Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Inilah Tarim; Ibu Kota Kebudayaan Islam 2010

25 Februari 2014   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29 273 2
Ibu Kota Spiritual

Sederhana, mungkin itulah ungkapan yang pas mendekripsikan bagaimana Tarim. Anda jangan pernah membayangkan Tarim sebagai sebuah kota metropolitan yang jalanannya macet, lalu lintasnya ramai dengan klakson kendaraan, gedung pencakar langit di sana-sini, serta jenis kemewahan lainnya. Tarim tidak seperti Kairo, Dhoha, atau Sana’a.

Di kota asal muasal kakek moyang Wali Songo ini, pemukiman penduduk masih didominasi oleh  rumah-rumah yang terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Banyak rumah yang jika dilihat dari luar, konstruksi bangunannya nyaris seperti tembok lapuh yang hampir roboh. Aromanya begitu klasik. Dari data yang saya telusuri, diantara rumah tanah itu ada yang kini usianya telah mencapai tiga abad.

(Tentang bagaimana seluk beluk rumah tanah ini, akan saya khususkan di catatan tersendiri. Insya Allah).

“Di Tarim, saya selalu mengingat akhirat,” ungkap Michels, santri muallaf asal Argentina saat sambutan perpisahan Daurah Ramadhan di Ma’had Darul Mushtafa tahun lalu, dengan mata berkaca-kaca.

Ya. Tarim memang oase hati bagi para penempuh lorong tazkiyah ; pensucian jiwa. Masyarakat Tarim ditempa dengan tradisi keberagamaan yang begitu kuat. Di sini, tapakan-tapakan konsep sufistik seperti nilai zuhud (asketisme), ikhlas, mahabbah (cinta), dan nilai-nilai tasawuf yang lain tak hanya menggelinding sebagai sebuah teori. Namun juga menjelma dalam perilaku keseharian masyarakatnya. Karya – karya Imam al-Haddad semisal ; Risalah MuawanahNashoih Diniyahad-Dakwah at-Tammah , dll seakan menjadi karya yang hidup. Mungkin itulah sebabnya, Direktorat Nasional Pariwisata Yaman, menjuluki Tarim sebagai ‘Ashimah Ruhiyyah ; Ibu Kota Spiritual.





Ibu Kota Kebudayaan Islam

Jatuhnya pilihan ISISCO menjadikan Tarim sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam (Capital of Islamic Culture) pada tahun 2010 tentu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, status yang sama diberikan kepada Makkah (2005), Halb – Syiria (2006), Fas - Maroko (2007), Alexandria - Mesir (2008), dan Kairouan – Tunisia (2009). Terpilihnya Tarim melalui hasil keputusan Muktamar ke – 4 yang dihelat di Al-Jazair pada tahun 2004.

Mengapa Tarim bisa menempati posisi yang elegan ini ?

Jawabannya mudah. Tarim adalah gudang ilmu. Berabad – abad, kajian-kajian keislaman hidup lestari. Sejak Sahabat Nabi Labid bin Ziyad menancapkan bendera Islam di bumi Hadramaut, Tarim menjadi kota yang berperan besar bagi tumbuh kembang dan penyebaran Islam. Salah satu bukti kongkrit, bisa dilihat dari jumlah masjid yang berdiri di kota berpenduduk sekitar 100 ribu orang ini.

Abdul Hakim al-‘Amiry menyebut, total masjid di Tarim mencapai angka 360 masjid. (Akibatnya, suara adzan terdengar bersahut-sahutan karena masjid yang berdekatan). Masjid yang tertua adalah Masjid Wa’el (berdiri tahun 43 H) yang didirikan oleh Tabiin, Ahmad bin Abbad bin Bisyir.

Ahmad Abdullah bin Syihab dalam bukunya Tarim baina al-Madhi wal Hadhir menyebutkan, aktivitas keilmuan di Tarim di awal perkembangannya berporos pada zawiyah – zawiyah yang diasuh Ulama-Habaib. Di tempat tersebut, para masyayikh membacakan kitab keislaman kepada masyarakat. Diantara sekian banyak zawiyah yang masih eksis dan konsisten hingga kini, adalah zawiyah Masjid Syekh Ali bin Abi Bakr as-Sakron.

Menara ilmu semakin bersinar dengan munculnya sejumlah ribath (pesantren) serta madrasah. Salah satunya adalah Ribath Tarim yang resmi berdiri tahun 1304 H. Hingga kini, Ribath Tarim masih mempertahankan sistem klasikal berupa halaqah-halaqah. Ribath Tarim – yang saat ini diasuh oleh al’Allamah Habib Salim as-Syathiri - adalah salah satu basis kajian Madzhab Syafii di Yaman.  Pengajian kitab-kitab Syafiiyah mulai dari dasar sepertiSafinatun Najah, Yaqut an-Nafis, tingkat menengah seperti Fathul Muin, Minhaj Thalibin, hingga tingkat senior seperti Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar diselenggarakan secara gradual dan sistematis.

Halaqah-halaqah ilmu yang membahas berbagai cabang ilmu ; fikih, nahwu, hadis, tafsir, dll itu tak hanya diikuti santri yang mukim di Ribath. Namun juga disemarakkan oleh warga Tarim. Kawan-kawan mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff sendiri, banyak yang terdaftar sebagai peserta halaqah tetap. Mereka itu tentu saja para mahasiswa yang punya semangat ekstra. Ada pula pengajian umum yang digelar mingguan,yang di kenal dengan istilah Rauhah(setiap Jumat malam sabtu), dan Madras (setiap Sabtu dan Rabu pagi). Baik Rauhahmaupun Madras, sama-sama diasuh oleh Habib Salim as-Syathiri.

Sebagai pusat penggemblengan para dai, ada ma’had Darul Musthafa yang saat ini diasuh Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar adalah dai Internasional yang dikenal terus berusaha membina ukhuwah umat. Beliau adalah tokoh Islam yang sejak lama memproklamirkan wajah Islam yang moderat, toleran, dan tawassuth. Darul Mushtafa sendiri, sebagaimana di beritakan New York Times (2009), adalah lembaga pendidikan multikultural. Banyak pelajar yang berasal dari Asia hingga Eropa. Bersama Darul Mushtafa, ada Daruz Zahra untuk pelajar putri.

Dinamika kajian keislaman di Tarim semakin komplit dengan berdirinya Fakultas Syariah wal Qanun Universitas Al-Ahgaff tahun 1995. Universitas yang berpusat di kota Mukalla ini, sengaja meletakkan fakultas syariahnya di Tarim. Ahgaff merupakan representasi dari corak lembaga pendidikan yang ingin melahirkan insan akademis, namun tak terlepas dari tradisi ‘kitab kuning’. Di awal berdirinya, Ahgaff memulai jam pertama perkuliahan selepas shalat shubuh (05.30). Diktat muqorror yang dijadikan mata kuliah adalah gabungan kitab-kitab salaf dengan buku kontemporer. Saat ini, ada sekitar 500 pelajar Indonesia yang studi di sini.

Selain bertaburnya lembaga-lembaga pendidikan dan tahfidz Al-Qur’an yang telah berlangsung berabad-abad, juga ada perpustakaan manuskrip yang menyimpan karya otentik salafuna shalih. Diantanya adalah Ahgaff Library for Manuscrip yang terletak di jantung kota Tarim, di lantai atas Masjid Jami’ Tarim.

Jika anda ke Tarim, anda akan merasakan nuansa yang tak jauh berbeda dengan tanah air. Pakaian keseharian warga Tarim adalah sarung, kopyah, dan baju takwa. Sopan santun ‘khas santri’ masyarakatnya akan selalu mengingatkan saya pada Pulau Jawa, tempat saya belajar. Oh iya, ada sedikit perbedaan ; warga Tarim hidungnya mancung ke depan, kalau warga Indonesia mancungnya ke belakang, he he he. Mungkin ini dulu, yang bisa saya ceritakan tentang Tarim. Sampai jumpa lagi di Serambi Tarim berikutnya.

Welcome Trans TV

Di tengah – tengah menulis Serambi Tarim ini, ada pesan masuk via WhatsApp. Saya lihat, rupanya dari Abdul Muhith, koordinator departemen informasi dan komunikasi PPI Hadramaut. Ada apa sih, ganggu orang nulis aja ? gumamku dalam hati. Kebetulan, saya anggota departemen Infokom PPI.

“Mas Tomy Ristanto, reporter acara Musafir Trans TV akan meliput ke sini dalam waktu dekat,” ujarnya melalui pesan.

“Meliput terkait apa ?,” balasku singkat.

“Tarim sebagai kota santri dan pusat penyebaran Islam ke nusantara,” jawab Muhith menerangkan tema yang akan diliput. Muhith menambahkan, saat ini Tim Trans TV sudah berada di Kota Sana’a, meliput beberapa objek di sana, sebelum terbang ke Hadhramaut.

Saya senang sekali mendengarnya. Kepada tim Trans TV, khususnya Mas Tomy (jika kebetulan membaca catatan ini), saya ucapkan : “Ahlan wa Sahlan fi Madinat Tarim”. Selamat datang di Tarim. Inilah Tarim, kota santri dan negeri para para wali. Inilah Tarim ; Ibu Kota Kebudayaan Islam !

Senin, 27 Januari 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun