Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 8)

9 Januari 2011   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 336 1
"Dek... kamu mau mandi? Udah abang timbakan air tuh."

Dengan bergegas aku mengambil baju ganti dan mengikuti langkahnya.

Sumur mandi terletak terpisah diluar, disebelah dapur dan hanya disekat dengan seng yang sudah berkarat. Tertutup tapi tidak ada atap. Di tengahnya terdapat sumur yang dalam. Sebuah timba kecil terletak di atas kayu yang menutupi sebagian cincin sumur. Sebuah ember berisi penuh air terdapat disebelahnya. Hujan memang sudah berhenti beberapa menit yang lalu, tapi meninggalkan genangan air di antara lantai sumur yang hanya beralaskan batu-batu gunung yang disusun menutupi tanah yang liat. Celah-celah diantaranya mengeluarkan bau pesing. Sungguh tidak nyaman harus mandi dalam situasi seperti ini.

"Kok bengong?"

"Mau abang kawanin mandi?"

"Eh.. eum.. Tolong jagain di depan pintu ya?"

"Mau di dalam juga boleh" candanya.

Kututup pintu yang terbuat dari kayu berlapis seng ini rapat-rapat. Akh... kenapa aku jadi terdampar ditempat seperti ini? Aku mau pulang.

Kubuang jauh-jauh penglihatanku dari pemandangan- pemandangan dan pikiran-pikiran buruk tentang tempat ini. Kututup mataku dan kuguyur air membasahi tubuhku.

Dingin.

****

"Ini kamar Layla, kamar abang ada di bawah dekat dapur dan cuma ada ranjang single, malam ini kita tidur disini."

Kamar yang sederhana sekali, berukuran 3x3 meter. Hanya ada sebuah tempat tidur berukuran sedang, dan sebuah lemari dengan satu pintu. Tak ada meja rias, yang ada hanya sebuah cermin berukuran 15x30 cm yang menempel di dinding yang menghadap tingkap (jendela). Kuletakkan tas di atas tempat tidur. Suamiku membakar satu lempeng obat nyamuk lalu diletakannya di bawah ranjang, sampai terbatuk-batuk aku dibuatnya.

Tak banyak kata terucap dari bibirku. Belum cukup rasanya culture shock terjadi di rumah ini. Sekarang aku harus menghabiskan malam di tempat yang sempit dan sumpek begini.

Menyedihkan.

"Belum mau tidur? Kok masih bengong gitu?" ujar suamiku yang sudah berada di atas tempat tidur.

"eum... " masih ragu-ragu rasanya untuk naik ke ranjang. Bagaimana mungkin aku bisa tidur berdua di atas ranjang yang menurutku sempit itu.

Suamiku kemudian menarik lagi nafas panjangnya.

"Kan abang udah janji sama ade. Abang tidak akan memaksa ade untuk melakukannya. Biarlah itu semua terjadi sewajarnya. Sekarang kita nikmati aja saat-saat perkenalan ini." Ujarnya kemudian.

Dengan perlahan aku naik ke atas tempat tidur itu. Hawa panas dikamar ini membuatku berkeringat luar biasa. Kulihat suamiku dengan santainya menanggalkan bajunya.

"ade pasti terkejut batin berada di rumah ini kan?"

Ah.. seandainya saja dia tau kalau aku lebih terkejut lagi melihatnya bertelanjang dada disini.

"Inilah keluarga abang, disinilah abang dibesarkan. Abang tak punya mobil mewah seperti yang kamu kendarai setiap pergi ke kantor, abang juga tak mampu menyediakan kamar mewah ber AC seperti yang bunda persiapkan untuk kita, abang tak berpendidikan tinggi, pekerjaan abang juga masih honor."

Kali ini dia menatap mataku lekat-lekat. "Tapi insya Allah abang mampu untuk menjadi imam dan membahagiakan kamu."

"Apapun yang terjadi nanti, abang janji tidak akan pernah meninggalkan dan menduakan cinta untuk Ama. Allah jadi saksi." Ujarnya sungguh-sungguh.

"Abang sadar sampai saat ini tak sedikitpun hati Ama untuk abang. Kamu yang wanita karir dan berpikiran modern pasti tidak dengan mudahnya menerima perjodohan seperti ini, kan? Tapi abang yakin suatu hari nanti hati kamu pasti terbuka untuk abang. Abang akan menunggu dengan sabar sampai saat itu tiba."

*****

Besok masa cuti kantorku berakhir. Seminggu tidak beraktivitas di kantor membuatku bosan berada dirumah. Memang kegiatanku sebagai pengantin baru sangat menyita waktu karena harus berkeliling dari satu pintu ke pintu yang lain untuk meperkenalkan pasangan ke sanak family kami masing-masing. Hal itu sangat melelahkan karena kami harus 'mempertontonkan' kebahagiaan dan kemesraan yang berarti aku harus terus 'berakting' menjadi menantu yang santun dan bahagia.

Seiring waktu yang terus bergulir, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal suamiku. Dia sangat sabar, penyayang, dan penuh pengertian. Setiap malam ia selalu mengusap dan membelai rambutku sambil membacakan shalawat dan doa-doa tidur. Ia baru tertidur setelah aku terlelap. Aku mulai terbiasa dengan perlakuannya itu. Disisi lain, aku hampir tak bisa 'bernafas' karena harus senantiasa bersamanya. Dia memang tidak ke kantor, dia bekerja hanya kalau dibutuhkan untuk menyalurkan bantuan untuk masjid, pasantren, atau dayah. Kalaupun harus pergi, itupun hanya ke mesjid diwaktu-waktu sholat fardhu. Aku yang tak pernah terikat dan selalu mandiri merasa agak risih juga didampingi kemanapun aku pergi dan dimanapun aku berada. Semoga dengan kembaliĀ  beraktivitas di kantorĀ  membebaskan aku dari sangkar emas yang merupakan rumahku sendiri ini. Pikirku dalam hati.

*****

"Apa ga sebaiknya kakak berhenti kerja aja, kan bentar lagi mau berangkat" Ujar bunda saat menyiapkan sarapan untuk kami.

"Iya kak Ama... Kalian kan belum bulan madu. Ngapain sih kerja kan udah punya suami. "

Ugh.. celotehan Farah kali ini benar-benar membuatku kesal bukan kepayang.

"Kakak suntuk dirumah terus, lagian bang Mun juga izinin kok." Kulirik suamiku sebentar, tak ada nada protes dan sikap penolakan. Aku khawatir kalau dia ikut bersuara menentang keinginanku.

"Iya kan bang?!" Kali ini kutatap tajam suamiku, kuharap dia mengerti maksudku.

"Tak apa bunda, saya sudah mengizinkan dia untuk melanjutkan apa yang saat ini sedang dia tekuni. Lagipula saya juga ada keperluan di kampung."

Kulirik lagi suamiku ini. Ngapain dia ke kampung? Kenapa dia ga bilang aja mau ke kantor walaupun harus berbohong. Ugh...

"Oh... ya udah kalau Maimun sudah kasih izin. Salam dari bunda untuk mamak di kampung ya."

"kakak juga jangan telat pulangnya. Ingat sekarang sudah punya suami, harus tau tugas dan kewajiban."

Dengan cepat kuselesaikan sarapanku ini. Kalau sudah memberi nasehat bunda kadang suka lupa waktu. Padahal aku bukan anak kecil lagi. Dengan bergegas aku beranjak pergi dari meja makan ini dan mengambil kunci mobilku.

"Kak... Farah pergi bareng ya, motor farah mogok lagi."

"Eh... bareng aja ma kak Firda."

"Dia kuliah siang."

"ya udah buruan...!"

Huh... tu anak kalau dandan lamanya minta ampun. Kulirik suamiku yang sedang menghabiskan sarapannya. Hanya tinggal dia dengan bunda saja. Ayah sudah beberapa hari yang lalu pergi tugas ke Jakarta, sedang bang Arul sudah berangkat pagi-pagi sekali karena kena piket lapangan. Kuciumin tangan bunda dan suami sebelum berangkat, hal yang biasa kulakukan pada bunda, tapi pada suami, ini yang pertama. Dia hanya mematung melihatku.

Kulangkahkan kaki menuju garasi dan menstarter Honda Jazz merah kesayanganku. Sambil menunggu Farah kunyalakan music dari CD favoritku. Alunan musik "If It's OK With You" dari Shayne Ward membuatku berdendang, mulutku komat-kamit mengikuti syair-syairnya dengan fasih. Hm... akhirnya aku bebas... Pikirku. Kulihat tasku bergetar di samping tempat dudukku, dengan bergegas aku raih tas itu dan mengambil Hand Phoneku. Ada SMS masuk

From : Satria

Message : Berapa lama lagi kamu sampai di kantor?

*****

Bersambung

Selanjutnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 9)

Sebelumnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 7)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun