Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

"Habis Gelap Teruslah Gelap"

21 April 2012   02:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:20 270 2

Penghujung minggu, tepatnya 21 April, ada satu hari raya yang sangat mendalam artinya bagi bangsa Indonesia: Hari Kartini. Siapa, sih, Kartini itu? Mengapa beliau begitu spesial di mata bangsa Indonesia?

Raden Adjeng Kartini adalah anak dari putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang lahir dari istri pertamanya, M. A. Ngasirah tahun 21 April 1879. Bapaknya sendiri adalah bupati Jepara. Silsilahnya dapat dilacak di Hamengkubuwono VI.

Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, sekaligus saudara perempuan tertua di keluarganya. Ia bersekolah di ELS (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar. Namun selanjutnya ia tidak dapat melanjutkan karena dipingit.

Kesendiriannya di rumah dihabiskan dengan membuat surat-surat dengan teman-teman korespondensi yang di Belanda—dia bisa berbahasa Belanda. Salah satu yang mendukungnya adalah Rosa Abendanon. Dari buku dan literatur Eropa, muncullah pemikiran Kartini melihat kemajuan berpikir perempuan Eropa: perempuan Indonesia harus maju, tidak direndahkan seperti yang ia rasakan saat ini.

Singkat cerita, berkat inspirasi dari buku-buku luar negeri tentang kemajuan Eropa di luar sana, Kartini membuat buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini berisi tentang apa yang sekarang dikenal sebagai “emansipasi wanita”, di mana perempuan sebenarnya bisa bekerja selayaknya laki-laki, sehingga derajat mereka bisa sama dengan laki-laki.

Kartini meninggal pada 17 September 1904, setelah 4 hari sebelumnya melahirkan R.M. Soesalit, anak satu-satunya. Tahun 1954, presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional.

Sudah 108 tahun pasca-kepergian Kartini, tapi “emansipasi wanita” yang ia prakarsai belum sepenuhnya meresap ke darah daging bangsa Indonesia. Lihatlah, masih banyak perempuan yang belum dapat kesempatan untuk membuktikan diri—pelecehan, pembatasan karier, “diperbantukan”. Walau ada beberapa perempuan yang berprestasi (contoh: Sri Mulyani, direktur Bank Dunia; Megawati Soekarnoputri, presiden ke-5 RI) tapi hal itu timpang rasanya bila melihat sekeliling mereka; perempuan repot mencari rezeki yang seharusnya pekerjaan laki-laki, diremehkan oleh sekeliling, dan sebagainya.

Perempuan modern tercipta bukan hanya karena usaha hebat mereka, tapi karena lingkungan yang menghargai usaha mereka. Maka, yang harus kita lakukan adalah mengapresiasi hasil kerja perempuan karena pada hakekatnya hubungan laki-laki dengan perempuan adalah horizontal, bukan vertikal. Jika hal ini tidak bisa dilaksanakan, bukan berarti Kartini akan mengubah judul bukunya menjadi “Habis Gelap Teruslah Gelap”.

(Sumber: wikipedia.org)

M Ammar Mahardika

21 April 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun