"Mereka membawa ayunan dan mengayun anaknya di sekitar lapangan." Begitu kata bapak saya.
Saya tidak pernah sedikit pun meragukan cerita itu. Saya sangat yakin dengan kebenarannya. Sejak dulu, penduduk negeri ini memang menempatkan sepak bola sebagai olah raga dan hiburan favorit. Di setiap kampung ada lapangan sepak bola. Meskipun lapangan tersebut kadang semakin sempit. Tergerus gedung, dan napsu sesaat para perusak.
Lalu, ketika kemajuan teknologi sudah begitu pesatnya dan rakyat negeri ini sudah bisa menikmati tayangan sepak bola di benua mana pun dengan hanya sedikit begadang, kecintaan mereka pada sepak bola lokal tak pernah surut. Lapangan-lapangan di kampung-kampung masih selalu sesak penonton. Siaran langsung liga Indonesia di TV-TV selalu ditunggu-tunggu.
Bahkan, penduduk negeri ini kadang sedikit nekad untuk menonton sepak bola. Saya ingat bagaimana 29 Desember 2010 silam, ketika Indonesia lolos ke final Piala AFF di Gelora Bung Karno Jakarta, warga negeri ini rela mengantre berhari-hari untuk selembar tiket. Mereka ingin menjadi saksi kehebatan timnas-nya. Seratusan ribu penonton itu ingin bergembira. Mereka ingin Indonesia juara dan mengembalikan statusnya sebagai jagoan Asia. Sepak bola negeri ini pernah jaya dan mereka yakin itu masih bisa diulangi. Sayang, saat itu Malaysia mengalahkan kita.
Lihat juga bagaimana begitu seringnya suporter di negeri ini terlibat perkelahian. Mereka sangat fanatik.
Tapi saya selalu yakin, mereka hanya butuh alasan untuk bersatu saja. Bisa jadi, alasan tersebut adalah timnas Indonesia. Mereka bisa disatukan lewat kebanggan bersama. Ya, sebuah kebanggaan bersama karena prestasi timnas kita yang menggembirakan.
Seperti saat Timnas Indonesia U-19 merengkuh gelar juara Piala AFF U-19, 22 September lalu. Semua orang bergembira. Tidak ada sekat antar suporter. Para fans bergembira untuk satu rasa yang sama, kebanggaan karena timnas sudah mengakhiri dahaga gelarnya. Pemberitaan di media seperti tak mau berhenti. Semua sisi dimunculkan. Tak ada yang bosan mendengar, melihat atau membaca kisah heroik pemain.
Ketika Timnas Indonesia U-19 melangkah ke putaran final Piala Asia setelah di penyisihan Grup G Kualifikasi Piala Asia U-19 menumbangkan Korsel 3-2, kebanggaan akan timnas makin besar. Sebuah impian besar pun terajut. Kita tidak kalah dengan bangsa lain, kelak kita bisa juara Asia, bisa ke piala dunia lagi, dan bisa.....Kita bisa segala-galanya.
Tapi, saat sebuah harapan besar sedang kita semai bersama, "kabar buruk" datang dari Myanmar. Setelah sempat menang tipis 1-0 atas Kamboja, kita dipermalukan Thailand 4-1. Ini jelas sangat mengejutkan. Tak hanya bagi kita tapi juga bagi lawan. Pelatih timnas Thailand U-23, Kiatisuk Senamuang mengaku tak menyangka timnya bisa dengan mudah membobol gawang Kurnia Mega. Yang dikatakan pelatih Thailand itu tentu bukan untuk menghibur atau membesar-besarkan perasaan kita. Tentu juga bukan untuk mengolok-olok. Itu reaksi kaget dari permainan Indonesia. Sejak awal dia pasti yakin pertandingan tersebut bakal berjalan sulit. Namun, seperti kita lihat bersama, Indonesia bermain seperti tanpa sebuah kebanggaan. Sangat berbeda dengan U-19. Pemain U-23 seperti tidak sadar, mereka bermain untuk siapa. Mudah-mudahan di pikiran mereka bukan tentang bonus karena itu akan membuat mereka dikenang dengan buruk.
"Bahkan jika tidak punya potensi yang bagus karena Anda menghadapi lawan yang kuat, jika Anda bisa bermain dengan kebanggaan maka Anda bisa lebih baik. Mereka harus bangga karena membawa nama timnas dan mewakili negara."
Itu kritikan pelatih Chelsea, Jose Mourinho soal timnas kita saat timnya menang 8-1 di GBK beberapa waktu lalu. Tapi sepertinya Rahmad Darmawan yang melatih Indonesia ketika itu kurang menangkap pesan ini. Atau boleh jadi, pemain dan pelatih kita kurang membaca, menonton, mendengar atau bahkan tidak mau tahu soal kritikan.
Saat ini, melihat klasemen dan cara bermain timnas U-23, sepertinya sulit bagi Indonesia untuk melaju ke semifinal dan merealisasikan target emas sekaligus mengakhiri dahaga gelar dua dekade. Tapi sulit bukan berarti sudah tidak mungkin. Semuanya masih bisa terjadi. Selalu ada drama dalam sepak bola.
Lihat bagaimana Bayern Munchen meraih trofi Piala Super Eropa Agustus lalu. Mereka tertinggal 1-2 hingga menit ke-120 atau beberapa detik sebelum wasit asal Belanda, Jonas Eriksson meniup peluitnya. Tapi toh akhirnya mereka bisa juara setelah Javi Martinez di detik akhir perpanjangan waktu menyamakan kedudukan menjadi 2-2 dan akhirnya Munich menang adu penalti.
Ingat pula pada 26 Mei 1999. Di depan 90.045 penonton, Manchester United meraih gelar juara Liga Champions lewat dua gol telat Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer di menit ke-91 dan 93. Jadi, dalam sepak bola tidak ada yang mustahil. Termasuk peluang Indonesia.
Tapi, sekali lagi, kalau bermain seperti kala melawan Kamboja atau Thailand, semua memang akan menjadi mustahil bagi Andik Vermansyah dkk. Seperti kata Mourinho, Timnas harus tampil spartan dengan mengusung semangat dan kebanggaan sebagai pahlawan bangsa. Kalau mereka bermain dengan bangga sebagai wakil bangsa, Indonesia pasti bisa menang dan melaju ke final serta juara.
Cukuplah kita sudah sangat malu ketika Mourinho dan media di Inggris mengolok-olok timnas kita. Misalnya ada yang menyebut seekor nyamuk akan lebih menyulitkan Chelsea daripada tim BNI All Stars. Atau ada juga menyebut Indonesia tidak pantas disebut Allstar karena mereka nilai pemain kita hanya perkumpulan pemain amatir yang mengoper bola saja tidak bisa. Sudah cukup kita malu selama ini. Jadi TOLONG, BIKIN KAMI BANGGA!, sekarang dan selamanya. Bravo Sepak Bola Indonesia.
Barru, 14 Desember 2013
(Baru selesai mandi)