Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Penderitaan Tanpa Akhir

25 Juli 2011   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 214 1
Menjelang Ramadhan sudah didahului dengan barang-barang kebutuhan pokok naik. Tak ada kebutuhan dasar yang tidak naik. Semuanya sudah  naik. Hidup di Republik ini bagi rakyat jelata seperti hidup di neraka. Siksaan dan penderitaan  terus mendera. Terus bertambah bagi rakyat jelata. Bukannya berkurang.

Apa yang akan dimakan rakyat jelata Ramadhan nanti? Adakah mereka masih akan dapat melaksanakan buka puasa atau sahur? Rakyat jelata yang  hidupnya terus dihimpit siksaan dan penderitaan itu, mereka hanya pasrah terhadap kenyataan hidup yang sangat pahit ini.

Di pusat kota Jakarta inipun, ada keluarga yang hanya mampu buka puasa dengan singkong rebus dan tempe rebus plus garam. Mereka bertahan dengan kehidupannya. Mereka jalani kehidupannya dengan shabar. Tidak mengeluh.

Sementara itu, harga beras terus melambung, dan semakin banyak rakyat tidak mampu membeli. Hatta beras yang paling murah sekalipun. Karena tingkat pendapatan rakyat jelata sangat kecil. Tidak mampu membeli "raskin".

Sayur-mayur, buah-buahan, daging, gula, dan kebutuhan lainnya, sudah naik berlipat-lipat. Ibu-ibu yang pergi ke pasar, hanya melihat-lihat dan memegang, tanpa mampu membelinya. Pemandangan di pasar-pasar tradisional itu, sungguh sangat mengenaskan. Tak ada wajah ibu-ibu yang bergembira menjelang Ramadhan ini. Karena semua serba mahal.

Mengapa semua kebutuhan dasar itu menjadi mahal? Karena semua barang kebutuhan dasar untuk rakyat di import. Beras yang kita makan sehari-hari di datangkan dari Thailand dan Vietnam. Rakyat Indonesia memberi keuntungan kepada negeri Thailand dan Vietnam. Terus menerus. Uang rakyat Indonesia mengalir ke Thailand dan Vietnam.

Tentu, kalau beras di datangkan atau diimport, ada yang pihak yang diuntungkan, yaitu para pengusaha importir beras, dan pejabat (birokrat) yang memberikan izin kepada importir. Itulah yang membuat harga beras import menjadi mahal. Pengusaha mencari untung berlipat-lipat, sementara pejabat (birokrat) ingin mendapat "fee" dari izin yang diberikan kepada importir. Rakyatlah yang harus menanggung beban.

Daging yang dikonsumsi rakyat ini, juga semua diimport dari luar negeri. Daging yang dikonsumsi rakyat, didatangkan dari Australia dan Selandia Baru, jumlahnya ribuah ton, dan nilainya puluhan  triliun rupiah. Sungguh luar biasa. Keuntungan yang didapatkan dari para importir dan pejabat yang mengeluarkan izin import itu. Semua terjadi "pat-gulipat" antara para pengusaha dan pejabat. Korbannya rakyat jelata, yang miskin, yang hidup sudah penuh dengan penderitaan.

Mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi kepada petani dan peternak, sehingga Indonesia tidak bergantung kepada asing atau luar negeri? Bagaimana bisa dimengerti oleh akal sehat, Indonesia harus bergantung beras dan daging kepada asing? Padahal, luas daratan Indonesia yang bisa ditanami dan menjadi tempat peternakan sangat luas. Tetapi pemerintah memilih dengan jalan "shortcut" (jalan pintas) mengiport beras dan daging.

Membiarkan para petani menjadi semakin miskin. Membiarkan rakyat terus-menerus makan beras dan daging import. Tidak ada usaha yang serius mengubah keadaan yang ada. Tidak ada langkah yang konsisten dari pemerintah menjadi negara yang swasembada pangan, dan mencukupi kebutuhan daging.

Di pasar-pasar, sampai ke pasar tradisional pun, sekarang sudah dibanjari barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Semuanya berasal dari luar negeri.

Beras, buah, sayur-mayur, gula, tempe, telur, dan kebutuhan lainnya, semua di import dari luar nengeri. Sehingga, harganya menjadi mahal. Sekali lagi. Mereka yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan import itu, tak lain para pengusaha dan birokrat. Sementara, rakyat tetap menjadi korban dari kebijakan import itu.

Tetapi, bukan hanya kebutuhan pokok rakyat yang menjadi bergantung kepada asing. Tetapi hal-hal yang sekunder juga sangat bergantung kepada asing.

Seperti mobil dan motor. Sudah puluhan tahun. Sejak zamannya Soeharto berkuasa.  Sampai sekarang Indonesia belum mempu membuat mobil dan motor sendiri. Semuanya masih bergantung kepada Jepang.

Pabrik mobil dan motor seperti Toyota Astra dan Honda di Indonesia hanya tempat merakit. Banyak lulusan perguruan tinggi, hanya menjadi "kuli"  di perusahaan asing itu, bukan menjadi ahli yang membuat perangkat transportasi.

Sekarang jalan-jalan macet dipenuhi dengan mobil dan motor produk Jepang. Indonesia hannya mendapatkan keuntungan dari pajak. Selebihnya Indonesia harus membayar mahal dengan adanya kendaraan mobil  dan motor itu. Pemerintah harus membayar subsidi BBM yang jumlahnya mencapai Rp 70  triliun. Pemborosan BBM luar biasa. Jalan-jalan mengalami kemacetan dan polusi.

Indonesia benar-benar menjadi tanah jajahan asing. Tempat asing membuang barang mereka. Rakyat  di jejali dengan produk-produk asing. Kolaborasi antara pengusaha dan pejabat (birokrat) membuat Indonesia semakin tidak lagi memiliki nilai (velue) yang dapat bersaing dengan asing.

Apalagi Indonesia sudah menandatangani perjanjian "Free Trade Area" untuk kawasan Asia. Di mana nantinya akan bebas lalu-lintas barang masuk ke Indonesia, dan bebas pajak. Ini pukulan yang lebih hebat lagi bagi masa depan Indonesia.

Rakyat jelata hanya melihat jalan-jalan penuh dengan  mobil dan motor. Sementara, mall-mall, plaza, dan pasar-pasar di penuhi dengan produk-produk asing. Mereka hanya menjadi penonton sembari menahan lapar. Pasar-pasar tradisional pun tak lepas dari jangkauan barang-barang asing.

Memang negeri ini diperuntukkan bagi kepentingtan asing. Bukan untuk rakyatnya. Apalagi rakyat jelata.

Ramadhan mereka hanya dapat menghela napas panjang. Hidup di rumah-rumah kumuh, sambil menikmati singkong rebus dan sekedar tempe serta garam. Karena beban hidup mereka semakin berat. Sementara penghasilan mereka semakin sedikit. Mendapatkan lapangan kerja pun sangat sulit.

Selamat menyongsong Ramadhan. Semoga Allah Rabbul Alamin tetap memberkahi kepada rakyat Indonesia. Wallahlu'alam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun