Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Semua Anak Berpotensi Handal (bag. 1)

8 Juli 2011   14:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 134 1

Gaung kemerdekaan mulai menggema menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan RI di bulan Agustus nanti. Banyak fakta dalam hidup keseharian kita yang menunjukkan bahwa sebenarnya kita belummenjadi negara merdeka (independence, mandiri), kita baru bebas (freedom) dari penjajahan. HUT Kemerdekaan RI belum tepat dikatakan sebagai Independence Day kita. Kita masih harus meraih jati diri sebagai negara yang merdeka. Dan salah satu jalan "berevolusi-cerdas" yang harus ditempuh untuk meraihnya adalah melalui jalan pendidikan.

Salah satu peran sekolah dapat dipersonifikasikansebagai aktor pembebas, aktor yang amat dibutuhkan oleh sebuah Negara. Pembebas dalam pengertian agent of change, merubah pola pikir salah menjadi benar, liar (tak bertanggungjawab) menjadi bebas (bertanggungjawab). Negara dengan sistem pendidikan yang buruk pasti akan cepat terpuruk.

Ketika penulis masih aktif berdiri di depan kelas, sebuah frase kita belum merdeka senantiasa penulis gaungkan kepada para siswa kelas VI (sekolah dasar).  "Belum Merdeka" mengindikasikan belum kongkritnya pengakuan terhadap adanya kemampuan multi sisi peserta didik, kelak, ketika mereka berproses lanjut dalam "sekolah-sekolah" mereka selanjutnya. Oleh karena itu kami saat itu bermoto : Semua Anak Berpotensi Handal, sebuah pengakuan terhadap keberbedaan talenta yang telah diberikan Sang Pencipta kepada setiap insan ciptaanNya. Dalam bingkai inilah, saat itu, penulis sebagai fasilitator bidang ajar matematika, membuat soal ujian yang berbeda untuk peserta didik. Satu contoh kasus :

1.“Tiwi mendapatkam uang Rp 1.000,00 dari ibunya. Ia akan membeli 6 kerupuk yang harganya Rp 100,00 tiap kerupuk. Apa yang dapat Tiwi katakan?”

Jawab Tiwi dalam lembar jawaban : 6 kerupuk Rp 600,00. Jadi uang saya masih Rp 400,00

2.“Hasan memunyai uang Rp 1.000,00. Ia membeli 6 Kerupuk dengan harga tiap kerupuk Rp 100,00. Berapa rupiah sisa uang Hasan?”

Jawab Tiwi dalam lembar jawaban : 1.000 – 100 = 900 Jadi sisa uang Hasan Rp 900,00

Dari kedua soal yang ber-Tujuan  Khusus / ber-indikator sama di atas, Tiwi (satu di antara 20 siswa kelas-6 SD penulis T.A. 2003/2004), dapat dengan baik menjawab soal nomor 1 tetapi bingung menjawab soal nomor 2. Soal nomor 1 adalah soal ujian yang penulis buat khusus untuk Tiwi sebagai hasil analisa penulis (dua tahun, kelas-4 dan kelas-5) terhadap kemampuan/ kecakapan berpikir Tiwi, sebagai pengganti soal nomor 2.

Barangkali Tiwi hanyalah satu di antara populasi ribu atau ratus ribuan siswa berkebutuhan khusus di negeri ini. Dengan kasus khusus yang berbeda, hampir dalam setiap tahun ajaran, penulis menjumpai siswa seperti Tiwi.

Belum lagi jika memerhatikan fakta lain yang terjadi, misalnya (1) dibuatnya soal-soal ujian yang bertentangan dengan logika, dan berbau politik, (2) muatan berlebihan bidang ajar, (3) muatan kurikulum yang tak sesuai dengan perkembangan berfikir peserta didik, (4) ditanggalkannya materi ajar bermuatan etika (akan penulis sampaikan di bagian 3 mendatang), maka lengkaplah sudah alasan untuk mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam mengolah ranah pendidikan di negeri ini.

*****

KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sebenarnya telah memberi ruang sejuk kepada sekolah untuk menetapkan langkah terbaik yang harus dilakukan demi memaksimalkan hasil dari proses didik. Sosialisasi kepada orangtua/wali peserta didik memang harus dilakukan agar kesepahaman dapat terjadi. Namun, lagi-lagi, UN telah menjadikan ruang sejuk itu amat sumpek karena dipenuhi sampah-sampah analisa tak jelas. Pada gilirannya, sekolah tidak memiliki ruang untuk menyeimbangkan tiga aspek/pilar proses didik : kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sekolahtak ubahnya sebagai tempat bimbingan belajar (les), yang bertujuan hanya untuk memaksimalkan hasil dari aspek kognisi semata. Di sini pulalah kita dapat melihat betapa kebijakan UN telah menjadi bukti penyangkalan negara terhadap keberbedaan talenta pemberian Sang Khalik.

UN, telah menjadi tujuan dari proses didik di sekolah, sehingga, proses didik telah diminimalir menjadi sebuah proses kognisi meraih nilai UN yang tinggi. Inilah fakta yang terjadi. Dan fakta nyata yang lebih mengerikan adalah : sekolah bernilai UN tinggi mendapat kan cap baik oleh negaradan cap favorit oleh masyarakat. Penulis tidak ingin mengatakan bahwa cap itu tidak perlu, tetapi hanya ingin menegaskan bahwa proses didik yang salah itu, yang adalah akibat dari ketidaksesuaian antara tujuan hakiki diadakannya evaluasi belajar dengan tujuan pragmatis perintah (dengan membandingkan “standar nilai kelulusan” dengan negara lain???), telah mengaburkan makna nilai kelulusan yang diraih. Maka, hentikan campur tangan berlebihan (pengerdilan) pemerintah terhadap tujuan hakiki dari proses didik yang para guru lakukan. Sebagai the real agent of change, sebagai pelaku di lapangan, guru harus diberi kebebasan untuk mengevaluasi peserta didik yang telah diprosesnya.

Tugas negara adalah memastikan bahwa proses itu bertujuan untuk membebaskanrakyat dari keterjajahan multi sektoral. Menyusun kurikulum yang aplikatif, seimbang (tidak overload), terintegrasi dan berbudaya, dan menyusun perangkat evaluasi: bukan pekerjaan yang mudah!*** bersambung

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun