(TT).
Dua atau tiga tahun lalu menjadi TT seolah dianggap prestasi. Saya masih ingat ada sebuah kata berbahasa Indonesia menjadi TT langsung ditulis jadi berita di media online. Media yang menulis sekaliber Tempo, Kompas dan Detik. Seingat saya tidak hanya satu kali tapi beberapa kali TT berbahasa Indonesia menjadi judul berita. Karena—waktu itu—TT dianggap sebagai kebanggaan. Seolah-olah kata berbahasa Indonesia yang menjadi TT mengharumkan nama bangsa. J Seperti slogan Semakin Di Depan yang dianggap kebanggaan ketika menempel di MotoGP dan dilihat orang di seluruh dunia.
Seiring berjalannya waktu anggapan itu sepertinya mulai terkikis. Sudah cukup lama saya tak menemukan judul berita yang membicarakan TT. TT sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan saat ini banyak orang atau media yang berkicau tanpa mencantumkan tanda pagar atau hastag. Mungkin malas atau mungkin malu ocehannya menjadi judul berita.
Berbicara mengenai TT saat ini, masihkah menjadi kebanggaan? Masihkah dianggap sebagai prestasi? Tanyakanlah pada anak-anak alay. Karena bagaimana cara membuat kicauan agar menjadi TT anak alay lebih jago. Misalnya mereka nge-Tweet sesuatu dengan hastag tertentu. Dan tak lupa perintah me-Retweet (RT) dengan janji seribu orang pertama yang me-RT akan di-follow back. J Atau dengan perintah me-RT jika kamu sayang pacar, jika kamu cinta ortu, jika kamu anak boy/girl band dan sebagainya. Bahkan bisa dengan perintah RT jika ingin masuk syurga. Karena semua anak alay ingin masuk syurga, akhirnya banyak yang me-RT. Semakin banyak yang me-RT maka akan menjadi TT. Maka tak heran saat ini TT banyak dibuat oleh anak baru gede, khususnya anak alay.
Sekarang kata berbahasa Indonesia menjadi TT tentu sangat wajar. Sebab Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar nomor tiga. Pengguna Twitter dari Indonesia pun kian meningkat seiring dengan kemudahan akses internet. Terutama dengan menjamurnya ponsel cerdas. Anak muda baru gede sudah tak asing dengan media sosial. Sebagian besar ponsel mereka bahkan digunakan untuk ber-media sosial. Apalagi orang Indonesia dikenal cukup “cerewet” di jejaring sosial. Pengguna sosial media dari Indonesia termasuk yang paling sering menulis status (dan komentar), khususnya di Facebook dan Twitter. Baik ketika di sekolah, kantor, rumah makan, mal maupun di toilet. Bahkan yang lebih ironis ketika berkendara pun masih sempat “bermain-main” dengan ponsel. Selain tidak santun di jalan, mereka juga tidak menghargai keselamatan dalam berkendara.
Bagi saya TT kadang bisa membantu menemukan informasi terbaru, khususnya yang berkaitan dengan pertandingan sepak bola. Jika nama pesepak bola menjadi TT pasti ada yang unik di lapangan. Jadi tahu siapa man of the match-nya, siapa pemain yang sukses dengan banyak gol maupun dengan kegagalan pinalti yang menentukan, misalnya. Contoh ketika berlangsung Derby Manchester, Rio Ferdinand terlihat terluka dibagian wajah diakhir pertandingan. Sayang sekali siaran televisi telah usai sementara kejadiannya “tak tertangkap kamera.” Dalam hitungan menit dengan melihat TT saya jadi tahu dengan cepat kalau Ferdinand dilempar koin oleh fans Manchester City. Kemudian pada saat Edin Dzeko membobol gawang Arsenal, pemain City tersebut berselebrasi dengan memamerkan tulisan di kaos dalam. Sekali lagi sayang, penonton dirumah tak bisa melihat apa bunyi tulisan di kaosnya. Dengan menelusuri Twitter saya temukan kalau tulisan di kaos Dzeko berbahasa Bosnia ZA MOJE MAHALCE, yang kemudian diketahui berarti FOR FRIENDS FROM MY NEIGHBORHOOD.
Itulah pentingnya TT bagi saya. Tetapi kadang saya melihat ada TT yang menyebalkan. TT-nya berbahasa Indonesia. Saya telusuri berharap mendapatkan informasi yang menarik. Ternyata hanya kicauan anak-anak alay yang tidak jelas.[]