- ada Rakyat Indonesia yang punya berhektar-hektar tanah (atau hutan) tapi tidak tercatat sebagai orang kaya di Indonesia. Bahkan, tak tercatat oleh Badan Pusat Statistik. Lah wong, petugas BPS aja gak mampu menembus hutan tempat mereka tinggal.
- Weleh, beberapa dari mereka tidak pernah menikmati layanan listrik dari PLN. Jadi, mereka tidak menonton radio, membaca tv atau mendengar koran (sori, kata kerjanya terbalik-balik saking 'gak pernah'-nya....hehehe). Mereka tidak sekolah di Sekolah Berstandar Internasional, jadi isu itu tidak penting bagi mereka. Mereka juga tidak membeli cabe, mereka menanam. Karena itu, mereka tidak bisa protes soal kenaikan TDL dan kenaikan harga cabe. Apalagi demo atau curhat di kompasiana :-)
- Ada banyak 'pengangguran' di sana, karena mereka pada dasarnya tidak bekerja. Mereka hanya 'mempekerjakan' kebun dan hutan mereka dan 'memungut' hasilnya.
- ada Rakyat Indonesia yang tidak tahu siapa presidennya dan tidak pernah berbahasa Indonesia
Khusus mengenai sistem mereka:
- transaksi ekonomi mereka bisa saja tidak dilakukan dengan pertukaran dengan rupiah, tetapi dilakukan dengan sistem barter. Jadi, mereka tidak akan ikut collaps kalau sistem keuangan negara collaps
- asuransi kesehatan mereka adalah sistem kekerabatan. artinya, jika ada yang sakit atau meninggal, maka tetangga akan saling gotong royong membantu dimana perlu. Jika harus dibawa ke puskesmas kecamatan atau kabupaten, maka beberapa orang akan memanggul si pesakitan keluar hutan menuju jalan terdekat atau moda transportasi terdekat. Artinya, mereka tidak butuh asuransi dan jaminan dari orang yang tidak pernah bertemu muka atau dari perusahaan
- Mereka punya 'koperasi simpan pinjam'ala CU dan Garmeen Bank, dengan tetangga sebagai penjamin bagi mereka dan vice versa, bukan dalam bentuk agunan
- mereka hanya bekerja pada 'sektor riil' (riil capeknya, riil juga hasilnya)
- dan mereka gak bisa 'dipenetrasi' oleh prada, crocs atau blackberry. Biaya pemasarannya terlalu besar :-)
- Mereka sudah bertani sistem organik . Soalnya, repot bgt mengangkut pestisida dan pupuk kimia dari kota ke kampung mereka.
- mereka 'berani' meng-embargo produk import negara lain, atau membatasi diri untuk membeli, sehingga mereka tidak tergantung pada negara lain (repot, soalnya harus beli ke kota)
- Bank konvensional (BPR, BPD dll) tidak mau memberi pinjaman kepada mereka karena 'keterbatasan' bank tersebut untuk 'meng-appraisal' aset mereka
- sistem pendidikan mereka mengandalkan kearifan lokal dan tepat guna. Jadi, mereka tidak terpengaruh dana BOS
Intinya, mereka adalah 'cacat' dalam statistik karena disadari keberadaannya tapi belum terpenuhi haknya sebagai warga negara seperti saudaranya yang lain, terutama dalam bidang: pendidikan (aset intengibel yang tidak pernah susut) dan infrastruktur (jalan dan listrik). Mereka termasuk dalam 240-an juta rakyat Indonesia dan penghasilan mereka (seharusnya) ikut dinilai dalam rata-rata Pendapatan Per Kapita Indonesia (bandingkan dengan: http://m.kompasiana.com/?act=r&id=201644)
Keuntungannya: mereka mandiri dan tidak disubsidi dan tidak begitu tergantung pada kelangsungan hidup Negara Indonesia, bukan karena mereka tidak mau atau terlalu sombong, tapi semata-mata karena negara belum mampu.
Bersyukurlah mereka karena sekarang ada program otonomi daerah dan pembangunan daerah tertinggal. Tapi, lebih afdol lagi jika ada kesadaran berbangsa dan bernegara dari saudaranya yang sudah tercatat dalam statistik. Karena peningkatan taraf hidup mereka adalah inti dari peningkatan taraf hidup Negara Indonesia sehingga suatu saat nanti seluruh aset Rakyat Indonesia bisa dinyatakan sebagai aset Negara Indonesia. Maka,
Negara Indonesia = seluruh Rakyat Indonesia = sama-sama Kaya dan Makmur :-)