Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Legenda

24 Januari 2012   15:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:30 85 0



Rasanya telinga kita terlalu asing dengan sosok satu ini karena mungkin dia tidak begitu terkenal dan menasional. Dia bukan Khofifah yang berkali-kali menjabat ketua fatayat ormas terbesar Indonesia. Dia juga bukanlah mamah dedeh yang selalu mengisi acara keagamaan setiap pagi.

Dia lahir puluhan tahun lalu atau kira-kira delapan puluh tahun lalu di kota kecil di timur Jawa Barat yaitu Cirebon. Dia dilahirkan dari kedua orang tua yang memiliki latar belakang agama turun-temurun. Dia adalah Fatmah Bakrie atau biasa orang sekitar rumahnya memanggilnya "Nyai Pat/ Wa Pat".

KASEPUHAN, ya di daerah itulah dia di tempa dan didik menjadi pribadi yang "otot kawat balung wesi". Daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Kota Cirebon itu telah memiliki cerita tersendiri di hatinya. Dia bukan Gandhi tetapi dia berjuang layaknya Gandhi "Menumpas kebodohan dengan mengaji" adalah misi sucinya.

Cerita kecilnya persis seperti Blaise Pascal yang berasal dari keluarga yang saleh. Ayahnya, meskipun besar minatnya pada ilmu tetapi mendidik Pascal dan Adiknya Jacqueline dalam ketaatan beragama. Malah adiknya bercita-cita jadi biarawati, dan berhasil.

Pascal memang memiliki pandangan yang sedikit ganjil bagi orang-orang yang terbiasa dalam semangat keilmuan empiris. Pascal dikenal selain karya ilmiahnya, juga oleh surat-suratnya yang kontroversi. Ia mengkritik paham Jansenisme dari Cornelis Jansen yang kolot.

Jansenisme misalnya berpendapat, manusia tak punya kemauan bebas. Bagi kaum jansenis, manusia sudah ditakdirkan Tuhan untuk jadi jahat dan baik sejak lahir. Berbuat mulia tak akan menjaminya masuk surga. Hanya rakhmat Tuhan yang akan menolongnya.

Tetapi Pascal justru beranggapan lewat salah satu nukilanya yang terkenal "keagungan manusia itu hebat, dalam keadaan ia tu bahwa dirinya itu nestapa". Kenyataan manusia yang bertentangan memang sangat membuatnya bingung. Membaca Pascal (seperti yang dikutip dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad) membuat kita ragu benarkah pemikiran Barat (Seperti yang dikatakan orang Timur) hanya terdiri atas humanisne yang pongah dan intelektualisme yang runcing.

Sementara itu Wa Pat yang sederhana dan bersahaja sangat mampu membuat orang terkaget jika mendengar sumbangsihnya. Dari kecil Wa Pat memang sudah di ramalkan oleh kakaknya jika dia kelak akan menjadi orang yang banyak di ikuti. Karena terawanganya itulah kakaknya memberikan saran padanya agar segera membuat "tajug" (semacam mushola).

,:Hari itu aku terbangun begitu pagi, kira-kira pukul tiga pagi aku sudah membuka mataku tanpa kantuk. Aku bergegas bangkit dari tempat tidurku untuk menyaksikan acara televisi sembari berharap aku bisa tertidur lagi. Ketika aku sedang asik menyaksikan televisi, tiba-tiba mataku tertegun melihat sosok wanita tua melakukan gerakan sholat tanpa ada raut wajah kelelahan sedikitpun padanya.

Yah mungkin itu adalah pengalamanku sekitar 13 tahun yang lalu dimana saat itu umurku baru genap 6 tahun. Kulihat wanita itu duduk memutar tasbih,

"Belum tidur mbah"

"Udah cung, tapi terbangun" jawabnya

Aku tidak berani ngobrol panjang lebar kala itu, karena khawatir mengganggu doa wanita tua yang seumur hidupnya dia dedikasikan sebagai guru ngaji.:,

Wa Pat memiliki masa-masa yang tidak berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang hidup pada zaman penjejahan, wa pat tidak terlalu mendapat pendidikan yang tinggi. "Sekolah sampai kelas lama waktu dulu mah" jawabnya ketika di tanya pengalaman pendidikanya.

Yang dia tau mungkin hanya ilmu ekonomi Aristoteles yang bicara oikonomia atau sekedar manajemen rumah tangga. Tentang kebutuhan yang terbatas dan dasar. Tentang himpunan sebuah rumah tangga yang bukan individu sebagai unit yang memliki kebutuhan. Dimana kebutuhan yang "berlebihan" itu di sebut tidak wajar.

Tetapi kepiawaanya dalam berbahasa mampu menghipnotis warga sekitar untuk belajar ngaji. Hingga akhirnya ratusan ibu-ibu bisa meng khatamkan Qur'an di bawah bimbinganya dan mengaji Al-Qur'an menjadi sebuah kebutuhan pokok bagi-bagi ibu sekitar Kasepuhan. Bayangkan di zaman seperti itu kemampuanya mengkonsolidasi serta memprovokasi masyarakat untuk mengaji tentu bukanlah hal yang mudah. Kata-katanya yang terkenal di ibaratkan seperti seorang penyair kenamaan Joseph Brodsky.

Joseph Brodsky adalah penerima Hadiah Nobel di tahun 1987, padahal belasan tahun dia dianggap ‘benalu masyarakat’ (tuneyadets) oleh Pemerintah Uni Soviet, bahkan di pondokan ke klinik orang sakit jiwa sebelum kemudian dikurung di sebuah penjara Leningrad, dan dikirim ke tempat kerja paksa di wilayah Arkhangelsk. Dia seolah menjadi saksi bahwa bahasa memang tak mudah dijinakkan hingga akhirnya di tahun 1972 di buang ke luar negeri. Tetapi derita itu membawanya mendapatkan sebuah penghargaan tinggi untuk dedikasinya terhadap sair-sair indah sekaligus bukti bahwa kesusastraan adalah gejala bahasa yang tak mungkin mampu untuk dijebak, dan tak bisa di jangkau dari luar.

Mengenal Wa pat berarti mengenal sosok yang lembut ketika berbicara cinta, keluarga ataupun masalah pribadi. Tetapi anda jangan mengharapkan suasana itu ketika berada di hadapanya guna melatih kemampuan anda membaca firman yang diturunkan dari Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Satu kata salah, panjang terlalu atau dengungan yang kurang pas "ulang!!!, coba lihat dan dengarkan dulu!!" kata-kata itu yang akan anda dapatkan darinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun