Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul 'Membumikan Al-Qur'an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat' (1999) mengungkap pentingnya silaturrahim yang termaktub dalam salah satu sabda Nabi Muhammad.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus." (HR Bukhari). Dari hadits Nabi Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturrahim menyambung apa yang telah putus dalam 'hablum minannas'.
Manusia tidak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam menyambung kembali apa-apa yang telah putus tersebut.
Belum lagi keutamaan dari amalan ini yang di antaranya dapat memperpanjang umur serta melapangkan rezeki. Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menghubungkan tali silaturahmi" (HR Bukhari dan Muslim).
Maksud dipanjangkan umurnya di sini yaitu senantiasa mendapatkan bimbingan, taufik dan berkah Allah SWT selama umurnya itu, bukan berarti tambahan umur yang telah ditetapkan. Dengan silaturrahim itu pula relasi bisa semakin luas, sehingga dapat menambah berbagai peluang dari jalan rezeki. Ini makna meluaskan rezeki.
Secara literal, 'silaturrahim' adalah kata majemuk yang terambil dari kat bahasa Arab, 'shilat' dan 'rahim'. Kata shilat berakar dari kata 'washl' yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu.
Sedangkan kata 'rahim' pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Dengan demikian, silaturahim atau silaturahmi (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang berarti tali persahabatan, dalam bahasa Arab bermakna khusus untuk konteks hubungan darah atau keluarga (kinship).
Mungkin karena keutamaan silaturrahim dari sisi agama inilah, KH. Ma'ruf Amin selalu berkunjung ke pesantren-pesantren, ulama, dan para santri. Hal ini sudah dilakukan sejak masa lalu, bahkan semakin intens saat dirinya menyandang status Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Mengunjungi saudara adalah bagian dari amalan silaturrahim tersebut. Di sana bisa terbangun hubungan yang hangat dan melumerkan segala kesalahan yang pernah terjadi. Komunikasi juga bisa lebih akrab. Dan, inilah tanda-tanda ukhuwah (persaudaraan) juga semakin kuat.
Nah, tradisi silaturrahim ini pula yang dilanjutkan oleh Kiai Ma'ruf saat masa kampanye. Selama ini, Kiai Ma'ruf memang tak mau menggunakan istilah kampanye saat mengunjungi ulama dan pesantren.
Selain memang berkampanye di pesantren itu dilarang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga karena para Kiai-Kiai itu tak mau diajak kampanye. Pada posisi ini, Kiai Ma'ruf sadar betul soal tersebut.
"Karena objek-objek pertemuan saya itu ulama. Ulama enggak suka istilah kampanye, dikampanyei, mereka enggak begitu suka, tetapi disilahturahimi. Nah itu mereka suka sekali istilahnya," ujar Ma'ruf di kediamannya di Jalan Situbondo, Senin (10/12/2018).
Terlepas dari itu, kita memang harus sadar bahwa di atas soal politik hari-hari ini terdapat jalinan kemanusiaan yang lebih utama. Di sini, kepentingan silaturrahmi yang akan abadi. Bukan kampanye atau sekadar ajak-ajakan memilih kandidat pemimpin dalam Pemilu.
Ada atau tidak ada Pemilu, bagi Kiai Ma'ruf silaturrahim tetap akan dijalankan. Pasca kampanye, silaturrahim itu juga akan tetap dilakukan. Terlepas dia kalah atau menang. Karena memang itu adalah perintah agama.
Ini bukan sekadar persoalan politik, tetapi lebih mendasar lagi, terkait urusan spiritualitas menjaga ajaran agama dan kemanusiaan.
Silaturrahim itu abadi, kampanye itu fana, bukan?