Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Indonesia (bisa) Berbenah dari Perlintasan Kereta

3 Januari 2014   15:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 67 3

Peristiwanya belum lama terjadi, seingat saya pada awal 2013 yang lalu. Saat itu ada aba-aba dari petugas pintu perlintasan KRL agar mobil saya maju melintas menyeberangi rel KRL. Saya pun menjalankan mobil saya perlahan, namun ketika moncong mobil baru melewati garis rel kurang lebih setengah meter, petugas memberi aba-aba agar mobil jangan maju.

Saya bingung bercampur gugup. Segera saya ubah posisi persneleng mobil untuk mundur. Yang terjadi malah mesin mobil mati. Saya semakin gugup. Satu di antara petugas pintu perlintasan segera berkata agar gigi persneleng dinetralkan dan kemudian mobil didorongnya mundur.

Lega, bersyukur, dan sedikit gemetar. Kami sekeluarga selamat.

Itulah kisah paling mengerikan yang saya alami berhubungan dengan pintu perlintasan KRL. Sejak peristiwa itu saya trauma melewati  pintu perlintasan KRL terutama pintu perlintasan tempat kejadian, yaitu pintu perlintasan Jalan Kedondong, Depok. Untunglah saya berusaha tidak larut dalam trauma itu. Beberapa waktu setelahnya saya melintas kembali di TKP dengan ‘cukup aman dan nyaman’ namun lebih hati-hati.

Melintasi pintu-pintu perlintasan tanpa portal resmi seperti itu menjadi pilihan sebagian masyarakat di Jabodetabek. Biasanya sebagai solusi menghindari kemacetan parah di jalan-jalan utama.

Meskipun berbeda, pintu perlintasan yang saya lalui dalam peristiwa di atas memiliki persamaan dengan pintu perlintasan KRL Bintaro, yang beberapa waktu lalu, di akhir tahun 2013 menelan 5 korban jiwa, KRL menyeruduk Mobil Tangki, dan Tangki pun meledak, begitulah ringkas kisahnya.

Perbedaannya, pintu perlintasan yang saya lewati adalah pintu perlintasan ‘kecil’ tanpa portal dan petugas resmi, sedangkan pintu perlintasan ‘Maut’ Bintaro adalah pintu perlintasan besar, dipasang portal pengaman, dan dijaga petugas resmi.

Persamaannya, keduanya adalah pintu perlintasan KRL alias titik bertemunya lalu-lintas KRL dengan lalu-lintas pengguna jalan bukan KRL. Titik pertemuan seperti itu adalah titik berbahaya, terutama bagi pengguna jalan bukan KRL. Area seperti Itu adalah ruang public yang harus diamankan dari risiko insiden maut.

Hanya ada satu cara yang menjadi solusi terbaik dari risiko itu, yaitu membuat lintasan KRL (dan juga kereta api pada umumnya) tidak sebidang dengan jalur pengguna jalan lainnya. Bisa dengan cara dibangun jalur rel berupa fly over, bisa juga dengan rel bawah tanah. Sepertinya Indonesia baru bisa mewujudkannya beberapa belas atau puluh tahun yang akan datang, itupun jika direncanakan dengan serius dari sekarang.

Untuk saat ini, masyarakat Indonesia masih harus bersabar ‘menikmati laju kereta di hadapannya’, sambil berhati-hati, tengok kanan-kiri, serta mendahulukan KRL melintas. Itulah satu-satunya tindakan paling aman dan bijak.

PELAJARAN DARI PERLINTASAN KERETA

Setidaknya ada 3 (tiga) pelajaran yang bisa dipetik dari pintu perlintasan KRL yang sebidang dengan jalur pengguna jalan lain saat ini:

1.Petugas Pintu Perlintasan adalah Penyelamat Jiwa

Bisa jadi peran sebagai “Penyelamat Jiwa” tidak sepenuhnya disandang oleh mereka, namun patut dihargai bahwa kehadiran mereka menjaga pintu perlintasan KRL memiliki peran itu: “Menyelamatkan Jiwa Pelintas”. Sebagian alasannya adalah karena calon pelintas rel diberi aba-aba bahwa akan ada KRL melintas atau tidak.Jika ada KRL yang akan melintas, maka semua orang harus menunggu sejenak sampai gerbong ke-8 (terakhir) melintas, dan jika tak ada KRL yang akan melintas, kendaraan bisa langsung jalan. Semua itu diinformasikan oleh Bapak atau Abang Penjaga Perlintasan.

Jika pandangan di sekitar pintu perlintasan cukup luas, calon pelintas bisa melihat akan ada KRL lewat, namun di banyak pintu perlintasan, pandangan calon pelintas terhalang oleh banyak benda, sehingga hanya petugas penjaga saja yang leluasa melihat akan datangnya KRL, dan informasi dari mereka sangat berharga bagi calon pelintas.

Terhadap peristiwa yang saya alami di atas, mungkin ada orang yang akan menyalahkan petugas perlintasan yang memberi aba-aba membingungkan, namun Alhamdulillah, kami sekeluarga lebih mengingat jasa baik petugas perlintasan yang dengan sigap mendorong mobil saya mundur, sehingga semua selamat.

Terlepas dari luas atau sempitnya ruang pandang di pintu perlintasan, yang jelas ‘jasa baik’ petugas pintu perlintasan mengatur lalu-lintas di sana sangat membantu calon pelintas, dan terbukti kecelakaan yang terjadi sangat bisa diminimalisir. Banyak kecelakaan terjadi di perlintasan kereta adalah karena tidak ada petugas penjaga, volume lalu-lintas kendaraan terlalu besar, atau pelintas tidak mengindahkan rambu dan aba-aba petugas. Maka apresiasi patut diberikan kepada para petugas penjaga pintu perlintasan bahwa mereka adalah “Penyelamat Jiwa” banyak orang.

2.Menjaga Pintu Perlintasan Kereta untuk Mencari Nafkah?

Pertanyaan lugasnya adalah: Berapa penghasilan dari “Jasa Mengatur Lalu-lintas Kendaraan di Pintu Perlintasan?”

Jika boleh jujur, terutama bagi saya pribadi yang pernah mengalami peristiwa seperti di atas, rasanya tak sampai hati melontarkan pernyataan itu. Namun sekali-dua kali saya temui sebagian orang yang mengemukakannya.

Menanyakan berapa penghasilan mereka, sama artinya dengan menuduh bahwa mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan mengais rupiah dari situasi berbahaya. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, mereka melakukan itu tanpa dibayar mahal.

Apa yang mereka lakukan menjaga pintu perlintasan, sebagian adalah hasil inisiatif pribadi atau beberapa orang, sebagian lainnya sepertinya atas ‘penugasan’ dari pihak Operator KRL.

Pada prakteknya, setiap ada kendaraan yang melintas, petugas penjaga (sebagian, tidak semuanya) memang memberi kesempatan bagi pengendara untuk memberikan ‘uang terima kasih’. Ini terjadi di pintu perlintasan tak resmi. Sebagian pintu perlintasan tak resmi itu bahkan ‘sedikit memaksa dengan halus’. Namun jika tidak diberi pun tidak apa-apa, hanya rasa tidak enak saja. Nilainya pun tidak besar, sekedar sekeping “gopek” alias Rp500,- sudah cukup menjadi bukti bahwa pelintas tahu berterimakasih dan dermawan, setidaknya begitulah sebagian orang memaknainya.

Barangkali dari ‘uang terima kasih’ itulah sebagian orang menganggap para petugas penjaga perlintasan kereta mendapatkan penghasilan besar. Kalkulasinya, kalau sehari ada 1000 kendaraan (mobil dan motor) melintas, dan masing-masing memberikan Rp500,-, maka akan terkumpul angka Rp500.000,- sehari. Jika disebulankan akan menjadi Rp15.000.000,-, tentu bukan penghasilan bulanan yang kecil. Namun benarkah sebesar itu? Rasanya tidak.

Boleh jadi jumlah kendaraan bermotor yang melintas mencapai ratusan atau ribuan, namun tidak semuanya berbaik hati mengulurkan “gopek”-annya. Paling banyak hanya 30% yang ‘berderma’. Artinya uang terkumpul hanya kurang lebih Rp150.000,- sehari.

Uang sejumlah itu bukan untuk satu orang, tapi untuk banyak orang. Saya perkirakan dalam satu hari tidak kurang dari 5 orang bergantian atau bersama-sama menjaga perlintasan. Asumsi ini disandarkan pada fakta bahwa ketika saya 3 kali melintas di perlintasan Jalan Pipa Gas, Pondok Cina, Depok, dalam rentang waktu beberapa jam, saya menemukan 3 orang penjaga perlintasan yang berbeda.

So,… dengan asumsi sederhana di atas, per orang hanya kebagian Rp30.000,- per hari. Itupun nominal maksimal dan sangat mungkin kurang dari itu. Nilai uang yang tidak begitu besar, bukan?

Walhasil,… rasanya tidak begitu tepat anggapan bahwa menjaga pintu perlintasan adalah aktifitas mencari nafkah. Sepertinya kalau disebut mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan lainnya akan lebih cocok.

Kesimpulannya, ‘demi’ menyelamatkan nyawa banyak orang, mendapatkan ‘uang terima kasih’ sekecil itu, adalah hal yang tidak berlebihan, sehingga sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para petugas penjaga perlintasan kereta, yaitu perlintasan yang tidak resmi, kecil, dan memang berisiko besar bagi pelintas, adalah lebih condong sisi peran sosial dan memberi bantuannya, dibandingkan sisi ekonomi. Layak diberikan apresiasi yang patut bagi mereka.

3.Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hampir semua orang Indonesia sependapat akan peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam hal pengamanan perlintasan kereta. Transportasi adalah satu dari banyak kepentingan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. Bukan berarti Pemerintah harus membangun sarana transportasi dengan dana APBN, tetapi ada banyak sumber dana yang bisa digunakan. Kerjasama dengan swasta adalah pilihan bagus untuk itu.

Selain sarana transportasi, tanggung jawab lain adalah melindungi semua orang yang berkemungkinan mendekati jalur transportasi, utamanya rel kereta. Maka pilihan untuk membuat jalur rel kereta tidak sebidang dengan jalur transportasi lain adalah solusi yang sangat bertanggung jawab.

Tidak heran jika di China, konon, jalur kereta cepat sejauh 1500km (seribu lima ratus kilometer) sepenuhnya dibangun berupa fly over. Di Eropa, jalur kereta dibangun di bawah tanah, bahkan di bawah laut. Seperti itulah sebagian cara melindungi jiwa warga Negara. Jika pun karena banyak alasan logis terpaksa dibangun jalur kereta yang sebidang dengan jalur kendaraan non kereta, maka sedapat mungkin menjauhi pertemuan lintasan dan kawasan hunian.

Saat ini Pemerintah RI memang belum cukup kemampuan untuk menciptakan transportasi yang seaman dan senyaman seperti di China atau Eropa, bahkan konon Malaysia sekalipun. Namun demikian ada satu hal yang sangat disayangkan, yaitu perencanaan untuk itu pun belum dirumuskan.

KE- PEMERINTAH-AN PERLU DIBENAHI

Setiap satu pemerintahan terpilih atau terbentuk, pada umumnya hanya membuat perencanaan untuk 5 (lima) tahun ke depan selama masa jabatannya. Setelah itu mereka merasa belum tentu masih dipercaya melanjutkan tugas yang sama. Mungkin orang lain yang akan meneruskannya. Jika demikian, maka urusan setelah lima tahun adalah urusan orang lain. Kurang lebih begitulah cara berfikir banyak pelaku tugas dan peran kepemerintahan.

Dalam konteks ini, pemerintah dimaksudkan adalah Presiden, DPR, DPD, Kementerian, Gubernur, Bupati/Walikota, dan seluruh jajaran pemegang kendali kepemerintahan RI lainnya.

Jika perencanaan pembangunan Negara dikelola dengan cara seperti itu, maka kemajuan Negara ini sesungguhnya sengaja tidak dipacu dengan sungguh-sungguh, dan hanya menggantungkan proses kemajuan natural, seperti mengikuti kemana air mengalir. Lambat dan menyebalkan. Padahal ini Negara besar, baik dari segi luas wilayah, jumlah penduduk, permasalahan, maupun sumberdayanya, Indonesia adalah Negara Besar.

Sudah waktunya negeri yang kekayaannya membuat iri semua bangsa di dunia ini mengakselerasi diri merencanakan kemajuannya dengan menomorduakan kepentingan politik golongan. Energy besar yang melahirkan bangsa dan Negara ini adalah teposeliro (toleransi) dan gotong royong melawan musuh bersama bernama penjajah. Sayang, setelah musuh takhluk, tepo seliro dan gotong royong kehilangan medianya dan berubah menjadi sikap adigang-adigung-adiguno (merasa paling benar dan paling bisa) dan kemudian perlahan-lahan berubah menjadi sikap aji mumpung.

Setiap golongan (utamanya golongan politik) merasa paling bisa memajukan Indonesia, tapi kemudian berputus asa bahwa ternyata perasaan paling hebat itu hanya mimpi. Sementara perseteruan generasi ke generasi dalam wilayah politik sudah terwariskan sedemikian rupa. Muncullah sikap keliru berikutnya, aji mumpung, yaitu mumpung saya berkuasa, saya harus menimbun logistic banyak-banyak untuk anak cucu dan teman saya dan untuk pertarungan nanti jika kekuasaan itu direbut oleh orang lain. Begitu seterusnya perseteruan itu berlanjut tanpa ujung.

Sekaranglah saatnya menata diri. Indonesia milik kita ini ada di tangan kita. Warga Negara terdidik semakin banyak. Orang Indonesia yang memiliki cara berfikir terbuka, lurus, serta bervisi kemanusiaan dan kebersamaan semakin mendominasi, setidaknya jika dikoordinasi bisa mendominasi opini public. Perkembangan-perkembangan hebat seperti inilah yang memberi harapan besar bahwa Negeri Kepulauan dan Negeri Seribu Suku Bahasa ini akan bangkit.

Kredo Nasional seperti “Bhinneka Tunggal Ika”, “Rawe-rawe Rantas Malang-Malang Putung”, “Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati Meninggalkan Nama”, atau gaung Sumpah Palapa oleh Gadjah Mada bahwa “Saya tak akan memakan buah palapa sebelum mempersatukan Nusantara”, perlu dimakna-ulang ke dalam konteks kekinian di Era Membangun Negeri saat ini. Sungguh, banyak pendiri negeri ini yang mahir merangkai kata mutiara atau semboyan mengagumkan, namun terkadang lupa bahwa sebagai entitas yang satu, kata-kata agung dan dalam makna itu belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata oleh anak-anak negeri cucu-cicit para pujangga itu. Ini bukan kutukan, namun sepertinya salah asuhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun