Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Seorang guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa di SMK 13 Malang yang tersebar melalui video

11 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   14:05 10 0
Tindak kekerasan yag sering terjadi di lingkungan Pendidikan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa hingga saat ini menjadi tantangan terbesar untuk pemerintah dalam rangka memerangi kasus pembullyan yang ada di Indonesia. Adanya kasus kekerasan yang semakin marak ini membuat para orang tua peserta didik dan peserta didik menjadi khawatir dan cemas. Tindak kekerasan yang sering terjadi ketika aturan ditegakkan selama kegiatan pembelajaran. Adapun contoh kekerasan yang marak terjadi pada satuan Pendidikan yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan simbolik dan kekerasan verbal. Seperti salah satu kasus yang terjadi pada SMK 12 Malang terjadi kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap anak muridnya. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi para pemerintah sekaligus para pendidik. Pada kenyataan, menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak menurut Komnas PA. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan Pendidikan. Banyaknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan satuan Pendidikan perlu menjadi kekhawatiran semua pihak, baik peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan maupun warga satuan Pendidikan. Sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa Pendidikan merupakan tempat kedua bagi anak-anak dalam menghabiskan waktu mereka. Karena itu, satuan Pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Segala bentuk kekerasan yang terjadi pada lingkup Pendidikan harus dapat dicegah dan ditangani dengan baik. Karena pengaruh buruk dari adanya kekerasan pendidikan akan merusak mental anak-anak. Kekerasan dalam interaksi belajar-mengajar guru terhadap siswa didefinisikan sebagai sikap agresi guru yang melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak bagi korban (siswa). Dilihat dari tingkatannya, perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi 3 tingkatan. Tingkatan pertama yaitu tingkat ringan (soft violence) berupa potensi kekerasan yang bersifat tertutup seperti pelecehan martabat dan penekanan psikis. Tingkatan kedua yaitu kekerasan tingkat sedang yang berupa penekanan fisik. Lalu tingkatan terakhir adalah kekerasan tingkat kriminal (criminal action) yang berbentuk kekerasan ofensif, penganiayaan yang ditangani oleh jalur hukum dan berada di luar wewenang sekolah.
Contoh kekerasan yang dipaparkan di dalam berita Kompas.com bisa kita sebut sebagai kekerasan saat kegiatan belajar mengajar. Adapun tingkatan kekerasan pada contoh kasus diatas yaitu Tingkat kekerasan ketiga yang dimana korban mendapatkan penganiayaan dari pelaku (guru). Namun, untuk kasus ini ternyata dari pihak korban sepakat untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Kekerasan di dalam satuan pendidik kerap terjadi dimanapun. Kekerasan saat kegiatan belajar mengajar dapat berupa menggunakan panggilan yang tidak baik seperti memanggil peserta didik dengan sebutan bodoh, memukul, mengancam juga merupakan tipe kekerasan yang kerap kali terjadi. Tindak kekerasan guru terhadap peserta didik dianggap wajar oleh guru, sering kali guru mewajarkan hal tersebut karena menganggap hal tersebut sebagai hukuman untuk peserta didik. Karena peserta didik sekarang sulit untuk diatur dan disiplin sehingga memerlukan Tindakan keras tersebut untuk membuat para peserta didik menjadi jera. Kekerasan pada siswa dipicu oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yaitu model mengajar yang dipilih oleh guru dan karena guru mudah emosi. Kedua, faktor eksternal yaitu sikap peserta didik yang tidak memperhatikan saat Pelajaran, seperti berisik, melanggar peraturan dan menggangu peserta didik lain (Muis, 2017). Sekolah membutuhkan pengarahan untuk guru agar mengikuti pelatihan mengenai proses pembelajaran non-kekerasan (Muis, 2017). Selain itu, faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adanya kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik yaitu: (Siregar, 2013)
A. Tidak mengetahui cara yang efektif untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa B. Sebagian pemahaman siswa. Contohnya, ketika ada seorang siswa memecah, ia tidak hanya mengerjakannya, tetapi mencoba untuk memahami apa yang didasarkan pada Tindakan
C. Adanyahambatanpsikologis
D. Banyaknya tugas yang dikerjakan atau ditugaskan kepada guru tersebut
E. Mengutamakan faktor ketaatan dan kepatuhan kepada siswa dan hanya
menggunakan metode ceramah saat kegiatan belajar mengajar
F. Isi kurikulum mengabaikan kompetensi afektif
G. Adanya tekanan ekonomi
Selain adanya faktor diatas, ada juga faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di dalam Pendidikan yaitu, kekerasan diakibatkan karena adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman dan sanksi. Buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku, muatan kurikulum yang mengandalkan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif. Adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Karena adanya refleksi dan perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat. Terakhir, karena adanya latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Faktor pertama sampai faktor kedua merupakan faktor internal sementara faktor ketiga sampai kelima merupakan faktor eksternal.
Dilihat dari contoh kasus diatas, korban berjenis kelamin laki-laki. Yang dimana, alasan dari kasus ini dapat diketahui oleh khalayak umum dikarenakan karena video rekaman tersebut viral. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa laki-laki cenderung enggan untuk bercerita. Sesuai dengan teori Back & Lips (1998) menemukan bahwa laki-laki dibandingkan dengan perempuan, cenderung memberi tanggung jawab yang lebih besar pada korban dalam kasus-kasus kekerasan. Perilaku ‘mengadu’ atau melapor pada orang yang lebih dewasa mengenai apa yang terjadi pada mereka juga sering dianggap sebagai bentuk perilaku ‘tidak jangan’ dan tidak pantas untuk dilakukan. Oleh sebab itu, perilaku diam atau tidak melapor dianggap lebih baik. Dengan demikian, perbedaan gender perlu mendapat perhatian dalam menginterprestasi hasil-hasil penelitian survei. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa banyak sekali faktor yang dapat menimbulkan kekerasan di dalam satuan pendidikan dan tidak dapat kita pungkiri bahwa kekerasan tersebut dapat berasal dari pendidik. Ini merupakan sebuah tantangan besar untuk kita semua terutama para pendidik untuk memerangi kekerasan di dalam pendidikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun