Setahu saya, ustad yang sesungguhnya adalah ustad yang pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan, wabil khusus bidang agama. Sama halnya dengan gelar guru. Karena kata ustad berasal dari bahasa Arab, yang bila diindonesiakan berarti guru.
Setahu saya, ustad itu manusia bijaks yang mengabdi pada kemanusiaan. Mendidik generasi yang cerdas. Mengajari mereka mengaji dan mengkaji banyak buku. Semua orientasinya dicurahkan demi kemaslahatan dan perbaikan umat. Terdepan dalam mengemban amanat dan menyampaikan kebenaran. Cita-citanya demikian luhur. Bukan sekadar "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi melampaui itu. Ketulusannya benar-benar tampak. Seperti yang pernah diucapkan oleh guru saya di depan kelas, yang benar-benar bergelar ustad, "Bapak bangga bila nanti kalian lebih pintar dari bapak. Kalau kalian ada yang jadi dokter, muballigh, konglomerat, pedagang sukses, atau pun presiden. Itu semua adalah buah dari kerja keras kalian dalam menggapai cita-cita. Bukan karena bapak. Bukan karena orang lain. Yang memberi makna hidup kalian adalah diri kalian sendiri. Bapak hanya menyampaikan apa yang telah bapak pelajari lebih dulu."
Demikian luhurnya peran seorang ustad. Sedangkan saya, seorang ayah yang harus mencari nafkah demi kebutuhan keluarga. Jauh dari sekumpulan orang-orang yang sedang belajar. Jauh dari jamaah atau komunitas formal untuk mengaji dan mengkaji kitab. Selama delapan jam waktu saya banyak tersita di pabrik. Sejak Senin sampai Jumat, dari subuh hingga petang. Bahkan, saat Libur Sabtu atau Minggu, saya meluangkan waktu untuk bermain bola atau ikut futsal. Dalam benak saya timbul pertanyaan. Adakah seorang ustad yang waktunya tersita dengan mesin-mesin di pabrik? Kesibukan membuat laporan buat atasan? Adakah seorang ustad yang asyik bermain bola tiap Sabtu Minggu? Lantas, mengapa mereka memanggil saya dengan gelar ustad? Ini sebuah tanda tanya besar buat saya.
Saya malu. Malu dengan embel-embel gelar ustad itu. Entah, sampai kapan ini akan berakhir? Wallahu a'lam. Namun, kalau hobi saya itu tidak mengahalangi saya untuk menjadi ustad yang sesungguhnya, semoga saja Allah ridho. Semoga saja Allah membimbing saya untuk benar-benar menjadi ustad bagi diri, keluarga, dan sesama. Munajat ini pernah saya dengar dari seorang guru ngaji.
Terakhir, ucapan seorang rekan mungkin bisa jadi argumen mengapa saya dipanggil ustad. "Anda bisa mengaji, lalu Anda mengajarkannya kepada siapa saja yang mau tanpa pandang usia. Anda juga bisa azan, memimpin doa, bahkan menjadi imam. Bukankah semua itu yang membuat teman-teman dan para tetangga memberi "stempel" pada Anda dengan gelar ustad."
Wallahu a'lam. Kalau hanya kriteria-kriteria itu saja yang jadi patokan, sekarang mungkin sudah banyak yang memenuhi semua kriteria itu. Yang dikhawatirkan, apakah semua kriteria itu bisa menjamin bahwa moralnya juga turut mendukung. Itu yang berat. Sekali lagi, menjaga kriteria terakhir ini yang sungguh amat sulit. Saya belum rela melepas tanda petik itu. Dengan motivasi ini pula saya ("ustad") pun menulis.