Biasa dan tak ada yang istimewa. Mungkin itu kesan pertama yang saya rasakan saat menjalani lebaran Idul Fitri di Kota Tarim, Yaman. Berlebaran di negeri ini benar-benar membuat para mahasiswa yang studi di sini menjadi rindu nuansa lebaran di tanah air. Hal itu yang juga saya rasakan. Saat matahari akhir Ramadhan terbenam –yang merupakan pertanda masuknya 1 Syawal-, saya benar-benar merasa ’kesepian’. Suasana jalan raya tampak lengang. Tak ada ’kehebohan’ yang berarti. Tak ada suara tetabuhan, apalagi konvoi takbir di jalanan. Kami yang sudah terbiasa dengan tradisi ’takbir keliling’, merasa benar-benar kehilangan sesuatu. ”Bagaimana rasanya malam lebaran di sini?” tanya salah seorang warga Yaman, penjaga wartel yang saat malam lebaran ramai oleh mahasiswa Indonesia, kepada saya. Spontan saya jawab singkat, ”Biasa saja!”. Dan dia pun langsung melempar senyum. Di Yaman memang tak ada tradisi ’takbir keliling’ sebagaimana di Indonesia. Suara ‘takbir kemenangan’ hanya dikumandangkan di masjid-masjid hingga menjelang subuh. Suasana yang paling ramai, mungkin ketika menjelang pelaksanaan salat ʻîd, di mana takbir disalurkan ke pengeras suara sebagai penanda lokasi salat. Beberapa tahun lalu, sebagaimana diceritakan rekan mahasiswa senior, beberapa mahasiswa Indonesia di Tarim pernah mencoba membuat ’sensasi’ dengan mengadakan takbir keliling. Mungkin mereka berkeinginan untuk memperkenalkan budaya pemuda Indonesia dalam menyambut Idul Fitri. Namun tak lama kemudian, para mahasiswa ditegur oleh warga sekitar. Selain tidak sesuai dengan tradisi setempat, mereka juga dianggap membuat gaduh. Sejak saat itulah, hingga saat ini, tak ada lagi yang berani mencoba-coba hal seperti itu, dan memilih merayakan malam takbiran seadanya sesuai tradisi setempat. Karena alasan itulah, mungkin beberapa kawan di flat mahasiswa, mencoba mengobati rasa kangennya hanya dengan menyetel mp3 takbiran versi Ustadz Muammar ZA. atau Ustadz Jefri al-Bukhori. Keesokan harinya, jam setengah enam pagi, warga Yaman berduyun-duyun mendatangi lokasi salat ʻîd. Sejak seusai salat subuh, langit Yaman sudah ramai oleh gema takbir, tahlil, dan tahmid. Selepas pelaksanaan salat, mahasiswa Indonesia membuat berbagai macam aktivitas untuk mengisi hari istimewa itu. Biasanya, mereka berkumpul untuk masak bareng dengan dana iuran. Ada yang melaksanakannya bersama kawan-kawan satu flat, kawan sekelas, atau organisasi kedaerahan. Saya yang sekamar dengan kawan-kawan mahasiswa dari Jember dan Madura juga ikut meramaikan suasana ʻîd pagi itu. Kami mengisinya dengan agenda masak bareng. Rasa rindu akan tanah air sedikit terobati dengan menu ayam bakar yang disirami bumbu pecel racikan salah satu kawan saya, si jago masak asal Madura. Rasa bumbu pecel yang khas itu seakan melunasi segala kerinduan saya kepada masakan favorit saat di ma’had dulu. Kami pun benar-benar bernostalgia, menikmati hidangan spesial di pagi itu hingga berkeringat; pedass... Jauh dari keluarga, sanak kerabat, serta para handaitolan, benar-benar membuat suasana kekeluargaan antar mahasiswa jauh lebih terasa. Dan seperti biasa, syâhi ahmar (teh merah) khas Yaman yang disajikan dengan cangkir kecil berdiameter 3 cm., turut menemani kebersamaan di keceriaan pagi itu. Lantas, apakah hal itu yang menjadi paling berkesan saat berlebaran di sini? Tentu bukan. Bagi saya, yang paling berkesan dan tak terlupakan adalah suasana Kota Tarim sejak hari kedua bulan Syawal. Selama enam hari berturut–turut, hingga tanggal tujuh syawal, warga Tarim melaksanakan puasa Syawal; ibadah sunah yang mendapat legitimasi dari hadis Rasulullah, yang jika di Indonesia mungkin hanya dilaksanakan oleh sebagian warga Muslim saja. Uniknya, di Tarim, ritual tersebut seakan telah menjadi kewajiban. Seluruh warga Tarim malaksanakannya. Bahkan bukan hanya itu, suasana di siang hari selama enam hari tersebut sama persis dengan suasana pada bulan Ramadhan. Tak ada warung makanan yang buka. Jalanan tampak lengang. Praktis, selepas hari raya sehari, kami merasakan seperti kembali ke bulan Ramadhan. Sahur bareng, buka bareng, dan lain sebaginya. Bedanya, tidak ada ritual salat tarawih di malam harinya. Baru setelah itu, tepatnya pada tanggal 8 Syawal, kegiatan ’unjung-unjung’ dimulai dengan bersilaturahmi kepada para ulama serta habaib. Beberapa masyâyikh menggelar kegiatan open house di kediaman masing-masing yang jadwalnya telah disebarkan sebelumnya kepada masyarakat. Tradisi ini dikenal dengan istilah ’wad-wadan’. Di hari-hari setelah itu pula, banyak yang akan mengisi waktu dengan berkunjung ke tempat wisata, seperti kolam renang atau ke tempat-tempat eksotik lainnya. Dengan demikian, hingga detik ini, kami masih belum merasakan ’lebaran’ yang sesungguhnya. Karena, lebaran yang sesungguhnya –yang benar-benar lebar (Jawa) / lepas– baru akan kami nikmati minggu depan, tanggal 8 Syawal. (Bersambung)
KEMBALI KE ARTIKEL