Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Realita dari Tidak Terpenuhinya Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Indonesia

9 April 2022   19:15 Diperbarui: 9 April 2022   19:17 768 2
Jika berbicara mengenai hak asasi manusia, maka konsep persamaan tanpa batas akan muncul dalam benak kita. Hak asasi manusia merupakan hak kodratiah yang terdapat di setiap manusia dan menjadi subjek hukum yang harus dihormati dan dilindungi untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah dianugerakan oleh Tuhan. Atas dasar ini, maka negara sudah seharusnya mewujudkan hak asasi manusia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Namun pada kenyataannya, masih banyak isu di masyarakat yang membuktikan bahwa timbangan kesetaraan masih berat sebelah. Dalam dunia politik, melihat dari posisi perempuan dalam sistem politik di Indonesia, bukanlah hal tabu jika masih mendapati stigma-stigma mengenai perempuan yang dianggap terlalu domestik, yang menyebabkan keterlambatan mereka dalam berkiprah di dunia politik. Penyingkiran hak-hak perempuan ini disebabkan oleh sistem gender yang patriarkis, padahal kehidupan politik yang sesungguhnya baru bisa terlaksana ketika peran perempuan dan laki-laki seimbang.

Guna mencegah terjadinya dominasi laki-laki di legislatif, dibuatlah kebijakan mengenai 30% keterwakilan perempuan yang mewajibkan agar partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% calon perempuan dari seluruh total calon anggota legislatif ditingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Perjuangan kuota 30% di Indonesia ini diresmikan pada 19 Juli 2001 melalui Kelompok Kerja Kaukus Perempuan Politik. Kaukus Perempuan Politik ini beranggotakan 4 perempuan anggota parlemen Indonesia yang memiliki tujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia politik. UU No. 12 Tahun 2003 yang diresmikan pada 2003 pun menjadi bentuk affirmative action yang menjadi alat penting untuk mempertahankan setidaknya 30% perempuan agar tetap berada dalam posisi politik dalam mengambil keputusan. Penetapan sistem kuota sebagai bentuk affirmative action diharapkan mampu membuat posisi perempuan lebih terwakili. Selain dasar hukum affirmative action di UU No. 12 Tahun 2003, terdapat juga UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengharuskan partai politik untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di pusat.

Walaupun kita sudah memiliki payung hukum yang jelas mengenai keterwakilan perempuan di legislatif, ironi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah, jumlah perempuan di legislatif tidak pernah mencapai angka 30 persen. Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang berhasil lolos di DPR hanya berada di persentase 8.8 persen, pada pemilu 2004 meningkat ke angka 11.82 persen, lalu pada 2009 menjadi 17.86 persen, pada pemilu 2014 persentase keterwakilan perempuan di DPR menurun ke angka 17.32 persen, namun pada pemilu 2019 persentase ini meningkat drastis yaitu 20.8 persen. Walaupun demikian, negara masih harus melakukan evaluasi mengenai keterwakilan perempuan di parlemen yang belum pernah mencapai angka 30 persen.

Lantas mengapa keberadaan keterwakilan perempuan sangatlah penting? Apakah dampak dari tidak pernahnya keterwakilan perempuan Indonesia dalam parlemen terpenuhi? Rendahnya angka keterwakilan perempuan setidaknya akan memberikan dampak yang besar terhadap isu kebijakan yang berhubungan dengan isu kesetaraan gender dan juga kebijakan yang belum sesuai penanganannya dengan apa yang dihadapi langsung oleh perempuan.

Angka 30 persen ditetapkan dengan harapan semakin banyak perwakilan perempuan, maka semakin banyak perempuan yang mampu mewakili perempuan lainnya dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Lantas, jika keterwakilan perempuan hanya sedikit, maka harapan untuk menciptakan kesejahteraan yang setara akan sulit untuk tercapai.

Salah satu dampak dari kurangnya perwakilan perempuan dalam proses pembentukan kebijakan bisa dilihat dari pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Seperti yang diketahui, perjalanan RUU PKS ini sangatlah panjang terhitung dari 2016 (saat RUU PKS disepakati untuk masuk prolegnas 2016) hingga sampai saat ini, RUU PKS tak kunjung disahkan.  

Beberapa kendala terjadi dalam pembahasan RUU PKS ini seperti pada 2019, hanya 3 dari 29 dan 2 dari 12 fraksi yang hadir dalam pembahasan RUU PKS di DPR padahal DPR memiliki aturan bahwa untuk mengambil keputusan jumlah kehadiran harus memenuhi kuorum (7 dari 12 fraksi). Hal ini membuktikan bahwa DPR tidak serius menanggapi masalah ini, terlebih jika tidak ada anggota, khususnya perwakilan perempuan yang menekankan urgensi mengenai RUU PKS. Masalah memuncak saat komisi VII DPR mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 dikarenakan peraturan ini mengundang banyak kontra yang mengatakan bahwa RUU ini melegalkan perzinaan.

Saat ini, RUU PKS telah berubah menjadi RUU TPKS dimana 85 pasal yang sebelumnya ada di RUU PKS dihapuskan. Beberapa substansi yang dihilangkan dalam RUU TPKS diantaranya adalah jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban yang hanya disebutkan dalam ketentuan umum, penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual, dan tidak adanya pengaturan kekerasan seksual yang berbasis online.

Melihat realita perwakilan perempuan di parlemen yang belum sepenuhnya bisa mewakili masyarakat, khususnya perempuan, menjadi evaluasi besar bagi partai politik. Setiap partai politik sudah seharusnya memperhatikan proses pendidikan politik bagi kadernya, agar bisa dipastikan bahwa setiap kader yang nantinya terpilih menjadi wakil rakyat, mampu mewakili dan memperjuangkan isu yang sedang diperjuangkan rakyatnya. Perjalanan panjang RUU PKS (sekarang RUU TPKS) menjadi salah satu dampak kurangnya perwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan yang krusial. Jika hal ini terus terjadi, maka akan sulit untuk membuat peraturan perundang-undangan yang pro perempuan dan mengikis ketimpangan gender yang terjadi di politik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun