Mutasi kepemimpinan selalu melahirkan konsekuensi, plus minus. Menimbang pemimpin ideal untuk dihadirkan, mesti disiapkan. Perlu persiapan matang. Tak ada pemimpin publik yang dadakan. Publik telah trauma memilih pemimpin yang jumawa. Pemimpin yang kemudian mengkultuskan kekuasaan. Menempatkan dirinya absolut. Sebab, itulah benih kerusakan tatanan peradaban.
Harapan publik, tentu pemimpin yang adil dan bijaksana hadir. Tugasnya melayani rakyat. Bukan memperkaya diri. Bukan pula memelihara politik dinasti, dan merupakan budak oligarki. Menjadi "meong" bagi pemodal. Memalukan.
Pemimpin hanya punya core value. Mandiri, merdeka dalam bersikap, dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Bukan menjadikan dirinya seperti Tuan yang mau dilayani rakyat. Berhenti mencari pemimpin yang haus hormat dari rakyat.
Mengantisipasi agar kita mengutuk kegelapan. Tidak menyesali perbuatan karena salah memilih pemimpin, maka atur ulang standar kita dalam memilih pemimpin. Selain adil, pemimpin harus jujur, bermental patriot. Bukan pengecut, dan munafik.
Berhenti memilih pemimpin karena materi. Sudahi perilaku buruk, berjuang mati-matian pada pemimpin yang munafik. Pemimpin yang terbius dengan pencitraan. Lantas, segala lakunya dikendalikan kekuatan kebinatangan.
Dalam proses mencari manusia seimbang, maka kita melewati yang namanya "shadow self". Dimana sisi gelap dari diri manusia, memang selalu kita temui. Begitupun, watak ada pada seluruh pemimpin kita.
Publik perlu memiliki alat "self reminder". Sehingga tidak terperangkap pada lubang yang sama karena memilih pemimpin gagal. Pemimpin yang hanya memikirkan urusan keberlanjutan hidupnya semata.
Layaknya mengoperasikan detektor, publik perlu membentengi dirinya. Berfikir radikal, kritis, dan jujur terhadap perkembangan sosial saat ini. Jangan memaksa hidup atau pasrah dalam ketakutan. Bebaskan diri kita.
Bangun kesadaran pribadi. Lalu bangun pula kesadaran kolektif. Untuk apa?, agar kita tidak dijadikan tumbal dan sesajen bagi penguasa korup. Kita (publik), jangan mau dibodohi lagi. Memilih pemimpin rakus.
Jika salah memilih di Pemilu 2024, maka pemimpin fasik akan mengendalikan Indonesia. Pemimpin yang bernafsu besar menguasai rakyat dan aset rakyat. Namun, mengkapitisasi sumber daya tersebut kepada pengusaha asing (investor WNA).
Hindari rekayasa hasil Pemilu 2024. Kawal semua proses, tutup segala kemungkinan kecurangan Pemilu yang membuat pemimpin fasik terpilih. Pemimpin yang tunduk pada kekuatan pemodal.
Yang karena sahwat politiknya membuat ia menghalalkan segala cara. Meniadakan kejujuran dan keadilan Pemilu. Keberadaan manusia-manusia monster, perusak demokrasi. Jangan beri lagi mereka kesempatan. Alat mereka untuk beraksi adalah dengan politik uang.
Bahayanya, jika pemimpin fasik memimpin Indonesia. Yakni pemimpin yang keluar dari ketaatan kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Pemimpin yang pro pada komunisme. Yang berkompromi dengan pandangan atau pemikiran-pemikiran, juga produk karya sekuler.
Pemimpin fasik terpilih ditandai dengan banyaknya bencana. Baik fisik maupun nonfisik. Bencana berupa korupsi. Banjir, tanah longsor, tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi. Kehadirannya sebagai magnet mendatangkan malapetaka. Pemimpin fasik merupakan toxic bagi demokrasi. Membuat masa depan Indonesia kian suram.
Sampai meluas, merambah pada praktek amoral. Skanda kecurangan, gratifikasi, dan dilegalkannya prostitusi. Pemimpin yang melakukan pembiaran terhadap kedzaliman. Yang tidak mau diingatkan rakyatnya. Kritik dianggapnya ancama dan bagian dari antipati.
Begitu pula bencana yang berupa dekadensi moral. Lahirnya memimpin yang dehumanis. Pemimpin yang merendahkan Marwah dan reputasi para ulama. Membiarkan sesama manusia saling menghasut, saling menerkam antara sesama manusia.
Degradasi moral terjadi dimana-mana. Merasa paling benar sendiri. Model pemimpin seperti ini dikelilingi para pemujanya, para penjilat. Sedihnya, ia malah menempatkan dirinya seperti Tuhan. Tidak ada yang salah, tak mau sama sekali meminta maaf kepada rakyat meski banyak salahnya.