Tapi namanya manusia, tidak mungkin cukup hanya berteman dengan benda-benda mati. meskipun ada laptop dan modem yang setia menemaniku di kamar, tetap saja, keberadaan manusia amat sangat berarti. Hingga kemudian, aku mulai merasa jenuh, lama tak berkomunikasi dengan manusia membuatku bosan.
Untung aku bawa laptop dan modem. Paling gak aku bisa buka fb dan ngomentari status temen-temen. Atau paling tidak ada teman yang sedang online dan bisa chattingan. Paling tidak juga bisa buka kompas, republika, dan detik, sejenak melihat bagaimana kabar Indonesia hari ini. ‘Paling tidak’ itu membuatku bersyukur saat ini.
Seperti biasa, pagi-pagi aku sudah asyik dengan laptopku. Membuka beberapa situs favoritku, ngobrol dengan teman-teman, termasuk ngomentari beberapa tulisan. Aku heran, hampir tiap detik ada saja status baru. sampai-sampai ada beberapa orang selalu update status tiap jamnya. Asyik kubaca-baca status, tiba-tiba...
“Mbak….” Seorang bocah cilik muncul dari luar. kepalanya menyumbul dari pintu kamar.
Sayang, waktunya kurang tepat. Aku lagi asyik baca dan gak suka diganggu. Tapi aku gak tega menyambut wajah mungil itu dengan tatapan sendu. Ya… meskipun sebenarnya lagi gak mood, aku berusaha untuk tersenyum lepas.
“Fitri… sini.” ucapku sambil menjulurkan kedua tanganku merengkuh tubuh mungil itu. Kutaruh dia di pangkuanku, kukecup pipinya. Dan, tiba-tiba mengalir hawa sejuk di benakku, rasa penatku pun berkurang. Ah, ada untungnya kamu datang, fit, batinku.
Aku tolah-toleh ke sudut ruangan. mencari apa yang bisa kuberikan pada gadis cilik ini. Itu dia, masih tersisa satu buah mangga dari rumah. Kuambil mangga itu, lalu kukupas dan kuiris sepotong buat fitri. ia mengambilnya. mulut kecilnya membuka, giginya menggigit secuil, lalu meringis, “cut.” lucu sekali. Satu kebahagiann menyelip di jiwaku. terima kasih Ya Rob. Atas malaikat kecil yang sekarang bersamaku.
Sejak hari itu aku senang ajak fitri jalan-jalan, sekadar ke lapangan dan melihat pemandangan sawah. Kebahagiaan yang begitu sederhana, bisa kudapat dimanapun dan kapanpun. terima kasih Ya Rob. Dan sosok fitri adalah salah satu kebahagiaan yang patut kusyukuri.
***
Hingga suatu hari datanglah seorang perempuan. Dari penampilan dan gaya bicara elo gue-nya, jelas dia orang Jakarta. ada firasat kurang enak, tapi aku tak bisa menjelaskan. batinku cuma bilang, “mudah-mudahan aku bisa berdampingan dengannya.”
Selama ini aku sudah terbiasa bersama-sama dengan orang kecil, tidur bareng orang kecil, makanan makanan orang kecil, dan hidup sebagai orang kecil. Aku mencintai orang kecil dan bersyukur dilahirkan di lingkungan orang kecil. Aku tak biasa jadi orang besar dan berdampingan dengan orang-orang besar.
Alhamdulillah akhirnya aku bisa. beberapa hari hidup bertetangga kamar dengannya tidak membuatku kiku atau gimana. Aku pun bisa mengimbangi cara bicaranya. Ya, meskipun dia pake eloe gue dan aku pake aku samean. Yang terpenting aku nyaman. itu saja.
Yang aku takutkan adalah ketika suatu saat dia ajak aku jalan-jalan. aku takut kita gak imbang, dia terlalu tinggi sementara aku… (tak perlu kuteruskan) Alloh mudah-mudahan aku kuat.
Hingga akhirnya moment yang kutakutkan itu pun datang.
“Fit, jalan-jalan yuk. Bosen nih di kamar terus.”
“ke mana?”
“ke pasar. Aku pingin beli sesuatu ne.”
Waduh, pasar lagi. sumber kepuasan nafsu konsumtif.
***
Awalnya biasa-biasa saja. dia beli keperluannya, aku juga. Bedanya punya dia lebih bermerek dari yang kubeli, tak masalah, toh itu urusan masing-masing.
Yang bikin aku gak enak yaitu ketika di tengah pasar menuju pintu pulang, dia berhenti dulu di toko jilbab. Ngapain dia beli jilbab di pasar tradisional begini, pikirku.
“berapa pak?” tanyanya pada pemilik toko.
“25 ribu aja, Mbak.”
“Mahal banget, Pak.”
“Boleh nawar kok, Mbak.”
Harga pun disepakati 20 ribu rupiah.
“Ibu mau yang mana?” tanyanya pada ibu kos.
Oh, aku baru tahu ternyata dia beliin ibu to. Entah kenapa aku merasa kurang nyaman di toko ini. jilbab itu seolah menggeser posisiku di hati bu kos. jilbab itu membuat aku ciut saja, selama ini aku tak pernah ngasih apapun ke ibu kos kecuali uang kamar dan uang makan. “dasar pelit kau fit.” jilbab itu seolah berbicara Selesai beli jilbab, kita berhenti lagi di penjual kue basah. Banyak banget tu anak belinya. kalo gak salah ada sepuluh biji. Ada cucur, bika ambon, roti, dan apem. Ah. Lagi-lagi aku dibikin ciut. tadi jilbab, sekarang cucur dan kawan-kawan. Dibelinya kue-kue itu untuk semua orang rumah. Alangkah tak enaknya hatiku. Kue udah, keperluan pribadi sabun shampo udah, jilbab buat ibu juga udah. Mudah-mudahan gak ada lagi, bisa makin kecil saja aku dibuatnya, seperi kerikil yang siap tergeser oleh kedatangan batu besar nan kokoh. coba kerikil itu hidup, tentu akan tumbuh besar dan menggeser si batu.
Di tengah jalan menuju pintu keluar pasar, kita berhenti lagi. kali ini ke toko pernak-pernik dan mainan.
“Fit, menurut kamu enak yang mana ya, dokter atau alat masak.” tanyanya sambil memilah-milah mainan yang menggantung berjajar
Aku sudah bisa nebak, pasti beliin fitri. oh. malaikat kecilku akan dia rampas juga. tadi ibu kos. sekarang.
“Mmm, kayaknya dokter deh.” jawabku asal. meskipun sebenarnya menurut pendapatku tak penting apa jenis mainannya, anak kecil cuma tahu kalau itu mainan dan mereka senang bisa bermain. itu saja.
Entah kenapa, jalan-jalan yang biasanya mengasyikkan kini jadi terasa rikuh, membuat diriku mengecil dan hatiku menciut. Gimana gak, aku cuma beli barang-barang keperluan pribadi, sementara dia gak tanggung-tanggung, semua orang rumah dibelikannya oleh-oleh.
Sudah lama sejak kedatangannya aku tidak keluar bareng fitri. Biasanya kalau gak pagi atau sore aku dan Fitri jalan bareng. kalo gak ke lapangan, ya lihat-lihat sawah, atau pergi ke mbak Mudah beli Gerry pasta dan chokolatos. Lama tak keluar dengan Fitri seperti ada yang hilang.
“Fit.. Jalan-jalan yuk?” ucapku melihat dia muncul dari dalam rumah.
Mudah-mudahan mainan yang dibelikan temanku kemarin tidak membuat fitri berubah, lebih sibuk dengan mainannya dan melupakanku.
“Ayo.” jawab si mungil malaikatku.
Memang benar, hati anak kecil masih bersih. Mereka tidak punya dosa. Fitri menghampiriku dengan senyum yang sama, tak berkurang satu milimeter pun dari senyum yang kemarin, ketika mainan itu belum ada. Aku meraih malaikatku dengan kedua tanganku, dia menjulurkan kedua tangannya ke pundakku. Kuangkat tubuhnya. Sebagian kulitnya menyentuh hidungku, harum semerbak langsung menyergap memasuki rongga pernafasan, merambat ke syaraf-syaraf otak, lalu mengalirkan satu kebahagiaan di jiwa, satu kebahagiaan yang sulit kuterjemahkan.
Kami jalan berdua, aku jalan amat pelan untuk mengimbangi langkah malaikat kecilku. Aku sengaja gak ngajak temanku. Aku sedang ingin berdua saja. Dan tiba-tiba di tengah jalan…
“hallo mis…” seorang teman kursus bersepeda berpapasan di jalan
“hallo..” jawabku
“Udah punya anak ya mis?”
Astaga.. mentang-mentang gendong anak dikiranya aku punya anak. Dia pikir aku janda beranak satu atau istri yang ditinggal suami dan baru punya satu anak. Malu banget aku. Pasti besok bakal heboh, gossip tentang fitri anak kelas X ternyata sudah punya anak. but I just easy going.
Kami menuju ke sebuah toko kelontong. Aku ingin memberikan sedikit kebahagiaan buat malaikat kecilku.
“fitri mau apa?” Kuturunkan dia dari gendonganku Mata fitri menerawang ke jajaran snack dari ujung kiri hingga ujung kanan. entah ada apa saja di sana. yang jelas aku melihat ada Gerry pasta dan Gerry chokolatos. selebihnya gak tahu. Fitri tampak bingung. sebelum dia ambil yang harganya mahal, cepat-cepat kuambil dua bungkus gerry pasta dan gerry cokolatos mamamia lezatos.
“ini buat fitri.” kedua tangan fitri meraih dua makanan kecil itu. Aku senang, bisa memberikan kebahagiaan pada malaikat kecilku, meski hanya dengan dua buah snack senilai lima ratus rupiah.
Sesampai di kos, kami berdua langsung duduk di depan TV. Kuletakkan gerry pasta dan cokolatos itu di atas lantai “Wa…. Beli coklat ya? Aku gak dibeliin ne...” sapa temanku, si anak jakarta.
Emang kamu mau makanan murah? Yang harganya Cuma lima ratus ruliah. Batinku.
“Mau? ni ambil.” setengah basa basi setengah serius.
“Aku gak suka coklat. Tapi kalau silver queen aku suka.” katanya.
Maksud loe?
“Mainan yang kemarin mbak beliin mana, fit?” ucapnya pada fitri. Aku merasa tergeser. Mainan itu menggeser dua buah gerry pasta dan cokolatos yang baru saja kubeli. Aku sadar, uang seribu rupiah gak sebanding dengan mainan seharga dua puluh lima ribu itu. Wajah Fitri yang polos cuma kedip-kedip. dia mendongak bentar lalu nunduk lagi. dia sibuk memencet-mencet Gerry pasta dengan jempol dan jari telunjuk. Aku tersenyum. Malaikat kecilku, terima kasih, kau tidak melihat harga pada gerry pasta, tapi nilai cinta yang tak bisa diukur dengan angka.