Keharusan sejarah memang mencatat segala siklus pergantian kepemimpinan. Untuk membacanya secara sempurna, rasanya sulit. Minimal, pergantian kepemimpinan yang memiliki nilai sejarah positif akan ditulis dan dikenang rakyat. Tiap jaman kita berharap dapat mewariskan kemajuan.
Kini demokrasi kita seperti memasuki era "ultra demokrasi". Pemaknaan demokrasi yang berlebih-lebihan. Teramat sangat, melampaui batas. Lantas demokrasi, menjadi alibi dibalik kepentingan politik segelintir orang. Teriak Presiden 3 periode, dianggap sebagai hak dan kebebasan berdemokrasi.
Teriak turunkan Presiden, dituding makar. Dua hal yang sebetulnya sama-sama mengekspresikan kebebasan demokrasi. Namun, perlakuan pemerintah terhadap kedua sikap ini kontraproduktif. Yang satunya diberi ruang.
Lalu yang satunya, diberi sanksi. Mendapat larangan dari pemerintah. Begitulah ultra demokrasi, memandang demokrasi dari satu sisi semata. Jika kebebasan demokrasi itu menguntungkan pihak tertentu, kemudian pihak itu berhubung adalah pemerintah yang tengah memimpin. Maka, yang terlarang, membegal aturan sekalipun didiamkan. Dianggap menjadi hal biasa.
Berbeda jikalau yang diperjuangkan atau disuarakan itu bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Kebebasan di hadapan pemerintah yang alergi dan anti kritik, tidak mendapat tempat yang layak. Pihak yang mengekspresikan hak-hak demokrasinya dengan kritik terhadap pemerintah, akan menuai stigma buruk.
Ultra demokrasi sungguh berbahaya. Belum lagi ketika paham ini menular pada pemerintah kita. Padahal membungkam suara rakyat yang menyampaikan pendapat ialah ciri khas pemimpin otoriter.
Pemimpin saat ini, banyak kita temukan yang mulai lupa diri. Disinilah tanda kehancuran bagi pemimpin. Diri dari pemimpin dalam perspektif demokrasi yaitu rakyat. Dari rakyatlah pemimpin itu ada. Kedaulatan rakyatlah yang membuat pemimpin diberi otoritas, amanah mengurus hajat publik.
Bahkan tidak hanya lupa diri, banyak pemimpin rakus juga masih tanpa malu mau mendorong adanya perpanjangan masa jabatan. Mereka lupa bahwa kepemimpinannya sejauhnya masih jauh dari harapan publik. Banyak janji yang gagal ditepati. Perpanjangan masa kepemimpinan hanya memperpanjang kesusahan dan kemiskinan bagi rakyat.
Begitu tanpa malu, sudah lupa diri, pemimpin di masa kini dengan rakus percaya diri merasa paling benar. Kemudian membatasi rakyat saat menyampaikan koreksi atas kebijakannya. Seharusnya ia tahu, bahwa dirinya masih punya segudang kekurangan. Dalam memberi pelayanan prima kepada rakyat, sang pemimpin tersebut belum mampu.
Tidak hanya itu, perilaku korup dan kolusi juga dilakukan. Baik korup waktu melayani rakyat, maupun korupsi kebijakan. Cara kolusinya kalau mau jujur diungkap tidak sedikit dilakukan. Segala skandal berkaitan dengan kebijakan menyentuh kepentingan rakyat diterapkan.
Alhasil, yang dirugikan disini adalah rakyat. Demi kepuasan kekuasaan, dan demi kepentingan keluarga serta kelompok politik, pemimpin rela menaikkan harga BBM. Pemimpin sengaja melupakan janji-janji politiknya. Ketika diingatkan rakyat, malah pemimpin dan kroni-kroninya merasa diserang. Meras difitnah, lalu mereka melahirkan tudingan "kelompok sakit hati yang belum move on".
Pemimpin yang lupa diri itu selalu menghitung-hitung kinerjanya. Mencatat prestasi, mengkapitalisasi kebaikan politiknya. Agar rakyat mengingat. Tapi dia tidak mau sisi kekurangannya dikritik. Dalam benaknya, apa yang dilakukan tersebut harus diapresiasi rakyat.
Jangan ada sedikitpun rakyat berkeluh-kesah. Ketika rakyat menyampaikan situasi yang dialami, malah pemimpin yang lupa diri ini merasa dirinya ditampar. Dirinya dipermalukan, kinerjanya tidak dihargai. Ini merupakan kesalahan berfikir. Kalau benar-benar pemimpin negarawan, ia tak akan tinggi hati. Apa yang dilakukannya merupakan pengabdian.
Kesadaran pemimpin yang demikian harusnya dimunculkan. Bahwa dia mengerti betul tugasnya sebagai publik service. Pemimpin hanya budak rakyat. Jangan gila hormat dan mau terus-menerus rakyat bertepuk tangan atas prestasi yang diraih. Ketika pemimpin berprestasi, itu biasa saja.
Karena memang dia digaji untuk bekerja pada rakyat. Keliru jika pemerintah itu over memaknai prestasinya. Yang seolah-olah itu karya monumental sehingga meminta dan memaksa rakyat untuk berterima kasih kepadanya. Fatal bagi pemimpin saat ini, yang selalu memaknai kritik sebagai sikap antipati.