"Sebulan itu cuma 30 hari kan sayang, rasanya abang tak sanggup meninggalkanmu walau sehari saja." Bisiknya pelan.
"Dan sebentar lagi kamupun akan meninggalkan abang, dua tahun itu terlalu lama sayang... "
Kali ini dia melepaskan pelukannya, memandang wajahku, menatap mataku...
"Tapi abang akan menunggu... Demi kebaikanmu abang iklas"
Kusentuh wajah suamiku ini, pelan dan perlahan kugambarkan sketsa wajahnya agar melekat di otakku. Matanya, hidungnya, pipinya, bibirnya...
"Hari ini Ama akan membuat surat pengunduran diri, Ama akan menanti abang pulang dirumah, kita bisa menghabiskan waktu hanya berdua saja sampai keberangkatan Ama nanti"
"Kamu yakin dengan keputusan itu?"
"Iya..." Kudekap kembali tubuh suamiku ini, seolah tak ingin dia pergi.
"Kamu mau minta dibawain apa nanti, sayang?"
"eum... asal abang pulang dengan selamat dan sehat itu sudah cukup buat Ama"
"eum... tapi kalau seandainya abang nanti ada waktu carilah sebuah pakaian tidur untuk Ama kenakan dimalam pertama abang pulang nanti. Eum... yang abang sukai" Bisikku lirih
Dia melepaskan pelukannya dan memandangiku dengan serius
"hm... permintaan yang berat sekali itu sayang"
"bisa kacau nanti pikiran abang membayangkan kamu dalam balutan pakaian itu." ujarnya kemudian di sertai seyumannya yang menggoda. Kembali dia mengecup keningku lembut.
"Kita pergi sekarang ya."
Kuserahkan kunci mobil kepadanya. Kuikuti dirinya menuruni anak tangga, sekali lagi aku memandangi punggungnya yang berjalan dihadapanku. Dialah imamku. Dialah kini sandaran hatiku. Dialah kini belahan jiwaku.
*****
Hari ini adalah hari terakhirku di kantor ini, kubereskan meja dan file-file ku. Aku yakin tak lama lagi akan ada yang menggantikanku duduk dikursi ini. Kuhampiri David dan kuserahkan semua dokumen penting kepadanya. Tak banyak kata yang terucap darinya. Dia menyerahkan selembar sertifikat kerja padaku. Kupandangi kertas itu lama, sebuah referensi kerja dengan posisi "Community Empowerment Specialist" yang di tanda tangani langsung oleh head coordinator UN dan kepala BRR. Wajar saja aku bingung karena di surat kontrak yang aku tanda tangani dua tahun yang lalu menyebutkan posisiku sebagai assitent surveyor. "Kamu layak mendapatkannya Ama." Jelas David kemudian yang mengerti dengan kebingunganku.
Kuhampiri Astrid dan Marina di meja kerjanya. Aku mengerti kekecewaan mereka karena menolak farewall party untukku.
"Kita baru aja kehilangan Andika, eh elo malah ikut-ikutan, Ma." Ujar marina sedih. Kupeluk erat kedua sahabatku ini.
"Keep in touch ya, Ma." Ujar mereka sambil melepaskan aku pergi dari pintu. Kuturuni anak tangga satu persatu. Lama kupandangi bangunan kantor ini. Kantor yang telah menggembleng aku sebagai seorang professional, yang telah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang, dan terjun langsung ke masyarakat dengan berbagai problematikanya.
Didalam mobil, Kuronggoh HP dalam tasku dan menelepon Satria. Aku sudah janji akan meneleponnya siang ini. Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 12,sudah waktunya istirahat pikirku.
Setelah berbasa-basi menanyakan kabarnya. Kuutarakan maksudku meneleponnya hari ini sekaligus menanggapi pernyataannya tempo hari.
"eum... tentang pembicaraan yang sempat terputus, Ama sudah memikirkannya."
"Ama tidak bisa melakukannya. Maaf... Ama sekarang sudah bahagia dan Ama mencintai suami Ama." Ujarku tegas.
"sudah abang duga, ternyata kamu lebih memilih dia dari abang. Abang memakluminya. Sedari awal abang sudah punya firasat cepat atau lambat kamu akan mencintainya juga. Dugaan abang tidak meleset, kan?" Ada nada sinis atas ucapannya itu.
"Baguslah kalau abang sedari awal telah menyadarinya. Dan sekarang Ama minta jangan ganggu kehidupan Ama lagi. Kalau abang memang mencintai Ama, maka abang akan membiarkan Ama hidup bahagia dengan pasangan Ama sekarang" Aku sadar betul ucapanku ini akan melukai hatinya lebih dalam lagi. Tapi ini harus aku lakukan agar ia tak semakin terpuruk dengan perasaannya terhadapku. Walau pahit, cepat atau lamabat ia harus segera sadar bahwa hubungan kami telah berakhir dan dia bisa memulai lagi kehidupannya yang baru.
"Baiklah, kalau itu keputusan kamu, abang terima."
"eum... tapi, maukah Ama untuk terakhir kalinya menemui abang, beberapa hari lagi abang akan berangkat ke Pontianak, kita tidak akan pernah bertemu lagi mungkin juga selamanya. Abang hanya ingin sekali lagi melihat pujaan hati abang."
Permintaan yang berat sekali untuk aku penuhi.
"Ama mau kan meluluskan permintaan abang yang terakhir ini, setelah itu abang janji tidak akan mengganggu Ama lagi."
Lama aku berpikir... Aku takut akan ada yang melihat dan mengenali kami saat aku bertemu dengannya. Aku tak ingin orang-orang berpikiran buruk tentang diriku yang telah bersuami ini. Sebagai istri aku harus bisa menjaga diri dan kehormatanku. Hal yang selalu diulang-ulang oleh bunda dan ayahku saat memberikan nasehat pernikahan sesaat sebelum aku menikah dulu.
"Kapan abang berangkat?"
"Hari minggu ini."
"Baiklah... Kapan dan dimana tempat pertemuannya?" Dengan mengambil nafas panjang akhirnya kuterima juga ajakan pertemuan itu. Ini yang terakhir. Tidak akan ada lagi pertemuan setelah ini. Pikirku.
"kalau di cafe atau restoran, kamu pasti tak mau karena takut ada yang melihat, kan? Bagaimana kalau di rumah kontrakan abang aja."
"Masih tinggal ditempat yang dulu?"
"Iya..."
"Baiklah... setelah Asar nanti Ama akan kesana."
*****
Kulajukan mobilku menuju sebuah kawasan di pinggiran kota Banda Aceh. Tepatnya di desa Alue Deah Tengoh yang terletak di kecamatan Meuraxa. Kawasan yang dulu ramai, kini menjadi teramat lenggang. Kontrakan Satria merupakan salah satu rumah bantuan BRR yang disewakan oleh pemiliknya lantaran si pemilik trauma tinggal dikawasan tersebut. Kuturunkan kaca mobilku... sayup-sayup angin laut menerpa kulit wajahku... Dingin.. Rumah kontrakannya nya memang terletak tak jauh dari garis pantai, aku bahkan bisa memandangi laut yang biru dari tempatku memarkirkan mobil. Indah sekali...
Kulihat seseorang keluar dari rumah kontrakannya, aku seperti mengenali wajah orang yang sedang mengeluarkan motor dari garasi rumah itu. Ah... bukankah itu Ryan. Yah tak salah lagi, itu Ryan... Orang yang dulu pernah kupergoki jalan dengan Farah. Kuurungkan niatku untuk keluar dari mobil. Kunaikkan kembali kaca mobilku berharap ia tak melihatku.
Ada hubungan apa dia dengan Satria?
Tak berapa lama, kulihat Satria membuka pintu, dan melambaikan isyarat tangannya padaku.
Kuhampiri dia.
"Tadi yang keluar siapa?"
"Oh... teman adek abang, namanya Ryan, kenapa? Kamu kenal?"
Kugelengkan kepalaku dengan cepat.
"Ayo masuk."
Kupandangi lelaki yang kini berdiri dihadapanku ini. Kurus... Wajahnya kumal, tak secerah dulu. Entah berapa hari ia tidak mencukur jenggotnya.
"Ama diluar aja."
"Kamu merasa nyaman kita ngobrol di luar dan dipandangi setiap orang yang berlalu lalang di depan rumah, begitu?"
Kupandangi sekelilingku... Tak banyak rumah disekitar sini. Kalaupun ada seperti tidak berpenghuni. Ilalang yang panjang tumbuh dengan suburnya bak menutupi pekarangan rumah. Kulihat beberapa pasang manusia berlalu lalang dengan motor. Jalanan di depan rumah ini memang tembus ke pantai Ulee Lheue. Sebuah pantai yang sangat terkenal karena menghubungkan kota Banda Aceh dengan pelabuhan Balohan, pelabuhan bebas di pulau Sabang.
Kuikuti langkahnya memasuki rumah bantuan BRR yang bertype 36 itu. Hanya ada sebuah ambal yang tergelar dilantai semen. Disudut dinding yang menghadap pintu terdapat sebuah TV 14 inch yang diletakkan di sebuah buffet kecil dengan satu pintu. Ia kemudian menghidupkan penerangan diruangan ini yang memperlihatkan setiap sudut ruangan dengan jalas. Terdapat pajangan foto wisudanya dengan kedua orang tuanya dan foto-foto touring bersama teman-teman anggota club motornya yang terpajang didinding. Ia memang suka sekali touring, dan setiap sampai di suatu daerah ia pasti mengabadikannya dalam sebuah foto yang kemudian sering dipamerkannya kepadaku saat ia datang berkunjung ke rumahku.
"eum.. abang cuma sendirian dirumah?"
"Iya..."
Entah mengapa tiba-tiba aku merasa tidak enak berada berdua saja dengannya.
"Ah... kalau gitu Ama pulang aja." Dengan bergegas aku membalikkan tubuhku.
"Oh... !!!!"
Betapa kagetnya aku mendapati dia yang tiba-tiba telah berdiri di hadapannku, menutup pintu dan menguncinya.
"Kamu semakin cantik, Ama... Kamu pasti sangat bahagia sekarang"
"Insya Allah abang juga akan meraih kebahagiaan itu" Aku merasa sangat tidak nyaman dengan perlakuannya ini. Mengapa ia mulai menyudutkanku di ruangan ini... Samar-samar kuciumi nafasnya... Astaga... bau alkohol.
Tubuhku gemetar... bibirku kelu... bulu kudukku merinding. Logikaku mulai berjalan cepat. Naluri perempuanku mengerang. Aku sadar betul aku takkan bisa lari darinya. Dengan tubuh yang gemetar aku tersungkur di sudut ruangan ini.
"Istigfar bang... Ama mohon...!!!" Rintihku... berharap ia akan tersadar. Tak terbayang betapa hancurnya hatiku, membayangkan apa yang akan ia lakukan terhadapku.
"Huh... hanya itu yang bisa kamu katakan saat ini...?? Tak tahukah kamu bagaimana hari-hari yang abang lalui saat ini... tak tahukah kamu bagaimana setiap malam abang berusaha menghapus bayangan wajahmu yang mengerang kenikmatan karena di setubuhi lelaki itu? Abang cemburu, sayang... abang begitu cemburu membayangkan kamu terpekur dalam dekapan lelaki lain."
"Jadi... hanya begitu rasa cinta abang terhadap Ama." Air mataku kini meleleh, nafasku sesak... gigiku gemeretuk ketakutan.
"Hanya segitu kamu bilang....!!!" Ujarnya keras menggoyangkan bahu dan mengagetkanku.
"Perlakuan apa yang kurang aku beri untuk kamu... selama ini aku begitu menghormati dan mengagumimu. Aku tak pernah menyentuhmu. Kau tahu mengapa?? Karena aku tak ingin menodai bunga pujaan hati abang ini... Dan sekarang... Katakan bagaimana abang bisa menerima kenyataan wanita yang abang cintai ini digumuli oleh laki-laki lain...!!! Katakan Ama...!!!"
Ia benar-benar mengejutkanku dengan teriakannya di kupingku. Aku tak ingin memandangnya lagi... Hatiku terlanjur hancur berkeping... Dengan air mata yang mengalir kupalingkan wajahku dan mengatup rapat kedua bibirku. Kupeluk erat tubuhku yang menggigil, meringkuk di sudut ruangan itu.
"Jangan menangis sayang... "
Kali ini aku benar-benar merasa jijik dengan sentuhannya di pipiku... Aku muak melihat wajahnya yang mengiba dihadapanku.
"Lepaskan aku..."
"Abang tidak akan melepaskanmu lagi, sayang... kamu adalah milik abang."
"TIDAK.................!!!"
"AKU BUKAN MILIKMU...!!!"
Erangku menatang matanya. Berharap ada sedikit belas kasihnya untukku di sudut mata itu. Tapi ternyata apa yang kudapat...
PLAK...!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.
"KAU...... JANGAN MENYENTUHKU..!!!
LEPASKAN AKU... !! KAU BAJINGAN...!!
AKU MEMBENCIMU...
DEMI TUHAN.... AKU SANGAT MEMBENCIMU....!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
*****
"Bunda... Bunda... lihatlah... kuncup mawar di kebun kita sudah mekar."
Sahutku riang sambil menarik-narik ujung baju bunda yang melambai di depan mataku.
"Iya kakak... bunda sudah lihat, indah ya kak"
"Iya... walau cuma satu tapi bunganya besar... Kakak suka, boleh kakak petik bunda, nanti kakak letakkan di atas tempat tidur biar wangi."
"Jangan sayang... kalau dipetik nanti bunganya ga indah lagi, ia akan layu..." Ujar bunda yang berjongkok di hadapanku dan membelai pipiku...
"Ayo masuk sayang... sudah sore.. Mau bunda gendong..."
"Iya bunda... "
"Kakak sayang bunda..."
"Bunda juga sayang kakak.... kakak adalah bunga hati bunda... yang keindahannya tak tertandingi oleh bunga yang mekar di taman itu...
Kamu adalah bunga yang mekarnya paling indah... "
*****
Bersambung
Selanjutnya :
Bukan Siti Nurbaya (Episode 12)-TAMAT
Sebelumnya :
Bukan Siti Nurbaya (Episode 10)