Menurut pakar lingkungan Universitas Lampung, kurangnya RTH berdampak signifikan terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. "Ruang terbuka hijau berperan penting sebagai paru-paru kota yang membantu menyerap polusi udara, menyediakan area resapan air, dan menjaga ekosistem perkotaan. Dengan terbatasnya RTH, kualitas udara dan suhu lingkungan pun memburuk," ujar Dr. Rudi Hartanto, ahli lingkungan hidup dari Universitas Lampung.
Dampak minimnya RTH semakin terasa seiring meningkatnya polusi udara, banjir yang lebih sering terjadi akibat kurangnya area resapan air, serta suhu yang cenderung meningkat. Banyak warga mengeluhkan bahwa ketiadaan area hijau mengurangi kenyamanan kota dan membatasi ruang untuk kegiatan rekreasi dan olahraga.
Sementara itu, pemerintah kota Bandar Lampung berjanji akan mengambil langkah untuk memperbaiki situasi ini dengan memanfaatkan lahan kosong dan melakukan penanaman pohon di sejumlah area perkotaan. Namun, para aktivis lingkungan menilai langkah tersebut masih belum cukup, mengingat luas lahan yang dialokasikan sangat terbatas.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung, Ibu Rina Wulandari, menyatakan bahwa pemerintah tengah merancang sejumlah proyek pengembangan RTH, termasuk revitalisasi taman kota dan penghijauan area jalan utama. "Kami terus berupaya mencari solusi agar masyarakat memiliki lebih banyak akses ke ruang terbuka hijau," katanya. Meski demikian, anggaran yang terbatas menjadi salah satu kendala utama dalam merealisasikan program tersebut.
Dengan adanya kekhawatiran ini, para warga dan aktivis lingkungan mendesak agar pemerintah lebih serius dalam mengalokasikan lahan dan anggaran untuk penambahan RTH di kota Bandar Lampung. Mereka berharap, kota ini dapat menjadi tempat yang lebih sehat dan nyaman untuk dihuni, dengan area hijau yang mencukupi sesuai standar ideal kota modern yang berwawasan lingkungan.