Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 1)

1 Januari 2011   14:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:03 323 1
[caption id="attachment_82535" align="alignleft" width="300" caption="(Photo : Ama Atiby)"][/caption] 20 Oktober 2009 “Wah... Kak Ama cantik banget...” Seru Firda, ketika melihatku keluar dari salon kecantikan. “Emang klo udah jadi penganten auranya berubah ya” candanya yang aku balas dengan senyum simpul yang dingin. “Apa kakak yakin dengan keputusan ini? Klo Farah dari awal dah tolak mentah-mentah acara perjodohan itu” Buru Farah yang keluar dari mobil dan menuju ke arahku. Entah bangaimana rasanya aku membendung air mata ini. Tapi Aku tak mau menodai riasan di wajahku yang hanya akan membeberkan topeng yang sedang aku kenakan ini. Ah.. perkataan mereka tak perlu kutanggapi. Hanya senyuman tipis, untuk menenangkan mereka. Kubiarkan mereka menggandeng kedua tanganku. Setidaknya masih ada yang aku syukuri, kedua adik-adikku ini berada disini. Adik-adik kesayanganku yang sedang mendampingiku saat ini. *** Dua bulan sebelumnya Aku terduduk dan terdiam di ruang tamuku yang berukuran 6x6. Kedua orang tua ku memandangiku dengan serius. Mengharap kalau aku akan membuka mulutku untuk berbicara walau sepatah atau dua patah kata. Tak ada yang perlu diperdebatkankan lagi. Mereka telah ‘memukulku’ dengan telak. Percuma aku berkata-kata, toh semua sudah jelas. Lamaran itu mau tak mau harus aku terima. Bukan karena orang tuaku, bukan pula karena mak comblang yang dulu juga mencomblagi ayah dan bundaku. Tapi karena janji yang pernah ku ucapkan lima tahun yang lalu, bahwa aku tidak akan menolak lamaran dari seorang laki-laki yang seiman dan tak bercacat fisik. Janji kepada Allah yang kusebutkan dengan akal sehat dan disaksikan oleh kedua orang tuaku. Ah... seandainya aku tidak pernah membuat perjanjian itu, maka aku tidak akan bimbang seperti ini. Lamaran ini bisa saja aku tolak mentah-mentah. Tapi apa lacur, aku sudah terlanjur berjanji dan aku tak ingin mengingkari apalagi janji terhadap yang maha tinggi. Padahal aku masih ingin berkarir. Pernikahan hanya akan menghambat karirku. Terlebih tahun depan aku akan keluar negeri. Aku belum mau terikat, masih ingin bebas. Toh umurku juga masih muda, 23 tahun, walaupun bunda menganggapku sudah layak untuk berumah tangga dan resah karena anak-anak temannya yang seumur denganku sudah memiliki anak. “Coba kakak ingat-ingat lagi janji kakak lima tahun yang lalu, dan pikirkan dengan matang tentang lamaran ini. Terlebih lamaran ini datang di bulan yang baik dan penuh berkah. Memang kalian belum kenal, tapi cobalah saling mengenal mulai dari sekarang. Terimalah undangannya yang hendak mengajak untuk berbuka puasa bersama” Ujar ayah ditengah kebisuanku. Baru kemarin aku dipekernalkan dengan lelaki itu. Diruang tamu ini kami berkenalan. Tak ada sedikitpun rasa tertarikku terhadap dirinya, selain karena secara fisik dan latar belakang dia sangat jauh dari karakter yang aku idamkan, umur kami juga terpaut cukup jauh, 10 tahun. Seandainya pacarku mau bersikap jantan untuk melamarku, maka aku memiliki alasan untuk menolak perkenalan ini. Hal inilah yang membuat orang tuaku berpikir tiada kepastian dan masa depan dengan hubungan kami, sehingga mereka setuju saja jika ada yang ingin mengenalkanku dengan seseorang. Tak kusangka perkenalan ini memberikan kesan baginya. Lewat mak comblang dia langsung mengutarakan kesetujuannya dan keinginannya melamarku dalam waktu dekat. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Hanya sekali bertemu, dia langsung berkata iya, sedang aku tak ingat pun siapa namanya. Selanjutnya: Bukan Siti Nurbaya (Episode 2)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun