Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

KTP

22 September 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43 1157 0
Kamis, 22 September 2011, siang, saya bersama wartawan Seputar Indonesia dan Warta Kota mewawancarai seorang pimpinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi. Dalam wawancara, sesekali muncul diskusi yang menarik dan hangat. Sejujurnya, pemicu diskusi adalah kegelisahan saya.

Sejak 1 Februari 2011, saya tidak lagi bertugas di Kota Samarinda sebagai perwakilan Kompas di Kalimantan Timur (Desk Nusantara). Saya bertugas di Kota Bekasi sebagai perwakilan Kompas di Bekasi Raya.

Kegelisahan saya ialah, saya termasuk satu dari kabarnya lebih dari 100.000 jiwa pendatang yang setiap tahun membanjiri Kota Bekasi untuk bekerja di kota patriot ini atau di Jakarta atau di kota dan kabupaten di sekitar Jakarta. Saya tidak atau belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi atau pemerintah pusat di Kota Bekasi. KTP saya dikeluarkan di Kota Surabaya, Jawa Timur, tempat penugasan pertama sejak diterima di Harian Kompas pada Oktober 2003.

Saya bertanya, apakah jika saya tidak mengurus perpindahan KTP ke Kota Bekasi, saya bisa terkena sanksi? Pimpinan Dispendukcapil Kota Bekasi mengiyakan sehingga membuat saya semakin penasaran. Ia malah bertanya kenapa saya enggan mengurus KTP di Kota Bekasi?

Saya mengatakan, saya menikah dengan perempuan dari Surabaya. KTP awal saya sudah diubah dari Kota Bogor, Jawa Barat, tempat saya lahir dan dibesarkan oleh orangtua menjadi KTP Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tempat tinggal istri dan keluarga hingga kini. Namun, karena kami membeli rumah di Kota Surabaya, akhirnya saya dan istri memindahkan KTP menjadi keluaran Kota Surabaya. Kami dikaruniai seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan.

Ketika saya bertugas di Samarinda, saya tidak mengurus perpindahan KTP menjadi keluaran Samarinda. Saya juga enggan membuat KTP Samarinda sebab dipastikan saya tidak akan selamanya di kota tepian. Selama bertugas sejak Februari 2006-Februari 2011, keluarga saya tinggal di Sidoarjo. Selama bertugas di Samarinda, saya tidak memiliki investasi yang harus dibeli dengan KTP keluaran setempat misalnya tanah, rumah, dan kendaraan.

Persoalan serupa juga akan saya alami di Bekasi. Ternyata tanpa KTP Kota Bekasi, saya kesulitan misalnya untuk membeli sepeda motor baru, rumah, atau tanah. Memang, dealer, agen, atau pengembang menawarkan menguruskan pembuatan KTP baru tetapi tentu saja akan membuat saya memiliki KTP lebih dari satu. KTP terbaru biasanya dan hampir bisa dipastikan akan berbeda dalam keterangan status yakni LAJANG (belum berkeluarga).

Dalam diskusi di Dispendukcapil Kota Bekasi, saya utarakan, emoh memindahkan KTP saya menjadi KTP Kota Bekasi. Bagaimana nanti status harta saya di Surabaya? Bagaimana nanti status administrasi kependudukan istri dan anak-anak saya yang masih di Surabaya? Apakah tidak bisa pemilik KTP Surabaya membeli barang-barang di Bekasi?

Pertanyaan itulah yang juga pernah saya utarakan kepada seorang wartawan Kompas yang bertugas meliput di Kementerian Dalam Negeri (Desk Polhukam). Apakah KTP elektronik (pemerintah menyebutnya e-KTP) akan menyelesaikan pelbagai persoalan yang saya keluhkan tadi?

Masih belum ada jawaban yang bisa melegakan.

Misalnya begini, kalau saya pun bisa membeli sepeda motor di Bekasi dengan KTP Surabaya, apakah nanti pelat nomornya L (Surabaya) atau B (Bekasi). Kalau L, tentu pajak yang saya bayarkan akan masuk ke kas pemerintah di sana. Padahal, kendaraan dipakai untuk beroperasi di Bekasi yang dengan kata lain kendaraan saya sedikit atau banyak berdampak pada aset infrastruktur Bekasi.

Bagaimana dengan pembelian rumah atau lahan? Yang lebih penting ialah bagaimana nanti mengurus pendidikan anak-anak di sekolah di Bekasi?

Itu belum termasuk persoalan hak memilih dalam pemilihan umum.

Nah, singkat kata, diskusi itu berujung pada harapan program KTP elektronik (e-KTP) agar bisa mengatasi hal-hal tadi. Memang benar, satu orang cukup satu KTP. Tetapi KTP itu harus mampu melintasi batas-batas geografis dan keruwetan tetek bengek aturan administrasi di pelbagai bidang di negeri ini.

Untuk itulah, akhirnya saya mengatakan, kalau terjaring dalam operasi yustisi kependudukan (OYK) karena saya tidak punya KTP Kota Bekasi, saya akan bayar denda dan akan ikuti prosedur mengurus administrasi kependudukan. Namun, kalau diminta memindahkan KTP Surabaya ke KTP Bekasi, duh saya masih pikir panjang kecuali kalau istri pun siap mencabut dari Surabaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun