dapat merayap. Nista, karena hanya bodinya saja yang besar. Manuvernya kalah drastis dengan motor-motor tikus yang menyusup di sela kemacetan.
Di seberangku, ibu-ibu PNS necis sedang menghubungi suaminya untuk menjemput di Condong Catur. Cerewetnya bukan main.
Kalau sudah begini sih, aku cuma bisa tersenyum saja. Kira-kira apa yang ada di benak mereka tentang gadis berjilbab yang menggigit bibir bawahnya? Belum lagi mereka tidak tahu gadis itu membuat cap-cap seenaknya terhadap mereka?
Wah, akunya yag ke-PD-an kali ya. Memang aku seagung apa sih mengecap orang layaknya sapi ternak?
Nah, itu dia. Gadis Pengecap Sapi Ternak. Sama hina dengan apa yang dicap.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun