Setelah selesai sholat, dengan cemas ia menunggu didepan kamar bersalin. Ketika mulai terdengar adzan dari musholla dan surau di kampung tersebut, terdengar pula suara tangis bayi dari dalam kamar bersalin di tempat praktek sang bidan. Hatinya terasa berbunga-bunga karena anak yang telah ditunggunya selama 10 tahun akhirnya lahir juga. Dengan langkah yang dipercepat ia menuju depan pintu kamar bersalin dan menunggu sang bidan keluar. Ketika sang bidan keluar dari pintu kamar bersalin, dengan semangat kang Tejo bertanya, "bu bidan, bagaimana keadaan anak dan istri saya?". Dengan tersenyum sang bidan meminta kang Tejo untuk kembali bersabar dan menerima kenyataan dengan ikhlas bahwa istrinya tidak terselamatkan karena kondisi fisiknya yang langsung melemah setelah melahirkan. Bagai disambar petir kang Tejo mendengar penjelasan sang bidan, ia langsung jatuh terduduk di depan sang bidan. Ia menangis sejadi-jadinya atas musibah yang baru diterimanya ini. Ia tidak tahu harus bagaimana kelak menjawab pertanyaan anaknya tentang ibunya. Dengan sabar sang bidan menasehati kang Tejo agar ikhlas dan tawakal menghadapi kenyataan ini. Dan memberikan pendidikan kepada anaknya dengan baik.
Akhirnya ia membawa pulang anak dan juga jenazah istrinya pagi itu juga untuk dimakamkan di kampungnya. Setelah selesai pemakaman istrinya, kang Tejo bersumpah dalam hatinya bahwa ia akan membesarkan dan mendidik anaknya dengan tangannya sendiri. Ia tidak ingin mencari pengganti istrinya untuk merawat anak tunggalnya. Karena rasa cinta dan kasih sayang kepada istrinya yang sangat besar, hingga ia berketetapan hati untuk hidup sendiri dengan anaknya dan juga merawat ibunya yang telah lanjut usia. Dengan rasa cinta dan kasih sayang yang sangat besar, ia mendidik anaknya hingga tumbuh menjadi anak yang selalu ceria. Secara rutin ia mengunjungi makam istrinya dengan membawa serta anaknya. Dengan suara berat ia selalu menceritakan perjuangan ibunya ketika melahirkannya ke dunia ini. Selama itu pula anaknya dengan seksama mendengarkan cerita ayahnya dan dengan pelan-pelan tangannya selalu menghapus airmata ayahnya yang jatuh setiap bercerita tentang ibunya. Anaknya sekarang telah tumbuh menjadi remaja yang cerdas, penurut dan sholeh. Ia merasa bangga bisa membesarkan anaknya dengan sangat baik walau tanpa didampingi oleh istri yang seharusnya bisa memberikan kasih sayang kepada anaknya. Apa yang dulu dinasehatkan sang bidan kepadanya ternyata benar bahwa ia hanya perlu mendidik anaknya dengan sabar dan baik.