“Pemilu 2014 pilih siapa Bang?”
Ini seolah jadi pertanyaan wajib saya sekarang, ke setiap sopir taksi yang dijumpai di perjalanan. Sebagai seorang etnografer, menjadi kebiasaan untuk eksplorasi dalam keseharian. Berinteraksi dengan siapapun adalah pembelajaran tanpa henti.
Dari sekian banyak sopir taksi yang menjadi ‘target’, setengahnya belum bisa menentukan siapa capres yang akan dipilihnya untuk jadi the Next Indonesian President.
Setengahnya lagi, menyebutkan pilihannya, tetapi dengan alasan-alasan yang kurang ‘menggigit’ dan tidak meyakinkan. Dari jawaban tersebut, tampak bahwa mereka hanya mendapatkan informasi yang sepotong-sepotong. Mereka telah terjebak pada ‘wrong brand impression’ akibat analisa permukaan dan selintas saja.
Saya sering bercanda kepada mereka – “Wah kalau beliau yang terpilih, Saya pindah negara saja, Bang. Pilihnya yang bener dong….”
Lain sopir taksi, lain anak saya yang menuju usia 17 di tahun 2014 ini. ‘Aku mungkin tidak memilih, Ma’. Demikian satu hari ia menyatakan kurang menyadari dan memahami calon-calonnya dan bingung seperti apa kriteria Capres yang baik. Rupanya negara belum sukses menyentuhnya.
Juri yang well-informed
Bagaimana memilih Capres yang ideal belum tentu semudah membalikkan telapak tangan. Voting untuk Ajang kontes The Next Indonesian Idol atau The Next X-Factor mungkin lebih mudah dan dimengerti oleh kelompok remaja dan masyarakat luas setingkat sopir taksi.
Kriteria memilih penyanyi yang baik bisa dipelajari dari ‘pendidikan’ para juri utama Idol, yang berkomentar setelah performance para peserta. Audience calon voter jadi lebih paham, seorang penyanyi yang baik tidak boleh lupa teks lagu, harus ekspresif menjiwai ‘cerita’ yang ada dalam lagu, dll.
Bagaimana dengan pemahaman Voter pemilihan presiden nanti? Apakah para juri, terutama pemilih pemula dan pemilih berpendidikan terbatas sudah well-informed?
Dalam sebuah acara ‘Ajang kontes’ yang demikian akbar, tampaknya usaha untuk mendidik para voters ini ternyata sangat jauh dari memuaskan.
Kegiatan sosialiasi KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum belum banyak menyentuh kriteria “penjurian’ ini. Padahal acara pemilihan “The Next Indonesian Presiden 2014” adalah acara yang lebih penting dari memilih penyanyi berbakat atau mempunyai factor-X.
Iklan-iklan KPU lebih membahas tentang event pemilunya sendiri, fokus pada acaranya. Tingkat kesuksesan acara Pemilu tampaknya lebih diukur dari tingkat partisipasi dan kehadiran para voters. Bahwa yang hadir mengerti dan memahami kriteria penjurian dalam voting, itu jadi sekunder.
Fungsi KPU lebih mirip seperti event organizer (EO) yang hanya peduli pada ukuran-ukuran teknis, seperti awareness event, menyampaikan info teknis tanggal acara, info teknis cara-cara mencoblos, dan aspek-aspek teknis lainnya.
Berarti KPU belum naik peringkat dari penyelenggara event menjadi BRAND PARTNER, yang secara serius memikirkan output, peduli dan berkepentingan dalam mencapai titik kesuksesan yang lebih penting yaitu tujuan diadakannya event: Mencari The Best of The Best dari kandidat Presiden.
Tampaknya sosialisasi kisi-kisi juri yang baik dalam acara kontes ‘the Next Indonesian President’ belum masuk agenda penting dalam penyelenggaraan. Kampanye KPU juga belum menggunakan paduan dan integrasi yang bermakna antara media konvensional dan media kontemporer (media sosial).
Sedangkan Kampanye Capres sudah berjalan sangat gencar, berlomba menjual ide tentang pemimpin yang baik dari kacamata yang sangat subyektif. Kampanye KPU sebagai pihak yang netral bebas kepentingan sayangnya kalah pamor.
Para agen KPU yang bergerak dari lokasi ke lokasi lebih diberikan target tingkat partisipasi dan pemahaman cara memilih. Target belum dipasang seputar bagaimana usaha KPU untuk memastikan masyarakat memilih dengan pemahaman cara penjurian yang tepat.
Talk show di televisi memang bergulir terus, baik yang murni independen hingga yang disisipi interest partai. Sayangnya pada umumnya menggunakan bahasa tinggi, bahasa yang kompleks dan sulit dipahami oleh sebagian besar remaja pemilih pemula dan sopir taksi.
Panca Indera
Saya mengusulkan menggunakan kriteria sederhana tetapi tetap filosofis, membumi dan bisa dicerna semua kalangan. Kurangi bahasa-bahasa retorika seperti bebas korupsi, bebas kolusi, bebas nepotisme, pro rakyat, karena ini kalimat-kalimat basi yang sudah kehilangan greget.
Seperti apakah pemimpin yang baik itu? Our Next President haruslah orang yang menggunakan PANCA INDERAnya dengan baik.
- Indera Pendengar. Pemimpin yang mau mendengar. Bukan hanya ingin didengarkan.
- Indera Penglihatan. Pemimpin yang mau melihat langsung keadaan masyarakatnya. Bukan selalu ingin dilihat (tampil di media massa, pencitraan semu)
- Indera Perasa. Pemimpin yang Bisa Merasa, bukan Merasa Bisa. Apakah Capres ini bisa merasakan seperti apa kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat?
- Indera Peraba. Pemimpin yang mau menyentuh dan bersinggungan dengan persoalan masyarakat yang ada. Bukan hanya memahami dari kejauhan, memahami dari para pembisik yang punya agenda lain.
- Indera Penciuman. Pemimpin yang pada saat mencium bau kurang sedap, segera mencari penyebabnya dan menyelesaikannya. Bukan yang menutupi dan menyimpan sumber bau di bawah karpet.
Bahkan, sebagai pelengkap, kita bisa tambahkan the sixth sense yaitu indera keenam. yang supranatural, kekuatan yang tidak tampak. Pemimpin yang baik bisa melihat sesuatu yang mungkin bagi orang lain belum kelihatan. Pemimpin yang visionary, bisa melihat jauh ke depan. Pemimpin yang gunakan sense kepekaan sosial. Lebih peduli pada permasalahan bangsa, bukan hanya permasalahan partai dan keluarganya saja.
Para voters atau juri harus dibekali dengan info alternatif pilihan Capres dan sekaligus kriteria sederhana penjuriannya. Semoga kita tidak salah pilih di tahun 2014 ini.
(Dimuat di Kolom Branding Solution, Koran Sindo, 1 Januari 2014)
Amalia E. Maulana, Ph.D.
Brand Consultant & Ethnographer, ETNOMARK Consulting
Penulis Buku “BRANDMATE”
www.amaliamaulana.com , www.etnomark.com