Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Pentatonix dan Menjadi Penonton Konser A cappella yang Menyenangkan

5 Juni 2015   09:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21 383 1

Lima menit menuju jam 8 malam, euforia yang saya rasakan karena akan menyaksikan penampilan Pentatonix secara live di panggung Balai Kartini pada tanggal 3 Juni 2015 semakin memuncak. Terbayang sensasi luar biasa yang dulu pernah saya rasakan ketika menonton The Swingle Singers di Aula Simfonia Kemayoran di  penghujung  tahun 2012. Waktu itu, indera pendengaran saya serasa dibuai oleh perpaduan alunan vokal ditambah 'iringan instrumen musik’ yang berasal dari mulut ketujuh anggota The Swingle Singers. Eargasm!

Pentatonix dan The Swingle Singers sama-sama merupakan a cappella grup kelas dunia yang selalu sanggup membius penonton di setiap penampilannya.  The Swingle Singers awalnya dibentuk pada tahun 1962 di Paris. Walaupun para anggotanya sudah berganti-ganti formasi, tetapi kualitas penampilan mereka selalu konsisten prima dan memukau. Genre musik yang dibawakan The Swingle Singers sangat bervariatif, antara lain adalah klasik, kontemporer, hingga pop.   Sementara itu Pentatonix adalah kelompok a cappella dari Amerika yang terbentuk di tahun 2011 ketika mereka mengikuti audisi  kompetisi musik The Sing-Off di televisi Amerika NBC. Nama mereka semakin mencuat ketika berhasil muncul sebagai pemenang The Sing-Off di tahun tersebut itu juga. Kepopuleran mereka semakin mendunia karena aktif mengunggah puluhan video penampilan mereka melalui youtube the PTXofficial. Adapun nama Pentatonix jauh lebih dikenal oleh kalangan remaja dan Generasi Y di Jakarta karena mayoritas lagu yang mereka bawakan bergenre pop, yang sebagian besar cukup up-to-date, dan dikemas dalam aransemen yang sangat kreatif dan enerjik.

Bagi saya yang tidak punya gelar pendidikan di musik, kualitas musikalitas kedua grup tersebut menurut saya sama-sama tidak perlu diragukan lagi. Selalu ada anggota di dalam kelompok a cappella mereka yang berperan menjadi beat boxer dan bass, sehingga jika anda mendengarkan mereka bernyanyi sambil memejamkan mata, rasanya seperti mendengar vocal group yang menyanyi sambil diiringi instrumen musik yang nyata. Sulit rasanya untuk percaya bahwa suara yang sangat beragam dan complicated itu semuanya dihasilkan dari mulut manusia.

Namun sayangnya, harapan saya untuk mengalami sensasi yang dulu pernah dirasakan ketika menonton The Swingle Singers harus kandas dari sejak menit pertama konser Pentatonix itu dimulai. Antusiame dan kecintaan para fans Pentatonix yang hadir disitu membuat pertunjukkan dengan durasi kurang dari 1,5 jam tersebut tidak pernah sepi dari teriakan dan suara penonton yang ikut bernyanyi bersama. Hanya ada sekitar lima menit dimana penonton cukup hening karena Pentatonix meminta penonton untuk ‘super silent’ karena mereka akan bernyanyi dengan hanya menggunakan satu mic.

Pentatonix, seperti juga artis mancanegara lainnya, malam itu mengomentari bahwa penonton di Jakarta adalah amazing audience.  Menurut saya, sebagian dari penonton yang tidak pernah berhenti teriak dan bernyanyi bersama  itu lebih tepat disebut ‘amazingly annoying’ audience. Perilaku penonton yang seperti itu sangat bisa dimaklumi jika artisnya adalah penyanyi yang diiringi dengan formasi band. Ya, saya sendiri kadang-kadang tak bisa menahan diri untuk tidak menjerit ataupun terkadang menyanyi bersama ketika bang Adam Levine yang ganteng itu hadir di Jakarta di tahun 2012. Lagu-lagu Maroon5 yang sangat ear-catchy itu memang mengundang penonton untuk sesi ‘karaoke bersama’. Tapi ketika artis yang tampil adalah grup a cappella, masih pantaskah hal tersebut dilakukan terus-menerus sepanjang konser?

Daya tarik utama dari a cappella adalah bagaimana perpaduan melodi, harmoni, bass dan rhthym atau beat box yang semuanya berasal dari suara manusia itu berpadu bersama. Jika beberapa menit sekali penonton sibuk teriak atau ikut menyanyi bersama, bagaimana perpaduan suara tersebut bisa terdengar dengan baik? Contohnya, setiap kali Mitch Grassi, tenor dari Pentatonix, itu belum selesai melengkingkan nada tinggi, penonton sudah berteriak dengan heboh, sehingga suara Mitch langsung tenggelam diantara teriakan penonton.

Sebagai penonton konser -terutama konser a cappella yang memfokuskan pada suara- yang peduli terhadap sesama penonton lain, seharusnya bisa mengendalikan volume suara mereka dengan baik. Berteriak di setiap lagu berakhir atau ikut menyanyi di beberapa reffrain lagu masih pantas dilakukan, selama tidak berlebihan. Setiap orang yang datang ke konser itu sudah membayar tiket, sehingga mereka mempunyai hak yang sama untuk bisa mendengar dan menyaksikan konser dengan baik. Perilaku berdiri di atas kursi sehingga menutupi pandangan penonton di belakangnya, yang malam itu juga dilakukan segelintir penonton yang egois, seharusnya juga jangan dilakukan. Prinsip saya-sudah-membayar-tiket-sehingga-saya bebas-berbuat-apa-saja itu juga harus dibuang jauh-jauh. Dengan memberikan respon hangat terhadap artis yang sedang tampil dengan antusias tetapi tetap memberikan kesempatan kepada artis tersebut untuk bisa menyelesaikan setiap lagu atau penampilannya dengan baik, akan membuat kita menjadi penonton yang menyenangkan, baik bagi artis tersebut atau bagi sesama penonton lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun