Mehrin terkesima. Di podium, Denniz berpidato dengan suara menggelegar. Ia begitu karismatik. Teduh matanya. Kulum senyumnya. Air mukanya. Alun suaranya. Ia seorang pembicara tulen yang sukar ditemukan aib celanya. Seolah-olah kata demi kata yang mengalir dari bibir Denniz adalah teks sebuah artikel berisi tanpa salah tik satu huruf pun.